“Purwokerto Macet” Dua Kata yang Dulu Mungkin Terdengar Lucu, tapi Tidak dengan Saat Ini

“Purwokerto Macet” Dua Kata yang Dulu Mungkin Terdengar Lucu, tapi Tidak dengan Saat Ini Mojok.co

“Purwokerto Macet” Dua Kata yang Dulu Mungkin Terdengar Lucu, tapi Tidak dengan Saat Ini (wikipedia.org)

Saya lahir dan besar di Purwokerto. Menghabiskan sebagian besar hidup Ibu Kota Kabupaten Banyumas membuat saya tahu betul seluk beluk kota ini. Termasuk perubahannya dari masa ke masa. Satu hal yang saya cermati, Purwokerto sekarang beda sekali dengan versi saya kecil. Saya melihat sendiri bagaimana kota ini bertransformasi. 

Purwokerto yang macet mungkin hanya sebatas bahan guyonan bertahun-tahun lalu, sebab kami tahu betul bagaimana kondisi Kota Satria ini. Apabila boleh meringkasnya dalam beberapa kata, Purwokerto di zaman dulu itu sepi, aman, murah, dan ngapak. Itu mengapa “Purwokerto Macet” bak materi dua kata lucu para stand up comedian pada saat itu karena sangat jauh dari realitas yang dihadapi sehari-hari. 

Akan tetapi, Purwokerto macet tidak lagi jadi dua kata lucu saat ini. Itulah sambatan warga sehari-hari. Kata banyak orang, Purwokerto itu Jogja versi mini. Satu sisi saya senang karena kota kecil ini kian diakui dan dikenal banyak orang. Di sisi lain agak waswas karena banyak ketidaknyamanan mengintai. Salah satunya yang paling kentara adalah kemacetan. 

Daerah magis yang sedikit demi terkikis

Bagi saya, dahulu, Purwokerto itu daerah yang magis saking nyamannya. Bayangkan saja, di satu tempat kalian bisa menikmati udara segar, alam yang asri, kuliner lezat, hunian terjangkau, hingga berbagai kebutuhan yang ramah di kantong. Sayangnya, kenyamanan itu sedikit demi sedikit terkikis. Salah satu yang jadi tolok ukur adalah kemacetan yang mulai terjadi di beberapa titik. 

Baca halaman selanjutnya: Saya masih …

Saya masih ingat betul, dahulu saat masih SMP, saya sering bertanya-tanya, kenapa Jalan Gerilya dibuat begitu lebar. Soalnya, sehari-hari, jalan yang melintas di sana hanya segelintir saja. “Kalau jumlah kendaraan yang lewat segini sih tidak perlu dibuat jalan besar, kan?” batin saya pada saat itu. Namun, kondisinya sekarang berubah, jalan-jalan di Purwokerto kini dipadati kendaraan. Plat-plat selain R pun mulai memenuhi jalanan. 

Kemacetan menjadi pertanda kota kecil ini mulai banyak penghuninya. Terlebih penghuni yang memiliki kendaraan bermotor. Persoalan ini juga jadi penanda problem yang lebih besar, ketidaksiapan dari sisi infrastruktur dan transportasi publik. 

Purwokerto kini jadi primadona

Kecurigaan saya soal penghuni Purwokerto yang kian padat sebenarnya tidak hanya dipicu dari jalan kian macet. Saya cermati, tempat-tempat seperti mal, objek wisata juga sering penuh sesak di luar hari raya. Selain itu, pembangunan terjadi di sana-sini, terutama pembangunan kompleks perumahan. 

Saya sering terheran-heran, “Bukankah ada banyak kota lain yang fasilitas dan wisatanya lebih unggul ya, kenapa harus Purwokerto?” Pertanyaan itu masih belum terjawab sampai saat ini. Sebagai warga asli Purwokerto, saya senang-senang saja, Purwokerto dipandang baik. Selain itu, ekonomi kota ingin bisa terus tumbuh. 

Akan tetapi, ada sesuatu yang ditakutkan, hal-hal yang membuat kota ini nyaman seperti sepi, aman, murah, dan ngapak. Tergeser oleh peradaban yang mulai datang. Saya tidak sanggup membayangkan kalau kelak kota yang dianggap nyaman ini mulai tidak nyaman karena terlalu banyak pendatang. Bukan tidak mungkin akan ditinggalkan lagi dengan berbagai persoalan kan?

Penulis: Ines Noviadzani
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA Purwokerto Adalah Daerah Paling Aneh karena Bukan Kota, Kurang Pas Disebut Kabupaten, Apalagi Menjadi Kecamatan. Maunya Apa, sih?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version