Baru-baru ini topik aborsi kembali meramaikan jagad Twitter. Kali ini, berita tersebut dari laporan Project Multatuli tentang seorang anak korban pemerkosaan yang dilarang melakukan aborsi oleh polisi. Seperti biasa, selalu ada pihak yang melakukan atraksi tak perlu. Dan kali ini pak polisi yang menghalangi upaya aborsi korban, yang dapat spotlight-nya.
Bagaimana tidak, dengan enteng mengatakan bahwa pihaknya tidak memberikan izin kepada korban untuk melakukan aborsi. Seolah-olah ia adalah pihak yang paling berwenang dan layak untuk mengambil alih keputusan tersebut. Padahal, seharusnya mereka tidak punya kewenangan dalam hal itu.
Sayangnya, keputusan tetap diambil dengan dalih hasil diputuskan melalui diskusi dengan pihak yang sama tak berwenangnya. Hal seperti trauma, beban fisik, mental, dan kesehatan reproduksi yang ditanggung korban sepertinya diabaikan.
“Lho, berani-beraninya bilang diabaikan, emang tahu diskusinya kayak apa?” Ya nggak sih, tapi nyatanya keputusannya kayak gitu kan. Berarti, ada hal yang diabaikan, bukan?
Kasus ini menambah daftar panjang hal-hal yang seharusnya dicampuri pihak tak berwenang. Kali ini, polisi dan aborsi. Ketika hal ini harusnya diurusi oleh pihak yang berwenang, polisi justru memberi keputusan final—meski dengan dalih diskusi dengan banyak pihak—yang memberatkan korban.
Korban harus menanggung trauma, derita, dan ketidakadilan di waktu yang sama. Manusia, meski lebih kuat ketimbang kapal yang tetap tegak dihantam ombak samudera, tetap bisa runtuh..
Pada waktu-waktu tertentu, aparat memang kerap kali menjadi polisi moral yang mendadak mencampuri urusan masyarakat. Sayangnya, kebanyakan dilakukan di tempat yang sama sekali tidak tepat. Perkara aborsi ini contohnya, tiba-tiba saja mereka peduli dengan kehidupan janin, dosa, dan sebagainya. Tapi, buta kepada penderitaan korban (yang juga makhluk hidup) yang harus menanggung kehamilan akibat pemerkosaan.
Mau contoh selain kasus ini? Banyak, tapi nggak usah kita sebut semua. Nanti artikel ini jadi daftar kasus doang. Bukan tugas saya juga sih. Kita kasih contoh populer saja ya.
Tayangan 86 serta sejenisnya sering menyuguhkan polisi sebagai penegak moral. Nasihat, ceramah, dan wejangan sering diberikan kepada orang yang mereka anggap kurang baik. Nggak salah sih, namanya juga saling mengingatkan kepada kebaikan. Lha tapi itu kan bukan urusan mereka. Selama tidak ada hukum yang dilanggar, biarin aja.
Toh, kejahatan lain macam curanmor dan klitih tetap ada dan berlipat ganda. Apa ya perlu dikasih tahu bahwa masih ada hal yang lebih penting untuk diurusi? APBN besar buat apaaarghhh.
Sayangnya, mencampuri urusan privat ini ternyata nggak cuma dilakukan oleh polisi. Pemerintah pun kerap melakukan hal yang sama melalui berbagai peraturan. Sebut saja Permenkominfo yang baru disahkan tahun kemarin. Ia mengizinkan aparat, pemerintah, dan masyarakat untuk mengakses data pribadi orang seluas-luasnya, bahkan hingga ranah orientasi seksual sekalipun.
Yang lain, bentuknya masih rencana. Seperti RUU Ketahanan Keluarga yang berupaya mengatur peran antara suami dan istri di dalam rumah tangga. Ada juga rancangan perda kota religius di Depok yang mewajibkan pelaksanaan ibadah dan etiket berpakaian warga. Ya begitulah kurang lebih gambarannya, hal privat yang tidak mempengaruhi hajat hidup orang banyak berusaha diatur sedemikian rupa.
Sedangkan yang justru diperlukan campur tangan negara, justru diabaikan dengan argumen “negara tidak ikut campur urusan pribadi”. Marital rape/perkosaan dalam perkawinan dihapus dari RUU (T)PKS. Kosakata “consent” yang menjadi kunci pembeda antara tindak pidana dan bukan tindak pidana, juga dihapus dengan alasan menghindari perdebatan. Dengan segala ketidaktegasan itu, nyatanya sampai sekarang undang-undang tersebut tak kunjung disahkan juga. Sementara korbannya terus ada.
Bayangin bentar deh. Ada aturan dihapus dengan alasan menghindari perdebatan. Padahal mereka dibayar untuk ngurusin hal itu. Mendingan Fred dah kalau ini.
Jangankan yang masih rancangan. Lha wong yang sudah ada undang-undangnya, pun, kekerasan dan kejahatan yang terjadi di ranah privat kerap kali diabaikan. Contohnya, UU PKDR yang sampai sekarang masih menggunakan delik aduan. Yang mana, berarti laporan baru dapat ditindaklanjuti jika korban mengadu. Padahal kenyataannya sekadar mengadu pun berat bagi korban, banyak tekanan sosialnya. Belum lagi kalau nanti dapat ancaman dari pelaku, laporan bisa saja dicabut oleh korban. Sedang kenyataannya ia akan tetap mendapat siksaan di dalam rumahnya.
Untuk ngurusin yang kaya gini, semangat pemerintah menghilang.
Kapan, ya, negara kita ini bisa paham skala prioritas? Biar nggak kebalik-balik gitu loh. Yang harusnya dilindungi, malah nggak digubris. Yang harusnya dibiarkan, malah dikurung aturan. Keadilan, rasa-rasanya masih jauh.
BTW, kalau ada yang minta solusi dari saya, tolong banget ini mah, solusinya ya tinggal baca artikel ini.
Sumber Gambar: Pixabay