Tulisan ini muncul dari kegelisahan saya tentang banyaknya warga di kampung saya yang menuduh ketua RT dengan tuduhan macem-macem. Misalnya, RT di kampung saya dituduh warga melakukan korupsi BLT dana desa. Atas tuduhan itu, salah satu RT di kampung saya mengundurkan diri. Padahal, setelah saya ngobrol dengan RT yang bersangkutan, dia tidak korupsi sama sekali.
Saya atau Anda mungkin sudah lumrah mendengar keluh kesah warga terkait BLT dana desa. Misalnya warga sering kali menanyakan mengapa dirinya belum diberi bantuan. Ketika warga mengeluh seperti itu, orang yang mereka bicarakan adalah pengurus di kampungnya yaitu Pak RT dan Pak RW.
Nah, beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah Pak RT yang telah mengundurkan diri tersebut. Alasan saya berkunjung ke rumah beliau, fokus saya untuk menanyakan masalah BLT ini. Sekaligus bertanya juga seputar pengalaman dirinya menjadi RT. Dan saya pikir cukup adil rasanya kalau kita mau mendengar keluh kesah seorang RT agar kita tidak berpihak kepada suara warga saja.
Pak RT yang saya tanya-tanya namanya Mang Tatang. Meski Mang Tatang statusnya sudah menjadi mantan RT, saya tetap memanggil dia pak RT. Sebab, panggilan tersebut masih melekat kepada sosok Mang Tatang, ini berhubung beliau sudah menjabat selama delapan tahun lebih.
Pertanyaan pertama yang saya tanyakan kepada Mang Tatang yakni tentang kriteria warga seperti apa yang dianggap layak mendapatkan BLT. Mang Tatang menjawab, “Sebenarnya semua warga layak mendapatkan bantuan. Sebab, hampir semua warga terkena dampak dari pandemi ini. Memang, dalam syarat yang mendapatkan BLT dana desa 600 ribu ini, warga yang berpenghasilan lima juta ke atas dikecualikan, tetapi nyatanya warga yang berpenghasilan lima juta tetap saja suka ada yang pengin dapet bantuan.”
“Ditambah lagi, pihak desa menyuruh kepada RT bahwa warga yang mendapatkan bantuan ini misalnya harus sebelas KK, nah bagaimana kami memilihnya? Andai saja pihak desa menyuruh bantuan dari pemerintah ini dibagi rata, kan tidak akan repot begini,” tambah Mang Tatang.
“Apakah Mang Tatang dan kawan-kawan sudah menginformasikan kepada warga mengenai beberapa syarat untuk mendapatkan BLT dana desa ini?” tanya saya.
“Sudah. Namun, bagi warga yang belum dapat BLT seharusnya bersabar karena banyak tahapnya. Nanti akan ada tahap lolos seleksi. Ini dinilai jika warga tersebut benar-benar warga yang kurang mampu. Masalahnya hampir semua warga merasa dirinya kurang mampu,” jawab Mang Tatang.
“Lantas, apa solusi dari para RT untuk menangani warga yang sering merasa dirinya kurang mampu?”
“Nah, saat ini RT berinisiatif untuk membagikan BLT dana desa ini dibagi rata saja secara diam-diam untuk meredam warga yang suka mengeluh, namun tetap saja cara ini bukan sebuah solusi karena bantuan yang diterima pasti warga merasa tidak sesuai dengan jumlahnya.”
“Sebab warga merasa bantuan ini tidak sesuai jumlah yang seharusnya dibagikan, barangkali apa ini salah satu tuduhan kepada RT bahwa RT dianggap melakukan korupsi?”
“Benar. Itulah yang membuat saya pribadi mengundurkan diri. Padahal, saya sendiri tidak korupsi. Dan misalnya kalau ada seorang RT yang mengambil sedikit uang dari bantuan pemerintah, seharusnya itu wajar saja karena hasil capek kesana-kemari.”
“Tuduhan apa lagi yang sering Mang Tatang dengar dari warga?”
“Banyak warga menganggap bahwa pendataan BLT ini tidak tepat ke penerimanya, katanya RT suka meloloskan penerima hanya karena faktor tetangga gitulah. Padahal, sudah dibagi rata, heran saya.”
“Jadi apa harapan Pak RT terhadap warga?”
“Harapan RT sebenarnya sederhana. Bagi warga yang sudah mendapatkan bantuan mestinya diam saja. Tidak perlu ngasih tahu ke tetangganya bahwa mereka sudah mendapatkan bantuan. Jadi kalau dikasih tahu ke tetangga-tetangga gitu, nanti jadi masalah tersendiri buat para RT. Semua RT sudah kerja keras memilah dan memilih warga yang benar-benar kurang mampu”
“Kami setiap tiga hari sekali rapat di rumah Pak RW memikirkan berapa jumlah uang yang harus diberikan kepada warga A, B, C. Ditinjau dari apakah warga A dalam keluarganya masih ada yang bekerja atau tidak berpenghasilan sama sekali. Mikirin itu aja terus,” tambah Mang Tatang.
Selain karena Mang Tatang mengundurkan diri dituduh korupsi BLT dana desa, ia juga merasa gaji yang diberikan pemerintah kepada RT tidak sesuai dengan jerih payahnya mengurus warga. Satu bulan RT digaji 250 ribu rupiah, kemudian dipotong 100 ribu rupiah sebab pandemi ini. Dengan bayaran segitu apa sebanding dengan rasa sakit yang ia terima?
Anehnya, ketika Mang Tatang pernah mengeluh seperti itu kepada warga, warga hanya mengatakan, “Itu sudah risikonya jadi RT”. Namun, ketika Mang Tatang menanggapi, “Sok atuh siapa yang mau jadi RT?” Warga bungkam saja.
“Jadi, mau warga sebetulnya apa?” tanya Mang Tatang. Dan ini saya pikir pertanyaan yang mewakili seluruh RT.
BACA JUGA Wawancara sama Mbaknya si Bintik, Kucing Gemas Penyegar Timeline Twitter dan tulisan Muhammad Ridwansyah lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.