Blora masih kerap dipandang sebelah mata, dianggap sebagai kabupaten yang jauh dari pusat keramaian dan tersembunyi di balik rimbunnya hutan. Anggapan bahwa Blora itu “ndeso” pun sudah jadi semacam label yang melekat sampai sekarang. Tapi, jujur saja, saya tak pernah merasa malu atau keberatan atas label tersebut.
Justru dari kesan sederhana dan jauh dari hiruk-pikuk itulah saya mulai mengenal Blora dengan cara yang lebih dalam. Sebagai daerah yang menyimpan banyak hal istimewa yang tak semua orang tahu.
Bahkan di balik kesan terpinggirkan itu, Blora menyimpan berbagai keistimewaan yang tak mudah ditemukan di daerah lain. Dari warisan budaya yang kuat, sejarah yang membanggakan, hingga kekayaan alam yang tak main-main, warga Blora sebenarnya punya banyak alasan untuk bangga.
Kalau kamu penasaran, yuk saya ajak kenalan sama hal-hal yang diam-diam bikin jadi warga Blora itu penuh privilege!
Bisa lebih menikmati hidup karena menjadi kabupaten tersepi se-Jawa Tengah
Sebagai salah satu kabupaten dengan jumlah penduduk paling sedikit di Jawa Tengah, Blora menawarkan sebuah kemewahan yang sering luput disadari: kesempatan untuk benar-benar menikmati hidup dalam suasana yang tenang dan tidak terburu-buru. Di tengah dunia yang kian bising dan serba cepat, Blora hadir bak oase—tempat di mana waktu seolah berjalan lebih lambat, dan hidup bisa dijalani dengan lebih sadar.
Minimnya kepadatan penduduk tidak lantas menjadikan Blora terpinggirkan. Justru dari ketenangan itulah muncul kualitas hidup yang sulit dicapai di kota besar. Jalanan yang lengang, lingkungan yang masih alami, serta interaksi sosial yang lebih hangat dan personal menjadi bagian dari keseharian warga. Ini adalah bentuk privilege yang tak kasat mata: hidup yang tidak sekadar dijalani, tetapi benar-benar bisa untuk dinikmati.
Blora adalah lumbung pencetak tokoh pergerakan legendaris
Blora, yang sering dipandang sebagai daerah terpencil dan senyap, justru menyimpan sejarah panjang sebagai tanah kelahiran tokoh-tokoh penting dalam pergerakan nasional. Saya sering berpikir, barangkali justru karena hidup dalam suasana yang keras—dari keterpencilan, ketimpangan, hingga sumber daya alam yang dikuasai segelintir orang—warga Blora jadi terbiasa berpikir kritis dan berani bersuara. Dari tanah ini, muncul pribadi-pribadi yang bukan hanya berani bermimpi, tapi juga melawan demi keadilan.
Salah satu tokoh besar yang lahir dari Blora adalah Pramoedya Ananta Toer, sastrawan legendaris yang karya-karyanya menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Sebelumnya, ada pula Tirto Adhi Soerjo, tokoh kebangkitan nasional sekaligus Bapak Pers Nasional, yang memelopori penggunaan media sebagai alat perjuangan lewat surat kabar Medan Prijaji. Melalui tulisan-tulisannya, Tirto menyuarakan perlawanan dan membuka kesadaran rakyat tentang pentingnya kemerdekaan berpikir.
Tak kalah penting, ada juga Samin Surosentiko, pendiri ajaran Samin yang dikenal karena perlawanan damainya terhadap penjajah Belanda. Melalui sikap menolak bayar pajak dan menolak tunduk pada sistem kolonial, Samin dan pengikutnya mengajarkan bahwa perlawanan tak selalu harus lewat senjata. Kadang cukup dengan keteguhan hati dan keyakinan terhadap kebenaran. Jadi, menjadi warga Blora bukan hanya soal menikmati ketenangan. Tapi juga soal mewarisi keberanian. Sebuah privilege yang tak semua orang bisa pahami: dilahirkan di tempat yang secara alami mendidik kita untuk jadi pemberani—dalam pikiran, sikap, dan tindakan.
Hutan terluas di Jawa Tengah, nafas dan sumber kehidupan mewah bagi daerah industri
Blora juga menjadi kabupaten dengan kawasan hutan terluas di Jawa Tengah, dengan luas mencapai sekitar 90.816 hektare. Sebagian besar hutan ini adalah hutan produksi yang menjadi sumber kehidupan bagi warga setempat. Dari pemanfaatan hasil kayu jati yang terkenal kualitasnya hingga pengumpulan hasil hutan non-kayu seperti pertanian jagung dan sejenisnya. Kalau dihitung-hitung, ini jelas jadi “aset berharga” yang tak semua daerah miliki.
Hutan luas ini memang menjadi “paru-paru” daerah dan tempat warga lokal untuk menggantungkan hidupnya. Tapi, perlu diingat juga. Meski punya hutan terluas, kalau salah dalam memanfaatkan dan merawatnya, keberlimpahan hasil hutan malah bisa berubah dari berkah menjadi bencana. Sehingga, hutan Blora bukan hanya soal angka luas yang membanggakan, tapi tanggung jawab besar yang harus dijaga bersama. Inilah privilege sekaligus tantangan warga Blora: punya “hutan megah” yang mampu memberi napas dan kehidupan, tapi juga menuntut kesadaran agar jangan sampai berubah jadi petaka yang merugikan banyak orang.
Itulah beberapa privilege yang saya yakini dimiliki Blora. Keistimewaan yang bahkan tak sanggung ditandingi oleh daerah lain. Sekarang tinggal bagaimana Pemkab mampu membaca potensi itu, lalu menerjemahkannya ke dalam langkah nyata. Bisa memperbaiki infrastruktur, meningkatkan akses, dan membangun Blora secara lebih terarah.
Harapan saya tentu saja, potensi besar ini tidak hanya dijadikan kebanggaan di atas kertas, tapi benar-benar dikelola agar Blora tak lagi dipandang sebagai daerah yang tertinggal. Melainkan daerah yang tahu cara tumbuh dengan privilege yang sudah dimilikinya.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Blora, Tempat Tinggal Terbaik untuk Orang Bergaji Pas-pasan yang Mendambakan Slow Living
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
