Ironi Purbalingga: Kota Industri, tapi Warganya Lebih Memilih Cari Kerja di Daerah Lain

Ironi Purbalingga: Kota Industri, tapi Warganya Lebih Memilih Cari Kerja di Daerah Lain Mojok.co

Ironi Purbalingga: Kota Industri, tapi Warganya Lebih Memilih Cari Kerja di Daerah Lain (unsplash.com)

Setiap pagi, saya pergi ke kantor menggunakan kendaraan roda dua. Pengalaman saya, jalanan Purbalingga semakin hari semakin ramai, baik jalur kota maupun jalur kecamatan. Kondisi ini sangat berbeda ketika saya masih duduk di bangku SMA beberapa tahun lalu. Saya merasa jalanan Kota Perwira masih lengang, tidak seramai saat ini. 

Sekarang ratusan motor memadati jalanan, entah pagi atau sore hari. Keramaian nggak hanya disebabkan oleh pelajar, tapi juga para pekerja pabrik. Hampir setiap pagi saya selalu beradu kecepatan dengan para pegawai pabrik yang mengejar waktu ke tempat kerja. Tak jarang, saya mendapati para pegawai pabrik yang didominasi para perempuan memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. 

Semua itu mereka (para pegawai pabrik) lakukan semata-mata agar tidak terlambat. Saya juga sering menjumpai suami yang mengantarkan istrinya setiap pagi menuju pabrik tempat sang istri bekerja. Fenomena ini menjadi hal yang wajar ditemui ketika kalian melintasi jalanan Purbalingga di pagi atau sore hari.

Purbalingga Kota Industri, tapi UMR-nya nggak seberapa

Apabila dibandingkan dengan kota industri Karawang, Purbalingga sebenarnya sangat jauh tertinggal. Karawang menjadi tujuan para perantau yang hendak mengadu nasib. Selain banyak lowongan karena memang ada banyak industri di sana, UMR Karawang tergolong tinggi dibanding daerah lain di Indonesia. Bahkan, beberapa kawan saya yang baru setahun kerja di Karawang sudah bisa membeli motor. Bukan motor bekas yang mereka beli, melainkan motor dengan kecepatan 150 cc seperti, CB 150R, CBR, Vixion, dan KLX.

Bukan maksud saya untuk tidak bersyukur. Tapi, membandingkan UMR antara satu daerah dengan daerah lain adalah sikap manusiawi sebagai makhluk ekonomi. Ada keperluan sandang, pangan dan papan yang harus dipenuhi.

Saya selalu penasaran kenapa Purbalingga yang mulai banyak pabrik, UMR-nya begitu jauh dari Karawang. Lantas, apa urgensi pemerintah setempat mengizinkan pembangunan banyak pabrik kalau UMR Purbalingga segitu-gitu saja? Hanya adu gengsi sebagai daerah yang mampu menyerap tenaga kerja? Jika iya, maka pemerintah hanya mengais validasi semata. 

Baca halaman selanjutnya: Banyak pemuda yang …

Banyak pemuda yang lebih memilih merantau

Banyak kawan saya yang putus asa dengan keadaan Kota Perwira lantaran UMR yang rendah. Jika mereka memaksa diri tetap menetap, nasibnya akan semakin merana. Akhirnya, banyak pemuda di desa saya yang lebih memilih mencari nafkah di luar Purbalingga alias merantau. Ada yang merantau ke Jabodetabek, Sumatera, Malaysia, Jepang hingga Korea. Tidak ada harapan yang bisa mereka sandarkan pada Pemkab Purbalingga. Harapan hanyalah buih di laut yang bisa disapu badai hingga lenyap sekejap. 

Ketimpangan penyerapan tenaga kerja laki-laki dan perempuan di Purbalingga

Kebanyakan pabrik di Purbalingga mempekerjakan perempuan. Sedikit sekali pabrik yang mempekerjakan laki-laki sebagai pegawai utamanya. Sebut saja pabrik wig dan pabrik kosmetik yang hampir 90 persen pekerjanya adalah perempuan. Padahal, tugas pokok mencari nafkah adalah para suami. Seharusnya, pabrik yang dibangun bukan hanya untuk menyerap tenaga kerja perempuan saja, tapi juga untuk kaum pria. Sependek pengamatan saya, lowongan kerja yang tersedia bagi tenaga kerja laki-laki hanyalah satpam. Ketimpangan semacam ini semoga bisa dibaca oleh pemerintah agar tidak semakin tajam.

Setelah semua hal saya uraikan, apakah salah jika pembangunan industri pabrik di Purbalingga semakin bertebaran? Tentu tidak. Dengan sayarat, pabrik yang dibangun mampu meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, dan kesetaraan bagi warga Kota Perwira. Harapannya perubahan yang kita dambakan bukan sekedar fatamorgana semata. 

Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA 3 Titik Macet Paling Parah di Purbalingga, Bisa Ditinggal Kuliah 14 Semester Saking Lamanya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version