Istri kerja banting tulang, eh suami enak mancing dan nggantang!
Facebook Fanpage Info Cegatan Jogja (ICJ) kali ini punya kisah baru. Bukan berita kecelakaan atau polah nggatheli tim bully ft. pemuja keistimewaan Jogja. Kali ini ICJ menjadi tempat curhat perihal hubungan suami istri. Terutama menyorot perkara hobi suami yang (dipandang) menelantarkan keluarga.
Kalau boleh saya rangkum, curhatan ini berisi keluh kesah seorang istri yang kecewa dengan suaminya yang menganggur dan fokus pada hobi. Hobinya memang khas bapak-bapak Jogja: mancing dan nggantang. Nggantang adalah istilah untuk hobi ikut kontes burung kicau dan hias. Nah, kombinasi menganggur dan sibuk hobi ini menyebabkan sang istri geram. Apalagi si suami juga selalu meminta jatah jajan untuk makan dan rokok. Sedangkan si istri banting tulang kerja.
Tapi, geramnya sang istri ini bukan tertuju ke si suami saja. Kegeraman ini juga tertuju ada realita sulitnya memperoleh pekerjaan. Apalagi untuk mereka yang sudah berusia 35 tahun lebih. Rendahnya jenjang pendidikan ikut menyempurnakan susahnya cari kerja ini. Kegeraman semacam ini sangat relevan di bumi Narimo ing Pandum. Dan sudah pasti, warga ICJ saling balas berkomentar.
Dan ketika postingan ICJ ikut disebarkan di Twitter, sudah pasti geger gedhennya lebih terasa. Bahkan Mbak Kalis Mardiasih ikut berkomentar. Saya sendiri mengetahui keluh kesah ini dari twit Mbak Kalis ini. Mbak Kalis ikut berkomentar dan menekankan pada isu sosial di balik tragedi ini. Saya yakin, twit Mbak Kalis ini tidak ditujukan ke bojonya.
Komentar serius.
Akar masalah sesungguhnya bukan hobi mancing/ gantang manuk. Tapi:
1) Perubahan ruang hidup, wong cilik sudah ga punya tanah.
2) Tidak punya alat produksi. Karena kalah saing dengan alat produksi pabrik.
3) Hilangnya kolektivitas. Semangat hidup nafsi nafsi. https://t.co/QdkZ2QLPOs— Kalis Mardiasih (@mardiasih) October 29, 2021
Pro kontra jelas ada. Kalau tidak, berarti Messiah sudah turun. Saya sendiri ikut tertarik pada isu hobi khas lanangan ini. Namun saya sadar, tidak ada yang hitam dan putih ketika bicara isu. Dan untuk kasus ini, saya melihat dari dua sisi sekaligus. Dari isu sosial itu sendiri, dan dari tanggung jawab anggota keluarga.
Saya mulai dari isu sosial dulu. Sudah jadi rahasia umum jika usia dan pendidikan punya pengaruh dalam mencari kerja. Apalagi kalau bicara pekerjaan dengan upah layak. Maksimal usia di bawah 30 tahun dengan pendidikan tinggi terakreditasi menjadi syarat paling standar setelah kelamin. Alasannya cukup jelas. Pihak perusahaan ingin mendapatkan karyawan terbaik, baik dari potensi usia sampai skill.
Untuk kelompok masyarakat di luar standar itu, tentu sangat sedikit lowongan pekerjaan yang bisa diakses. Bahkan untuk pekerjaan serabutan sekalipun, usia maksimal pun sering di bawah 30 tahun. Tentu demi mengoptimalkan kinerja. Pekerjaan lain yang tersedia menuntut skill yang mumpuni. Sekalinya tidak butuh skill, pendidikan, dan usia tertentu, gajinya terlewat mengerikan.
Maka wajar jika Indonesia belum bisa mentas dari masalah pengangguran. Katanya sih angka pengangguran selalu menurun dari tahun ke tahun. Kecuali 2020-2021 yang boleh kita anggap dunia sedang syntax error. Tapi di balik persentase yang kayaknya positif, masih ada manusia yang terjebak oleh situasi tanpa penghasilan. Salah satunya bapak yang jadi sumber geger gedhen ini.
Lalu bicara hobi, mungkin Anda ingin bersuara, “Sudah nganggur kok malah punya hobi?” Kalau memang itu yang Anda pikirkan, mungkin Anda ada dalam kelompok masyarakat menengah yang masih mampu mengakses pendidikan, pekerjaan, dan kenikmatan lainnya. Untuk masyarakat termarjinalkan, hobi mancing dan nggantang adalah pelarian paling realistis dari sesaknya dunia!
