Politik Khas Jogja: Darah Birumu Penentu Suaraku

Culture Shock Mahasiswa Solo yang Merantau ke Jogja, Ternyata Biaya Hidupnya Lebih Mahal  Mojok.co politik jogja

Culture Shock Mahasiswa Solo yang Merantau ke Jogja, Ternyata Biaya Hidupnya Lebih Mahal (unsplash.com)

Politik Jogja, realitasnya, tak ada ubahnya seperti ajang pesta para bangsawan. Politik dinasti, jelas tak jadi isu seksi bagi (sebagian besar) masyarakat sini

Jujur saja, saya bingung kenapa kalian masih ribut masalah politik dinasti. Seperti baru kenal saja dengan loophole terbesar demokrasi ini. Dari Amerika Serikat sampai Korea Utara (yang katanya demokrasi) semua terjebak dalam politik dinasti. Dan hal ini tetap jadi gorengan politik di berbagai belahan dunia.

Tapi politik dinasti yang diributkan itu masih biasa saja. Politik Jogja (Baca: Daerah Istimewa Yogyakarta) lebih istimewa dong. Nggak perlu banyak drama menutupi agenda politik dinasti. “Darah biru” dan gelar kebangsawanan bisa mendulang suara. Tidak perlu takut dibilang politik dinasti, karena darah biru itu harus dipamerkan. Tanpa perlu koar-koar janji manis apalagi beropini tajam biar kelihatan progresif.

Tenang, saya tidak mau menghakimi satu dua pihak. Tapi sudah saatnya kita mengakui gaya politik daerah istimewa ini. Bukankah ini yang dibanggakan warga Jogja? Percaturan politik Jogja minim suara lantang dan perlawanan pada sistem. Budaya dan garis keturunan lebih menentukan kepercayaan masyarakat.

Perang antarbangsawan

Saya pernah mengkritik caleg Jogja yang minim gebrakan. Semua tokoh politik Jogja sibuk bicara keistimewaan dan warisan budaya Jawa sebagai tema kampanye. Paling mentok sih bicara kesejahteraan yang kurang terukur. Ayolah, tidak ada caleg yang berani koar-koar masalah sampah dan UMR gitu?

Ketika semua calon terlihat sama, urusan latar belakang jadi daya tarik. Sejak 2013, Dapil DIY disebut sebagai laga pertarungan para bangsawan. Banyak caleg DPR RI yang bersaing ketat memiliki gelar dari Kraton Yogyakarta. Dari gelar berdasarkan keturunan, sampai gelar penghargaan.

Sebenarnya bukan bangsawan Kraton saja yang ikut berlaga. Bangsawan dari organisasi agama sampai dinasti politik Orba juga ikut meramaikan perang bintang ini. Namun darah biru dari monarki Mataram masih lebih diperhitungkan. Mau bukti nyata?

Silahkan cek siapa anggota DPD dari Jogja sejak 2004 sampai hari ini. Masih orang yang sama dengan gelar tertinggi nomor dua di monarki Jogja. Bayangkan, sudah 4 periode lho! Bukankah ini bukti nyata darah biru lebih dipercaya mayoritas warga Jogja? Belum lagi jajaran legislatif yang memajang gelar kebangsawanan di nama mereka. Yah, realitas yang istimewa.

Darah biru adalah jaminan integritas

“Apa salahnya sih bangsawan jadi caleg?”

Mungkin Anda berpikir demikian. Lho, yang nyalahin juga siapa. Mau bangsawan atau tukang becak bebas jadi caleg. Asalkan ada yang mengusung dan punya kapital politik. Toh nggak ada bedanya dengan politik dinasti kan? Yang penting niatnya baik.

Tapi apa kelebihan darah biru ketika berlaga di panggung politik?

Saya sih berharap ada mahasiswa sospol yang meneliti kecenderungan ini. Tapi dari yang saya temukan sehari-hari, darah biru tidak hanya menunjukkan status sosial semata. Namun dipandang sebagai jaminan integritas seorang caleg sebagai penyambung lidah rakyat Jogja.

Seorang bangsawan dipandang sebagai manusia unggul. Entah secara spiritual, ekonomi, maupun sosial. Apalagi kelompok bangsawan mendapat privilese ekonomi ketika monarki masih absolut. Karena warisan sudut pandang ini, para bangsawan akan mendapat tempat istimewa di masyarakat. Dari posisi duduk saat kenduri, sampai dipercaya memimpin desa.

Warisan ini masih tertanam dalam benak masyarakat. Apalagi budaya ikut memelihara status sosial macam ini. Akhirnya stigma unggul ini masih terpelihara sampai sekarang. Dari dipandang pintar, santun, sampai berkarisma. Bahkan perilaku kontra sosial mereka–para caleg–sering dimaklumi.

Tempatkan manusia dengan stigma di atas dalam masyarakat Jogja hari ini. Tentu mereka, para peserta pesta politik Jogja, punya modal sosial lebih kuat daripada “rakyat jelata.” Mau menolak seperti apa pun, Anda tidak bisa memungkiri realitas ini. Karena stigma ini didukung dengan semangat membela budaya dan kedaerahan yang masih kental. Tentu berbeda dengan daerah yang sudah kehilangan nafas feodal.

Minimal lihat barisan baliho yang mencemari mata kita. Berapa banyak sosok mbuh dari mana tampil sebagai wakil rakyat. Dan banyak yang menerima orang asing ini karena memiliki darah biru. Entah siapa dia, tapi tetap pantas bagi rakyat Jogja. Itulah realitas pahit politik Jogja.

Semua ingin jadi bangsawan demokrasi, politik Jogja memang begini

Anda sudah melihat bagaimana kebangsawanan menjadi privilese sosial. Bahkan ketika para bangsawan ini hidup dan berdinamika layaknya warga biasa. Maka jangan kaget ketika muncul bangsawan-bangsawan kecil. Bukan hanya bangsawan ormas dan dinasti politik, namun mereka yang mendaku sebagai si paling Jawa.

Muncul banyak sosok yang menyelimuti diri dengan feodalisme yang pekat. Padahal belum tentu dia punya garis keturunan ningrat. Namun personal branding seperti ini ternyata masih ampuh menggaet hati masyarakat Jogja.

Akhirnya pesta demokrasi menjadi ajang pamer kebangsawanan. Sisanya berusaha mendaku sebagai si paling budaya dan njawani. Itulah realitas politik Jogja. Bukan bertarung demi mewakili suara rakyat. Tapi pertarungan demi menjadi bangsawan di tataran demokrasi.

Eh, tapi bukannya dinamika politik Indonesia memang seperti itu? Ah, nggak juga. Banyak yang fokus memenangkan kepercayaan rakyat dan melunasi janjinya. Contohnya……….

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Jogja Istimewa: Realitas atau Ilusi?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version