Puasa Media Sosial: Sarana Refleksi Diri

media sosial

media sosial

Tulisan ini saya buat sebagai sarana refleksi diri dan bagi kita terkhusus pengguna berbagai macam platform media sosial setelah tsunami informasi, tontonan, berita hingga banjir data yang masuk tanpa proses penyaringan (memilah yang dibutuhkan ataupun verifikasi keaslian sumber).

Saya pernah mengikuti diskusi perihal informasi bohong (hoax) dengan pembahasan mengenai bagaimana tsunami informasi berjalan lurus dengan hoax yang ikut disebarkan oleh akun-akun yang ada di media sosial. Dan ujungnya terjadilah paradoks, setiap orang dengan mudah mendapatkan informasi namun sedikit malas atau tak memiliki waktu, tenaga maupun kehendak untuk memilih dan memilah informasi yang dibutuhkan hingga menjadi pengetahuan. Pun setiap orang bisa menjadi produsen ataupun konsumen hoax bahkan ikut andil dalam pendistribusiannya.

Jika ditelisik lebih dalam pengaruh informasi pada media sosial sejak pra hingga pasca Pemilihan Umum serentak membuat ruang hirup masyarakat Indonesia dipenuhi dengan polusi (baca: hoax) ataupun debu yang berseliweran dibawa angin-angin jahat. Jika kita tak memiliki kekebalan tubuh yang kuat maka dengan mudah terjangkit virus yang dibawanya.

Ada beberapa orang yang meyakini termasuk pengamat politik bahwa yang jadi masalah ialah sejak 2014 hingga Pemilu 2019 kita hanya dihadapkan pada dua calon kandidat Capres sehingga berpengaruh besar terhadap perpecahan dua kubu pendukung masing-masing dan dampaknya ialah polarisasi yang terbentuk di media sosial hingga merambah dalam kehidupan nyata.

Polarisasi yang sangat dirasakan ialah terciptanya ruang gema di media sosial dengan terbentuknya kelompok yang saling memakai kata cebong dan kampret. Hal ini bukan yang pertama terjadi walaupun istilah itu baru booming saat pemilu serentak kali ini.

Ruang gema pada media sosial menjadi semakin besar karena setiap linimasa akun masing-masing pendukung paslon akan disuguhkan mengenai semua hal yang mencakup informasi, tontonan, teman maupun grup ataupun kelompok yang memiliki kesamaan referensi.

Pada saat yang sama kelompok tersebut dijauhkan dari pemberitaan, teman hingga grup kelompok lain maka lahirlah fanatisme buta dikarenakan ketidakberimbangan sumber informasi, Si A makin yakin dengan pilihannya dan mudah menyalahkan si B, begitu pula sebaliknya.
Mengutip data dari We Are Sosial dan Hootsuite yang dirilis Januari 2019, pengguna media sosial di Indonesia telah mencapai 150 juta atau 56% dari total populasi, angka ini menunjukkan kenaikan setiap tahunnya. Namun sayang, setiap tahun pula informasi hoax ikut bertambah terlebih pada platform Facebook dengan pengguna paling banyak di Indonesia. Dengan berbagai macam elemen atau konten yang disuguhkan mulai dari narasi, foto, video ataupun gabungan antara narasi+foto maupun narasi+video.

Era Post Truth

Sedikit mengambil ajaran dari Aristoteles mengenai fakta dan kebenaran yang seringkali kita abaikan atau salah kaprah terhadap keduanya. Murid dari Plato itu mengatakan bahwa “kebenaran itu harus berada disekitaran fakta’” atau berjalan beriringan.

Fakta dan kebenaran adalah dua hal yang berbeda kebenaran ialah persepsi manusia terhadap fakta sedangkan fakta sesuatu yang berbasis realitas dan tak terbantahkan kebenarannya. Jika meja dikatakan meja dan kursi dikatan kursi jika yang terjadi adalah sebaliknya maka yang muncul adalah falsehood atau kebohongan.

Tak dipungkuri saat ini kita berada pada era di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi maupun keyakinan personal atau sering disebut post truth. Berapapun informasi yang diserap berbasis pada realitas,kejadian ataupun data di sosial media maupun digital news media malah tak mempengaruhi preferensi pilihan politik pendukung masing-masing calon. Terlebih di media sosial banyak akun-akun tak saling menyuguhkan fakta mengenai kandidat tetapi lebih kepada serang menyerang hal-hal yang jauh dari fakta dan mencoba mekonstruksi kebenaran untuk kepentingan masing-masing.

Turn Back Hoax

Akhir-akhir ini saya melihat berbagai macam poster ataupun spanduk di jalanan yang mengajak masyarakat memerangi hoax yang berseliweran di media sosial—tak lupa pula dengan tips mengetahui atau mengecek kredibilitas informasi. Bukan tanpa alasan spanduk itu berdiri, jika melihat situasi di mana hoax menjadikan masyarakat kita terbelah dan mudah menyalahkan satu dengan yang lainnya hingga mudahnya terjadi konflik atau saling berbenturan antara satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Terlebih pada konten SARA yang meresahkan hingga beberapa Instansi Pemerintah termasuk MUI mulai mengeluarkan ultimatum agar masyarakat memerangi dan membentengi diri dari informasi hoax.

Banyak yang tak tahu jika satu huruf saja yang dirubah pada judul suatu berita maka akan melahirkan penafsiran yang baru. Contoh pemberitaan yang kemarin sempat viral dengan mengganti dua kata mengenai “impor guru”. Padahal kata aslinya ialah “mengundang guru” sehingga di media sosial kembali riuh saling menghujat, memaki dan menjelekkan satu kelompok yang coba dihubungkan karena berafiliasi pada satu partai dengan Capres kubu sebelah.

Maka sudah sewajarnya jika berbagai instansi mencoba mengadakan diskusi publik yang juga menjadi sarana pendidikan anti hoax dalam forum-forum formal maupun nonformal.

Bijak Bermedia Sosial

Setelah berbagi bacaan, tontotan hingga adu argumen panas dalam media sosial. Kita telah sampai pada bulan Ramadan yang diwajibkannya setiap umat muslim seluruh dunia berpuasa. Puasa Ramadan tak hanya mengajarkan kita bagaimana menahan rasa lapar dan haus, lebih dari itu esensi berpuasa mengajarkan kita menahan ego, nafsu dan hal-hal yang merusak diri, keluarga, teman, kelompok maupun lingkungan sekitar.

Jika ditarik dalam arti bermedia sosial maka “puasa media sosial” bukan berarti menghentikan aktivitas kita dalam menggunakan berbagai platform media sosial. Tapi mengajarkan kita menahan diri untuk tak menjadi produsen, konsumen maupun ikut dalam mendistribusikan berbagai informasi bohong atau hoax. Termasuk mengajarkan kita bahwa kita butuh interaksi langsung pada keluarga, teman, kerabat dan tak hanya sekadar sapa pada media sosial—hingga mengatur waktu penggunaan.
Sadar dan tak sadar jika media sosial mengubah perilaku sosial kita hingga mengabaikan lingkungan sekitar. Asyik dalam pengaruh media sosial namun mengurangi waktu interaksi langsung antar sesama. Maka sudah sepatutnya setiap teknologi yang ada ia harus mempermudah kita dalam aktivitas bukan menjadikan kita budak atau menjauhkan jarak pun membentuk sekat-sekat.

Exit mobile version