Purworejo, sebuah kabupaten yang bersebelahan dengan Kabupaten Kebumen yang namanya jarang disorot publik. Saya pernah berkunjung sekali ke sana itu pun karena urusan pekerjaan. Suasana saat memasuki episentrum kota itu seperti membayangkan sebuah rumah bergaya lama. Meski tampak lusuh dari luar, di dalamnya terdapat ornamen-ornamennya yang cukup menarik perhatian mata. Ketika berada di dalamnya, rasanya begitu menenangkan.
Tapi di sisi lain, ketika semakin dalam menelusuri kota ini, rasanya jadi sunyi dan sepi.
Jalan yang lebar dan bersih, tapi tak diisi dengan padatnya lalu-lalang penduduk di malam hari selayaknya tetangganya yaitu Kebumen. Lebih unik lagi, waktu itu saya melihat plang “Desa Wisata” di beberapa desa, tapi tanpa kreasi sehingga yang tampak adalah penampakan wisata yang alakadarnya.
Apa yang salah?
Purworejo punya potensi (yang kelewat banyak)
Kalau kita melirik perkara potensi, Purworejo tidak semelarat itu untuk jadi sebuah daerah yang bertaji. Misalnya di sektor pertanian dan perkebunan, berdasarkan Statistik Daerah Kabupaten Purworejo, Kabupaten ini punya potensi untuk komoditas misalnya jagung, padi, rempah-rempah seperti kunyit, kencur, jahe, temulawak, dan kapulaga.
Bahkan kabupaten ini menjadi pemasok bahan baku ke 70 lebih produsen pabrik jamu di Jawa Tengah. Di sektor Perkebunan, komoditas seperti kepala, durian, kopi, dan kakao, mampu menghasilkan ratusan hingga ribuan ton dalam sekali panen.
Sejalan dengan itu, laporan dari sensus pertanian 2023 juga menyebutkan kalau per kecamatan dan Usaha Tani Perorangan di Purworejo memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam skema agribisnis modern.
Dari sisi pariwisata, Purworejo juga sebenarnya punya dua permata yang bisa diasah sebagai lumbung kepopulerannya. Pertama dari wisata alam, Purworejo punya pantai yang namanya pasir Pancu yang meski pasirnya warna hitam, tapi bagus secara pemandangan. Dan waktu itu masih sangat bersih dan terjaga.
Kemudian ada air terjun Indah macam Curug Muncar dan Gunung Putri di Kecamatan Bruno. Dua wisata alam itu adalah sedikit contoh dari sekian banyak destinasi wisata potensial di Purworejo yang bisa dikembangkan.
Kedua dari sisi wisata budaya dan kreatif. Purworejo kalau tidak salah punya event tahunan seperti Purworejo Fair yang seharusnya bisa dibuat turunannya yang bisa dilakukan secara berkala dengan mengambil tema budaya. Acara ini sekali digelar bisa menarik 35.000 pengunjung dalam 5 hari dan memutar Rp 2,3 miliar pada tahun lalu. Selain itu dari sisi kuliner macam clorot dan dawet ireng pun bisa dioptimalkan jadi salah satu buah tangan ikonik untuk menarik lebih banyak pengunjung luar daerah.
Lalu balik lagi ke pertanyaan awal, apa yang salah? mengapa nggak bisa dimaksimalkan?
Pemudanya memilih kabur
Potensi sebagus apa pun, kalau nggak diolah ya ibarat berlian yang tertutup tanah batuan yang nggak diasah. Selamanya akan jadi batu dan nggak akan ada yang tahu kalau itu berlian.
Persoalan utama Purworejo bisa jadi datang dari keberadaan dari penduduk usia produktif yang makin menurun. Kalau dilihat dari catatan BPS, Indeks Pembangunan Manusia IPM 2024, 75,16, meningkat dari 74,35 dengan komposisi usia produktif (15-64 tahun) mendominasi 69 persen dari total penduduk yang mencapai 700-800-an ribu dari rentang tahun 2020-2024. Tapi meski mendominasi secara catatan komposisi, keberadaan mereka itu seperti hantu. Nggak terdeteksi keberadaannya secara dominan di Purworejo.
Rupanya hal itu dikarenakan penduduk usia produktif yang merantau ke luar daerah mencapai lebih dari 30 persen dari total usia produktif. Ibaratnya kalau ada 10 orang usia produktif, maka ada 3 orang yang merantau dan banyak dari mereka menetap sementara di daerah perantauan. Catatan ini pun sampai dijadikan perhatian khusus sehingga Pemkab dimasukan ke dalam Grand Design Pembangunan Kependudukan Purworejo.
Baca halaman selanjutnya




