Sekarang apa sih yang bisa dilakukan masyarakat menengah ke bawah untuk mendapatkan hiburan. Apalagi dengan siaran TV yang makin menjemukan serta tidak punya target market jelas. Mau main media sosial juga akan menjemukan jika tidak punya ketertarikan untuk ribut. Mau baca Mojok, mungkin mereka tidak kenal apa itu.
Mancing menjadi hiburan paling personal. Apalagi jika mancing sendiri, kita bisa membiarkan pikiran lepas ke mana saja. Selain personal, mancing juga hiburan yang memberi harapan. Mendapatkan ikan bisa menjadi embun di tengah gurun peradaban yang serba timpang. Setidaknya, ada sedikit perasaan lega ketika tahu esok hari ada lauk ikan di dapur. Yah, sedikit self reward dari label gagal karena pengangguran.
Hobi nggantang memberi sensai lain daripada mancing. Suasana kompetitif dan interaksi dengan pelaku hobi lain tentu menyenangkan. Dan seperti memancing, nggantang juga menjanjikan kemenangan. Ketika ada latihan bersama atau lomba, hadiah berupa uang memang menjanjikan. Siapa sih pria yang tidak bahagia ketika bisa membawa sedikit rupiah hasil mengalahkan pria lain? Toh mentalitas ini sudah tertanam sejak kita dini dari pendidikan “ketimuran” kita.
Untuk hobi nggantang, ada juga mimpi untuk menjadi penjual burung kicau juara. Dengan harapan burung yang dimiliki jadi pemenang, harga burung tadi makin mahal. Tentu ini menjadi mimpi di tengah tekanan sosial sebagai pengangguran. Meskipun mimpi ini juga penuh halusinasi karena urusan jual beli burung melibatkan kapital yang tidak kecil.
Ketika mereka terjebak dalam situasi kalah secara sosial, hobi ini menjanjikan sedikit kemenangan dalam hidup mereka. Mendapat ikan atau menang lomba burung memberi mereka sedikit hiburan. Karena realita sosial hari ini menempatkan mereka sebagai “sampah” yang membebani kehidupan keluarga.
Nah, bicara keluarga saya punya sudut pandang lain. Mungkin sudut pandang ini tidak sejalan dengan pemikiran ala patriarki khas Indonesia. Tapi, saya pikir ini paling realistis ketika bicara situasi sosial dan ekonomi Indonesia hari ini.
Apakah suami menganggur dan istri kerja bisa diterima? Saya pikir ini bisa sekali. Selama ada kesepakatan atas konsekuensi yang terjadi. Dalam keluarga, mencari nafkah bukan satu-satunya pekerjaan. Ada pekerjaan domestik yang harus dikerjakan, misalnya merawat anak, mencuci pakaian, memasak, dan pekerjaan lain.
Jika menurut masyarakat patriarki, pekerjaan domestik itu jatah istri. Tapi kita bicara di luar koridor nggatheli itu. Dan memandang dari kacamata bahwa suami dan istri punya peran yang sepadan untuk menjalankan rumah tangga. Jika istri kerja, ya suami wajib mengerjakan pekerjaan domestik. Jika keduanya kerja, solusi terbaik adalah membayar orang lain untuk mengerjakan pekerjaan domestik ini.
Yang jadi masalah adalah: suami menganggur namun enggan mengerjakan pekerjaan domestik. Terutama akibat benturan paham patriarki dan realita yang tidak sesuai. Apalagi merasa istri tetap wajib mengerjakan pekerjaan domestik karena status sosialnya. Padahal sang istri sudah mengurusi pemenuhan kebutuhan hidup. Sedangkan si suami malah sibuk mengaktualisasi diri tanpa peduli situasi rumah. Ini sih yang kena pola pikirnya. Bawa saja ke bengkel bubut biar ditambah kapasitas otaknya!
Pada akhirnya saya melihat perkara curhatan tadi bukan masalah sederhana. Bukan masalah interaksi antara suami dan istri. Tapi benar-benar sebuah masalah yang berakar dari situasi sosial masyarakat luas. Mungkin hanya sang istri kerja tadi yang cukup selo dan berani menyuarakan isu ini. Saya yakin masih banyak istri yang terjebak situasi sepelik ini.
Siapa sangka postingan di ICJ yang serba njelehi itu bisa membuka mata kita bersama. Dan siapa sangka, hobi mancing dan nggantang burung kicau punya korelasi dengan berbagai isu sosial yang biasa dikaji ndakik-ndakik oleh akademisi. Yah, inilah situasi kita sekarang.
Sumber Gambar: Pixabay