Beberapa waktu yang lalu, jagat media sosial—khususnya Instagram—digemparkan oleh sebuah unggahan flyer pelantikan pengurus PMII Kabupaten Sumenep. Bukan karena desainnya yang estetik atau isi acaranya yang sarat intelektual. Tapi karena flyer itu menampilkan hiburan musik dangdut lengkap dengan kehadiran model berpakaian seksi. Tak ayal, unggahan tersebut langsung viral dan jadi bahan perbincangan. Terutama di kalangan aktivis dan alumni organisasi kemahasiswaan Islam.
Tak butuh waktu lama, kontroversi pun merebak. Dan ya, saya ikut terseret. Beberapa kawan lama mengirimi saya flyer tersebut lewat DM dan WhatsApp, lengkap dengan komentar satir yang menyenggol masa lalu saya di PMII. “Lha iki organisasi Islam, to?” atau “Kok iso acara pelantikan isine biduan?” begitu kira-kira nada-nada yang mampir ke ponsel saya.
Sebagai seseorang yang dulunya cukup aktif berproses di PMII, tentu ada rasa janggal. Tapi jujur saja, saya tidak kaget. Wes ora nggumun.
Lewat tulisan ini, saya tidak sedang ingin berkhotbah atau meluruskan sesuatu. Ini bukan ceramah, bukan pula klarifikasi. Saya hanya ingin menulis satu dua catatan kecil sebagai refleksi, mungkin juga kritik yang mudah-mudahan masih relevan. Karena bagi saya, fenomena flyer dangdutan itu bukan soal moral semata. Tapi soal arah gerak organisasi yang makin hari makin terasa kehilangan pijakan. Jadi, kalau kamu heran kenapa saya tidak terkejut, yuk kita ulas pelan-pelan.
Kader PMII sudah banyak yang kehilangan arah pergerakan
Dulu, PMII dikenal sebagai organisasi yang serius dalam membina intelektual, spiritual, dan kepekaan sosial kader-kadernya. Forum-forum diskusi rutin, kajian ideologi, hingga aksi-aksi advokasi menjadi bukti nyata bahwa PMII bukan hanya tempat berkumpul, tapi ruang pembentukan watak perjuangan. Para kader ditempa untuk berpikir kritis sekaligus tetap berpijak pada nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah, dengan misi besar: membela kaum mustadafin.
Tapi sekarang, realitasnya mulai terasa jauh berbeda. Banyak kader yang terlihat abai pada hal-hal paling mendasar, seperti salat dan puasa. Bukan mau sok suci, tapi bukankah organisasi ini membawa embel-embel “mahasiswa Islam”? Lalu, bagaimana bisa urusan ibadah wajib justru dianggap sepele? Kalau hal yang fundamental saja mulai dilupakan, bagaimana kita bisa bicara soal perjuangan umat dan bangsa dengan serius?
Lebih ironis lagi, proses kaderisasi yang seharusnya menjadi jantung dari pergerakan justru kerap berantakan. Saya masih ingat ketika ikut PKD di salah satu cabang, rundown acaranya molor parah. Bukan hanya satu dua jam, tapi sampai berantakan total. Ketika ada peserta yang menyampaikan kritik, alih-alih ditanggapi dengan bijak, panitia malah nyeletuk: “Ya udah kalau nggak suka, pulang aja!”
Lah, ini pelatihan kader atau acara kondangan?
Sikap seperti ini jelas mencoreng semangat Amar ma’ruf nahi munkar yang selama ini selalu digaungkan. Jadi, kalau hari ini arah gerak PMII terasa kabur, ya kita memang sedang panen dari benih yang dulu ditanam dengan asal-asalan.
Jadi nggak perlu kaget dengan flyer dangdutan dan biduan seksi
Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya saya—atau bahkan siapa pun di luar sana—nggak perlu terlalu kaget dengan munculnya flyer pelantikan PMII yang dimeriahkan oleh hiburan dangdut dan penampilan model seksi. Reaksi heboh publik memang bisa dimengerti, apalagi mengingat label “organisasi mahasiswa Islam” yang melekat pada PMII. Tapi kalau melihat kondisi internal belakangan ini, hal seperti itu sejujurnya bukan kejadian yang mengherankan.
Fenomena semacam ini jelas bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba atau tanpa sebab. Ia adalah akumulasi dari perjalanan panjang yang pelan-pelan mengikis esensi organisasi. Dan perlu digarisbawahi—bukan jenis hiburannya yang jadi masalah utama, tapi bagaimana konteks acara dan nilai-nilai yang seharusnya dikedepankan justru diabaikan. Ketika komitmen terhadap nilai-nilai spiritual, sosial, dan intelektual mulai tergantikan oleh logika seremonial dan pencitraan media sosial, maka yang tersisa hanyalah kemasan kosong tanpa ruh perjuangan.
Ruang-ruang diskusi yang dulu hidup kini mulai tergeser oleh rutinitas acara yang lebih mementingkan euforia dan viralitas. Forum-forum yang seharusnya menjadi tempat menajamkan nalar kritis perlahan digantikan oleh gimmick, sound system, dan lighting panggung. Maka, saat substansi perlahan ditinggalkan, jangan kaget jika simbol-simbol keislaman pun ikut menguap. Dan pada akhirnya, pertanyaan seperti “PMII itu organisasi mahasiswa Islam, kan?” akan kembali muncul. Bukan dari mereka yang tak paham, tapi dari mereka yang pernah peduli dan kini hanya bisa mengelus dada.
Tak hanya kader di tingkat akar rumput tapi juga pengurus besar PMII mesti introspeksi diri
Jadi, kalau bicara soal perbaikan PMII, yang perlu berbenah bukan cuma kader di rayon, komisariat, atau cabang. Pengurus Besar di tingkat pusat juga harus mulai bercermin. Rusaknya nilai di bawah sering kali terjadi karena lemahnya arah dan contoh dari atas. Jangan sampai pusat sibuk bikin event besar, tapi lupa membina dan menjaga ruh perjuangan organisasi. Introspeksi perlu dilakukan bersama. Agar di kemudian hari tak ada yang bertanya dengan heran, “Lho, PMII itu organisasi Islam, kan?”
Fakta bahwa banyak kader mulai abai terhadap nilai-nilai dasar, dari disiplin ibadah sampai semangat intelektual, seharusnya jadi alarm serius. Jika pusat tak hadir memberi arah yang jelas, jangan salahkan jika kader di bawah ikut kehilangan pegangan. PMII butuh kepemimpinan yang bukan cuma hadir lewat spanduk dan seremonial, tapi juga nyata dalam pembinaan dan keteladanan.
Sudah waktunya PB PMII keluar dari rutinitas formalitas dan mulai membangun kembali semangat dzikir, fikir, dan amal sholeh yang dulu jadi kekuatan kita. Kalau pusat ikut berbenah, semangat di akar rumput pun pasti bangkit kembali. Tapi kalau tetap diam dan nyaman di menara gading, ya jangan kaget kalau yang muncul hanya flyer dangdutan dan biduan seksi lagi.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Alasan yang Bikin HMI Lebih Laku Dibanding PMII di Fakultas Saya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
