Beberapa proyek betonisasi sungai di daerah lainnya banyak yang menunjukkan sebaliknya. Kita ambil contoh Kali Ciliwung. Proyek betonisasi di Kali ini menjadi biang keladi dari bertambahnya tingkat keparahan banjir yang melanda Jakarta pada 2020. Minimnya resapan air di sisi sungai membuat air malah justru meluap keluar sungai ketika debit air di dalamnya sudah lebih tinggi dari pinggiran sungai. Hal ini terjadi karena logika normalisasi itu seperti membebankan sungai sebagai penampung satu-satunya air dari permukaan.
Persis seperti selokan kecil di belakang rumahmu yang tujuannya sebagai pembuangan air kotor. Kalau airnya penuh, ya meluber ke sisi sampingnya, dan ujung-ujungnya banjir juga. Berbeda ketika di pinggiran sungai diberikan area resapan ( nggak full dibeton), air bisa masukan ke dalam tanah sehingga tugas sungai jadi sedikit berkurang.
Lihat contoh bagaimana Jepang memberikan ruang resapan di pinggir sungainya. Cara mereka untuk meminimalisir agar pinggiran sungai tetap kokoh, tapi tetap memiliki fungsi resapan adalah dengan menanam pohon berakar kuat dan menyempitkan batu-batu sungai di dinding sungai agar tidak mudah longsor atau amblas.
Ironisnya, kegagalan betonisasi Ciliwung justru hendak direplikasi di 13 sungai lain yang bermuara di Teluk Jakarta.
Potret miris dari proyek betonisasi ini juga bisa kalian lihat dari sungai di sepanjang jalur pantura antara Semarang dan Demak. Itu jadi proyek betonisasi paling gagal dan kumuh yang harusnya jadi pelajaran bagi pemerintah. Sungai itu terlihat lebar, tapi dangkal dengan pemandangan yang bikin ngeri ketika hujan lebat melanda selama beberapa hari. Dilihat dari berbagai kasus empiris selama ini, betonisasi sungai justru hanya akan membuat aliran dan pendangkalan sungai jadi lebih cepat.
Selain itu, proyek betonisasi sungai ini juga punya dampak ekologis yang nggak main-main. Ekosistem pinggiran sungai yang diisi oleh berbagai hewan dan tumbuhan pun hilang. Hewan-hewan macam kodok, ular, dan biawak dll pun nggak punya tempat tinggal. Maka nggak jarang mereka bisa saja mengungsi ke pemukiman warga karena ekosistem mereka direnggut. Terlebih ketika hewan di rantai predator itu nggak ada, bangsa nyamuk jadi makin merajalela sehingga bisa berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat.
Lalu, kalau mudaratnya lebih banyak, kenapa masih diteruskan hingga saat ini?
Saya menduga, ini hanya akal-akalan agar ada proyek berdana besar yang dapat digarap. Karena proyek normalisasi ini nominal kontraknya bisa ratusan miliar. Lah wong yang dibangun ini beton. Jelas butuh banyak dana. Berbeda dengan metode naturalisasi yang lebih minim biaya, nggak ada yang bisa nyari celah untuk tambahan kan?
Proyek betonisasi sungai memang terkesan jadi solusi cepat dan terlihat efektif. Tapi, realitas benar-benar jauh dari ekspektasi. Dan entah kenapa, masih terus saja diberlakukan, seolah-olah nalar ditolak demi cairnya cuan.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Revitalisasi Monas Tanpa Izin ala Anies Baswedan Memang Beautiful