Sejak mengenal pelajaran agama di kelas 2 SD, saya menemukan kenyataan bahwa alkohol adalah salah satu hal paling menjijikkan yang ada di dunia ini. Doktrin ini seperti menjadi rule di kepala saya bahwa minol alias minuman beralkohol, apa pun jenisnya, tidak boleh jadi konsumsi bahkan jadi obat sekalipun.
Pernah suatu waktu, ketika usia saya menginjak kelas 3 SD dan saya disuntik cacar. Saya sampai berdebat dengan salah satu guru gara-gara olesan alkohol ke luka suntik, setelah saya bertanya pada tukang suntiknya kalau olesan itu mengandung alkohol.
Sebenarnya, persinggungan saya dengan dunia alkohol, atau lebih tepatnya pengetahuan alkohol, justru berangkat jauh sebelum kejadian berbantahan dengan guru sekolah saya itu. Bertahun-tahun sebelumnya, saya mengetahui bahwa kedua abang saya adalah peminum alkohol, yang kalau minum, suka nggak asyik. Dan itu sangat mengganggu.
Orang tua saya tentu adalah dua manusia yang paling dirugikan atas kelakuan kedua abang saya ini. Pertama, ayah saya adalah seorang alim untuk ukuran warga kampung. Bukan hanya kewajiban rukun Islam yang dijalankan blio dengan penuh hikmat (rajin salat, zakat puasa, dan hanya haji yang tidak dilaksanakan, keburu meninggal), blio juga sering kali menjadi pengganti untuk mengisi khotbah Jumat jika yang ditunjuk tidak bisa. Atau jabatan sebagai bendahara masjid yang dipegang blio selama dua periode berturut-turut yang semakin menegaskan bahwa blio adalah manusia yang sangat dekat dengan kebaikan, dengan masjid. Dan seharusnya diikuti oleh anak-anaknya, terutama kedua abang saya, yang sayangnya justru jauh panggang dari api.
Ibu saya, sesekali blio menitikkan air mata setiap melihat abang saya satu atau malah keduanya menenggak sopi (minol khas timur). Sebenarnya yang ibu saya tangisi bukan perkara minumnya, tapi perkara apa yang akan dilakukan kedua abang saya ketika selesai minum. Sekadar info, kedua abang saya ini termasuk orang yang resek kalau sedang mabuk. Sesekali ibu saya yang merasa tidak pernah mengajari kedua anaknya untuk menikmati minol itu menasihati abang-abang saya untuk menghentikan kelakuan mereka. Tapi, namanya juga hobi, didukung suasana kampung yang juga memiliki massa penganut ajaran “tidak ada obrolan serius jika duduk melingkar tanpa gelas berputar”, semakin tumbuh suburlah hal yang mereka sukai tersebut.
Abang saya yang paling tua, saya mengenal dia sebagai peminum ketika berumur sekitar 6 tahunan. Saat itu, saya belum tahu pasti bagaimana pergaulan menyebabkan abang pertama saya mencintai minuman haram ini dengan sangat akutnya. Abang saya, yang pada usia anak-anak sampai remaja adalah orang baik menurut tuturan orang tua saya itu, berubah seketika menjadi sangat alcohol addict sejak memasuki usia dewasa. Dan itu sangat nggatheli karena saya yang awalnya mengidolakan dia, lagi-lagi karena cerita romantisasi kehidupan masa kecil hingga remajanya oleh kedua orang tua saya, seketika mulai berpikir dua kali untuk mengikuti jejaknya. Lah, gimana, ya? Yang baik sejak anak-anak sampai remaja bisa begitu jatuhnya ketika dewasa.
Abang saya yang satunya adalah potret yang saya kagumi sewaktu saya juga masih kecil. Walau memutuskan untuk tidak sekolah semenjak naik kelas 2 SMP karena perkara kurang ajar kepada guru, toh tidak menyurutkan asa saya menjadi pengagumnya dalam diam. Sering kali hal-hal kecil dilakukan abang saya ini, yang terlihat akan berguna untuk kehidupannya, kehidupan saya, dan kehidupan banyak orang, saya tiru. Sayangnya, lagi-lagi itu berubah sejak alkohol menyerang blio pada umur belasan. Saya menyaksikan salah satu kejadian langka yang orang kenal saat ini dengan sebutan “mabuk nggak asyik”. Itu terjadi kepada abang saya yang satu ini. Jika abang saya yang paling tua sesekali masih bisa diajak kompromi kalau sudah teler. Yang ini? Jangan harap!
Kalau sudah mabuk, abang saya yang kata banyak orang perawakannya mirip saya ini, nggak bisa hilang sampai biasanya dia tertidur, atau memang pengin saja hilang olehnya sendiri. Dalam banyak kesempatan mabuk dan berulah, ada saja barang yang dirusak atau hal konyol yang ia lakukan dan bikin saya bersumpah tidak akan meminum alkohol. Abang saya pernah menggoyang nisan makam, memanggil-manggil orang dalam makam tersebut, sampai merusak perabotan rumah lantaran merasa ditipu oleh ibu saya perihal upahnya melaut. Dan itu terjadi ketika kondisi abang saya sedang teler berat akibat alkohol, yang biasanya ditepis bantahannya sendiri, “Saya nggak mabuk, saya waras sewaras-warasnya orang waras!” Hahaha. Mana ada orang yang mau percaya orang mabuk tapi ngaku nggak mabuk?
Ketika kedua abang saya ini memasuki dunia pernikahan lalu berkeluarga, perlahan kehidupan mengurangi alkohol sampai yang benar-benar non-alkohol mulai terasa kembali. Saya seperti melihat kedua abang saya kembali dari lorong gelap menuju cahaya yang terang benderang. Walau sesekali mereka masih menenggak minol, namun kali ini dalam jumlah yang tidak sampai membuat mereka hilang kewarasan. Paling tidak, mereka perlahan mulai sadar bahwa mereka menjadi sangat buruk ketika mabuk.
Satu hal yang masih saya simpan sebagai kenangan buruk yang tidak pernah hilang sampai saat ini adalah kenyataan bahwa mereka pernah menjadi pemabuk, yang nggak asyik. Dan itu menjadi beban saya, juga beban anggota keluarga yang lain. Saya agak susah membersihkan nama keluarga dari perkara minol dan mabuk yang nggak asyik akibat kelakuan kedua abang saya dulu.
BACA JUGA Sejarah Minol di Jogja: Dari Kedai Pemabuk Sampai Lahirnya Minuman Oplosan atau tulisan Taufik lainnya.