Sehari menjelang Ramadan, saya memposting sebuah poster yang intinya mengabarkan ada tarawih akbar bersama Tengku Zulkarnain dan Imam dari Palestina di Kampoeng Ramadan Jogokariyan pada malam Ahad, 5 Mei. Poster tersebut hasil capture status WhatsApp seorang kawan dari komunitas Gusdurian. Dan, dari sinilah cerita ini dimulai.
Saya benar-benar nggak nyangka kalau postingan tersebut bakal menuai nyinyiran yang cukup banal dari sejumlah netizen—yang mana merupakan kawan-kawan saya sendiri.
Menariknya, ada beberapa teman netizen yang sampai menuduh saya sudah terpapar “Islam garis keras” dari Tengku Zul, hanya karena memposting poster itu. Dan ketika saya tanya apa maksud Islam garis keras, jawaban mereka hampir seragam. Intinya kelompok Islam yang gampang ngatain kafir sama kelompok lain yang nggak sealiran mereka, pengikut Wahabi, dikit-dikit ngomong bid’ahi, dan punya agenda membangun negara khilafah.
Sejak pecah Pilpres 2019, Islam emang seolah cuma ada dua: yang garis keras dan yang nggak. Padahal dunia ini nggak melulu hitam-putih kaya papan catur. Ada yang abu-abu, biru, ungu, kuning, bahkan polkadot. Sialnya, menggolongkan seseorang hanya dalam dua kategori, selalu lebih mudah.
Terus terang saya nggak setuju dengan pendapat orang kebanyakan. Tengku Zul jelas bukan Islam garis keras. Beliau lebih cocok disebut Islam garis lucu. Kenapa? Sebab, menurut saya eksistensi beliau sebetulnya cukup menghibur dan setiap napas beliau seolah satire bagi kehidupan. Setidaknya, di balik pernyataannya yang kadang terkesan ngawur dan serampangan itu, orang-orang awam kaya saya bisa belajar beberapa hal.
Misalnya, sewaktu beliau ngomong kalau RUU-PKS hendak melegalkan perzinahan. Itu sebetulnya bukan semata-mata karena beliau ceroboh atau halu. Ada pesan tersirat untuk kita, masyarakat, supaya nggak usah terlalu fanatik sama ulama. Sekarismatik apa pun, sepintar apa pun, ulama juga manusia. Mereka bisa salah, bisa benar.
Selain itu, soal kontroversi salah tashrif-nya Tengku Zulkarnain terkait istilah “kafir,” saya kira itu bukan berarti beliau ngawur atau nggak menguasai nahwu-shorof. Terlepas dari semua itu, kita perlu curiga jangan-jangan beliau ini sebetulnya sudah paham bahwa bahasa itu bersifat arbitrer atau semena-mena.
Nama tikus, misalnya, ‘kan nggak berhubungan langsung sama pengerat yang tinggal di got itu. Juga nama gajah, mana hubungannya sama hewan besar yang punya belalai itu? Nggak ada. Saya bisa memanggil bekicot dengan nama tikus dan menyebut ular dengan nama singa kalau saya mau.
Nah, yang jadi masalah adalah, kita terjebak dalam konstruksi bahasa dan, saya kira, Tengku Zulkarnain berusaha melawan sistemnya. Meskipun jelas itu nggak segampang merebus mi instan. Begitu lho, netizen yang budiman.
Beberapa pernyataan Tengku Zulkarnain lainnya memang belum saya telaah lebih dalam. Terlalu rumit. Orang awam kaya saya jelas beda maqom dengan beliau. Nanti kalau maksa paham, bisa jadi salah tafsir dan saya takut dianggap bagian dari musuh-musuh Allah. Na’uzubillahimindzalik.
Oke, kembali ke topik utama. Sebetulnya saya sudah menduga bakal ada netizen yang nyinyir. Tapi saya kira, paling banter mereka hanya akan melempar cibiran atau sekadar emoticon wajah dengan bibir melet, bersin, pucat, maupun muntah. Sudah itu saja.
Akan tetapi, saya keliru saudara-saudara. Dari yang ngatain beliau, “kentut”, menyarankan saya menyampaikan salam misuh “jancuk”, sampai ada juga yang bilang “ngapain ikut orang itu, udah garis keras, baca Alqurannya nggak fasih pula…”
Bentar, saya heran kenapa netizen-netizen ini pada nyinyir. Lha wong ini mau masuk bulan puasa, apa salahnya Tengku Zul ngimamin di Jogokriyan? Sekaligus nyambung silaturrahim sama masyarakat Yogyakarta juga. Coba di mana letak kesalahannya? Kenapa kalian mesti nyinyir?
Lagian jarang-jarang bisa ketemu langsung sama petinggi MUI yang belakangan famous ini. Biasanya cuma bisa baca tweet-nya yang sangat mencerahkan dan inspiratif. Berkat beliau, saya akhirnya memutuskan untuk turut serta memerangi kaum-kaum kafir macam atheis, komunis, Syiah, Ahmadiyah, liberal, sekuler, pluralis, dan is, is, is lainnya—kecuali Is mantan vokalis Payung Teduh tentunya, heuheuheu.
Terkait tuduhan teman saya mengenai bacaan Alquran Tengku Zul, saya sudah mencoba membuktikannya dengan nonton video Youtube beliau pas mimpin jamaah salat. Menurut saya, yang dikit-dikit pernah belajar tajwid dan makhorijul huruf semasa diniyah sore, bacaan Alquran Tengku Zul nggak masalah kok.
Setelah menyaksikan beberapa video Zul baca Alquran, saya tanya sama temen saya itu: “Mana, katamu Tengku Zul nggak fasih baca Alquran?”
“Ada kok videonya di Youtube,” kata teman saya.
“Sudah tak lihat beberapa dan beliau bisa baca fasih kok,” balas saya.
“Oh, berarti sudah diganti yang baru…”
Saya lalu mikir, apa jangan-jangan memang Tengku Zul sudah menghapus video aibnya yang lama, terus belajar ngaji privat dulu, kemudian nyuruh simpatisan-simpatisannya upload video baru yang lebih baik? Aneh rasanya mikirin itu. Tapi kembali sebagaimana saya bahas, sejak peristiwa RUU-PKS, Tengku Zul udah ngasih clue: ulama bisa benar, bisa salah.
Terakhir, saya memposting poster Tengku Zul, bukan berarti terpapar Islam garis keras. Gini lho, logikanya apa iya kalau saya posting foto di sungai itu berarti saya mandi? Nggak, ‘kan? Bisa jadi saya lagi mau mancing atau melamun atau bahkan mau boker. Maka sebaiknya, untuk kasus media sosial, alangkah lebih bijak bila kita bertanya atau tabayyun dulu sekiranya kurang berkenan atau nggak suka sama postingan seseorang, entah itu foto atau video. Bisa juga diam-diam berhenti mengikuti atau bahkan memblokir dia, kalau emang udah kelewat jengkel. Saya rasa itu lebih baik daripada asal nge-judge.
Tabik!