Sebagai seorang yang multi-profesi, biasa disebut juga freelancer atau bahasa udiknya pekerja serabutan, pasti susah untuk menghindari pertanyaan, “Kerja di mana?” dari tetangga kepo. Apalagi jika pekerjaanmu adalah profesi abad 21 dan tetangga kepo menanyaimu itu berusia di atas 50 tahun, maka naas hidupmu sudah bisa diperkirakan. Mau menjelaskan sekeras apa pun tidak akan bisa dimengertinya.
Saya sudah sering sekali mengalami kenaasan nasib ini. Tidak bisa menghindari pertanyaan abad 20 tentang profesi dan karier. Padahal karier itu sendiri baru dikenal sejak abad 20 dan profesi itu terus berkembang dari waktu ke waktu. Pekerjaan berubah dengan cepatnya akibat disrupsi teknologi. Lihat saja pialang saham layanan penuh yang digantikan pialang saham online, teller bank yang mulai digantikan layanan ATM setor tunai, dan pekerjaan-pekerjaan yang sudah punah maupun hampir punah lainnya. Siapa pula yang menyangka saat ini akan ada pekerjaan jasa merangkai kata, buzzer, influencer, sampai admin media sosial?
Perkembangan teknologi selalu menghancurkan teknologi yang telah mapan. Lihat saja telpon kabel yang digantikan ponsel, film fotografi digantikan fotografi digital, buku teks standar digantikan buku teks digital, pesawat tempur berawak digantikan drone, dan masih banyak teknologi mapan lainnya yang telah digantikan teknologi baru.
Dunia ini berubah begitu cepat dan manusia harus beradaptasi. Fleksibilitas kognitif adalah kunci untuk menghadapi tantangan abad 21 menurut Yuval Noah Harari. Bekerja tidak melulu harus keluar rumah, menggunakan seragam, berangkat ke kantor pukul 07.00 dan pulang pukul 17.00 karena perkembangan teknologi mempermudahkan pekerjaan dan melahirkan berbagai profesi baru yang tidak membutuhkan semua peraturan kerja abad 20.
Akan tetapi menjelaskan kepada mereka yang tidak mengenal profesi baru akan sangat melelahkan. Jauh lebih melelahkan dari pekerjaan Sisyphus yang mendorong batu ke atas sebuah bukit terus menerus dan ketika sudah sampai di atas malah batu itu dijatuhkan. Kemudian Mas Sisyphus-nya harus mengulangi pekerjaannya mendorong batu ke atas bukit. Kurang lebih seperti itu rasanya menjelaskan pekerjaan abad 21 kepada mereka, manusia abad 20 yang gagap dengan perkembangan zaman.
Saya sering kali melakukan pekerjaan Sisyphus dengan tanya jawab tentang pekerjaan ini yang terjadi berulang-ulang. Misalnya ketika keluar berbelanja dengan wajah kumuh baru bangun maka tetangga saya akan bertanya, “Kamu nggak kerja apa kok baru bangun?” Dalam hati ingin mengumpat rasanya.
“Iya, Bu, sekarang lagi musim rebahan, eh Corona. Saya pilih kerja di rumah saja.”
“Emangnya kerja apa di rumah?”
“Penerjemah, Bu.”
“Ih kalau kerja itu harusnya di kantor. Kamu kan sudah S2 masak tidak bisa cari kerja.”
Kalau sudah seperti ini ya sudah, jalan pura-pura tidak dengar meski hati miris. Itu belum juga apa-apa dibandingkan kalau ada keluarga jauh yang datang berkunjung. Pertanyaan yang paling sering muncul sudah pasti, “Sekarang kerja di mana?” suatu pertanyaan yang sudah saya golongkan sebagai pertanyaan abad 20 karena sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Di era teknologi informasi yang melahirkan banyak profesi baru yang sama sekali tidak bisa dinalar dengan otak abad pertengahan, maka pertanyaan seperti kerja di mana itu rasanya sungguh-sungguh menyesakkan. Ditanya kerja apa masih mending, ini ditanya kerja di mana.
Mau jawab di rumah sudah jelas akan disangka rebahan mulu. Padahal profesi-profesi abad 21 sudah banyak yang tidak membutuhkan kantor dan kerjanya bisa di mana saja, termasuk di rumah. Tapi ya begitulah tetap saja ada yang menyangka bahwa kerjaan profesi abad 21 ini bukanlah kerja sama sekali.
Saya sering kali ditawari kerja ini dan itu yang jujur tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk membiayai hidup keluarga saya ketika beberapa orang keluarga jauh datang mengunjungi. Mungkin merasa kasihan dengan saya yang kerjaannya di rumah terus disangka pengangguran. Padahal sih memang iya, hahaha. Freelancer ya kerja lima hari liburnya bisa tiga minggu. Tergantung bagus tidaknya rezeki dan sekuat apa menyikut saingan.
Sebenarnya saya sih senang-senang saja ditawari kerja. Malah bersyukur kalau pekerjaannya bagus, siapa sih yang tidak mau? Tapi, ini kerjaan anak magang yang kerjanya lebih lelah dari pegawai tetap. Sudah begitu bukannya memberikan penghasilan malah nambah pengeluaran. Upah magangnya bahkan tidak cukup untuk biaya transportasi dan makan saya sendiri, apalagi untuk menghidupi keluarga.
Saya berusaha untuk menjelaskan bahwa saya sebenarnya sudah bekerja, meski kerjaannya datang Senin Kamis, tapi setidaknya satu kali datang kerjaan bisa lebih dari gaji pekerjaan yang ditawarkan kepada saya. Belum lagi kerjaan begitu butuh biaya operasional, paling tidak transportasi karena jarak lokasi yang tidak dekat dengan rumah. Sedangkan kalau kerja di rumah modal paket data, sudah cukup. Intinya tidak capek, tidak keluar duit untuk transportasi, dan bisa dikerjakan sambil rebahan. Nikmat dunia mana lagi yang kau dustakan, Wahai para Perebah?
Tapi ya begitu, tidak peduli kamu menjelaskan sehebat apa, tetap saja informasi itu tidak bisa di proses. Seperti Sisyphus yang terus mendorong batu ke atas bukit, begitulah rasanya hidup dengan profesi abad 21 di lingkungan yang penuh dengan manusia abad 20.
BACA JUGA Penjelasan Ilmiah Kenapa Boomer Nggak Bisa Ngerti Profesi Abad 21 atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.