Orang dapat dikenal dan dibedakan dengan yang lain tentu berkat namanya. Nama telah menjadi penanda diri seseorang atau sesuatu dan kita pun bisa menafsirkan berdasarkan nama yang melekat padanya. Misalnya ketika mendengar nama durian, tentu akan tergambar dalam pikiran kita bahwa itu adalah jenis buah dengan harum menyengat, kulit berduri, sehingga kita dapat membedakannya dengan buah-buah yang lain.
Begitu juga dengan nama manusia adalah hal mutlak yang pasti dimiliki. Kita bisa mengenal orang tua kita juga karena namanya. Kita bisa saja menggambarkan ajaran-ajaran sosialis saat mendengar nama Marxis dan masih banyak lagi. Dari nama itulah timbul berbagai varian, makna, dan sedikit banyaknya kata yang digunakan dalam pemberian nama. Maka, ada nama yang jumlah katanya sampai lima kata dan ada juga yang hanya satu kata. Dan saya rasa semua itu ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
Oke baiklah, di sini saya akan menceritakan bagaimana tidak enaknya memiliki nama lengkap yang hanya satu kata saja. Walaupun memiliki nama dengan banyak kata juga pasti memiliki kekurangan, namun saya tidak akan membahas tentang hal itu. Kebetulan nama lengkap saya hanya terdiri dari satu kata saja, jadi saya hanya bisa menceritakan hal itu. Hehehe.
Sebelumnya permohonan maaf saya sampaikan kepada kedua orang tua saya yang tercinta, bukannya saya durhaka atau tidak mensyukuri pemberian nama mereka, tetapi saya rasa tidak apa-apa kalau saya sedikit menceritakan bagaimana nasib punya nama lengkap yang hanya terdiri dari satu kata saja. Dalam diri saya berkata bahwa orang tua yang memberikan nama kepada anaknya hanya satu kata saja adalah bukti bahwa orang tua tersebut tidak kreatif. Atau mungkin tidak tersentuh dengan zaman edan seperti sekarang ini. Entahlah.
Dulu, saya sempat mendengar kata orang bagus kalau punya nama hanya satu kata saja lantaran hal itu memudahkan pengisian biodata pada saat ujian nasional di tingkat SD nantinya. Ya, memang waktu itu di daerah saya, siswa-siswi di sekolah dulu, banyak yang melakukan kesalahan saat pengisian biodata ujian. Salah satu kendalanya karena nama yang mereka miliki agak panjang, jadi susah dan lama mengisinya. Justru pengisian lebih mudah dilakukan bagi mereka dengan nama pendek. Memangnya punya nama pendek selalu mudah mengisi biodata? Belum tentu. Bisa saja sih itu terjadi secara kebetulan.
Mungkin itu salah satu alasan kenapa orang tua saya dulu memberikan nama kepada saya hanya satu kata saja, sehingga nama saya adalah Budi. Kalau benar tujuannya tidak mau merepotkan saya saat ujian nasional sih bagus sekali. Saya tidak mempersoalkan kenapa nama saya harus Budi, karena arti sebenarnya dari kata Budi adalah suatu perlakuan yang baik. Akan tetapi, yang sedikit jadi gugatan kenapa nama saya Budi saja, kan banyak nama Budi yang ada tambahan kata di belakangnya seperti Budiman, Budi Doremi, Budi Utomo, dan masih banyak lainnya.
Walau bisa saja sih saya menambahkan kata di depan atau belakang nama saya, tapi nama saya sudah tercatat dalam catatan negara yang dimuat di KTP dan Kartu Keluarga, Budi tanpa tambahan apalagi pengurangan. Nah, inilah beberapa alasan kenapa punya nama lengkap hanya satu kata saja itu tidak enak.
Pertama, ketika hendak mendaftar pekerjaan, organisasi, atau bahkan akun media sosial, selalu ada kolom pengisian nama belakang. Hal ini sering saya alami, apalagi saat mendaftar akun media sosial, sehingga saya terpaksa mengambil jurus memakai nama samaran agar dapat mengisi kolom nama belakang. Dari sekian banyak akun media sosial saya, nama saya tidak ada yang sama. Ada yang saya ketik Budi Prathama, Budi Tcsc, hingga ada Budi Gmni R. Nah, kebayang bakal repot banget kan kalau ada permintaan melampirkan KTP, sudah pasti nama saya tidak cocok dan saya harus membuat alasan atau mencari cara agar dapat terkoneksi dengan baik.
Kedua, karena kebanyakan akun media sosial saya Budi Prathama, nama itu melekat ke teman-teman bahwa itu adalah nama lengkap saya. Dulu, saat ada surat menyurat di organisasi, kebetulan nama saya harus terpampang di surat mengingat posisi saya sebagai sekretaris organisasi. Panitia selaku pembuat surat menuliskan nama saya Budi Prathama dan meminta saya untuk tanda tangan. Saya sempat bertanya kenapa ditulis Budi Prathama, padahal nama lengkap saya buka Budi Prathama, tetapi Budi saja dan tidak ada embel-embelnya. Teman saya ini hanya geleng-geleng kepala. Ya begitulah karena dia salah mengira. Jadi repot juga kan, apalagi kalau mau buat surat lagi.
Ketiga, nama saya juga terkadang jadi bahan lucu-lucuan. Dulu saat mengikuti webinar, saya sempat ditanya, “Nama lengkapnya siapa, Mas?” Saya pun menjawab, “Budi.” Terus orang tersebut bertanya ulang, “Siapa namanya?” Lagi-lagi saya menjawabnya, “Budi, Budi saja.” Sehingga orang tersebut berkata, “Oh, Budi Saja nama lengkapnya.” Wah, repot lagi kan, maunya saya menjelaskan bahwa nama saya Budi dan artinya Budi saja, tidak ada tambahan lain, hanya empat huruf B.U.D.I.
Keempat, nama dengan satu huruf saja menurut saya terkesan pasaran, terlalu datar, dan tidak menunjukkan nama yang menakjubkan. Dan secara pribadi juga tidak ada ciri khasnya, nama lengkap dan nama panggilan bakal sama saja. Sehingga terdengar hanya biasa-biasa saja, tidak ada pembeda.
Saya percaya setiap nama pasti memiliki arti masing-masing. Setiap nama pasti memiliki makna yang baik, namun yang sedikit mengganjal kalau nama itu sifatnya biasa-biasa saja seperti nama saya. Tetapi, saya bersyukur juga karena masih punya nama, karena kalau tidak ada, pasti menjadi tanda tanya besar.
Untuk para calon orang tua yang akan memberikan nama kepada anaknya, baiknya kalau memberikan nama lengkap tidak hanya satu kata saja, minimal dua kata lah, itu sudah cukup. Agar nantinya dapat lebih mudah membedakan nama anak sendiri dengan yang lain. Misalnya, orang dengan nama Budi itu banyak sekali. Lantas untuk membedakannya dengan yang lain, ada baiknya kalau kita tahu bahwa yang dimaksud itu Budiman, Budi Anduk, Budi Doremi, Budi Prathama, Muhammad Budi, atau Budi lainnnya. Tetapi, kalau Budi saja tentu kita akan bertanya-tanya terus Budi siapa yang dimaksud karena nama Budi itu banyak. Jadi repot untuk menjelaskannya. Repot, deh.
BACA JUGA Sebaiknya Bantuan Sosial dari Pemerintah Dihentikan Saja dan tulisan Budi Prathama lainnya.