Tempo hari Mbak Audian Laili, salah satu redaktur Terminal Mojok menulis satu artikel khusus untuk merespon video yang sedang viral. Secara membabi buta dan paripurna, beliau langsung mengaitkan fenomena tersebut sebagai tamparan dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Anu e Mbak Au, mohon maaf, analisisnya kejauhan.
Gini lho Mbak Au, pertama, njenengan harus ingat, responden yang diwawancarai itu menyebutkan bahwa mereka rata-rata masih kelas satu SD alias Sekolah Dasar. Mbak Au sudah ngecek kurikulum anak SD itu seperti apa? Sepengetahuan saya nih ya, mohon maaf kalau salah, mampu berhitung dan membaca itu target pembelajaran akademik yang harus dicapai pada kelas 1 SD.
Mereka tahunya ya baru sebatas SD itu sekolah yang sudah berkurang arena bermainnya. Ndak sama seperti saat mereka masih di TK. Pakai seragam merah putih, udah mulai berkurang nyanyi-nyanyinya, serta mulai belajar membaca dan menulis. Belum kepikiran lah apa itu kepanjangan SD, ndak perlu langsung berpikiran ini tamparan keras bagi pendidikan Indonesia.
Bisa jadi juga adik-adik ini mengira bahwa SD adalah sebuah kata, bukan singkatan yang memiliki kepanjangan yang sungguh sangatlah penting untuk dapat diketahui. Tentu saja karena sudah sering mendengar orang-orang menyebut Sekolah Dasar sebagai SD.
Coba sekarang saya tanya balik, tanpa membuka internet, sebutkan kepanjangan WC, BH, NB, OK, HVS, LASER, dan ROBOT? Hah? ROBOT dan LASER itu singkatan? Serius? Kok aku ndak tahu sih, wah ini tamparan keras bagi pendidikan tinggi…
Hal kedua yang perlu Mbak Au tahu, mereka ini grogi lho ditanya-tanya sama orang asing. Nggak ada basa-basi lagi, tanya nama dulu kek, sedang sibuk ngapain, atau apa gitu pertanyaan basa-basi. Lha ini secara tiba-tiba dan membabi buta langsung diberondong pertanyaan. Jangankan mereka, saya aja bisa keder.
Lho tapi saya kan juga nanya sama adik saya sendiri dan dia juga butuh waktu lama untuk menjawab?
Bentar Mbak Au, kalau dari cerita yang njenengan tuliskan, saya dapat memahami kenapa adik njenengan malah jengkel. Bicara dengan anak kecil itu ada triknya mbak, nggak bisa langsung dar der dor tanpa ada preambule. Mungkin juga adik njenengan sedang tidak mood untuk ngobrol atau menjawab pertanyaan, dan masih banyak kemungkinan yang lainnya.
Jadi plis, dikurang-kurangi dalam melaksanakan salah satu cabang olahraga atletik, yaitu langsung lompat pada kesimpulan, ehehehe.
Kasus lain, saya ambil contoh ndak usah jauh-jauh. Diri saya sendiri. Saya masih ingat betul ketika kelas 2 atau 3 SD, salah satu soal ujian adalah untuk menyebutkan kepanjangan SWT dari Allah SWT. Tentu saja sebagai anak yang agamis saya hapal jawabannya di luar kepala, tapi entah saking groginya atau apa, masih membekas dalam ingatan bahwa saat itu saya menjawab dengan “Sawah Wawan Tertinggal”. Demi Tuhan.
Iya, saya akui kondisi pendidikan kita memang belum ideal, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Tapi, masa cuma gara-gara beberapa gundul ndak mampu menguraikan kepanjangan SD kok langsung dianggap menampar dan memperlihatkan bagaimana kondisi pendidikan kita?
Mbok cari parameter yang lebih emmmkh gitu lho, misal jumlah sekolah yang rusak, total anggaran pendidikan dalam APBN, atau apa gitu. Plis jangan aku semua yang suruh mikir eak~~
Saya setuju bahwa jawaban dari adik-adik ndak seharusnya ditertawakan. Saya juga menyoroti apakah si pengunggah video sudah meminta izin kepada anak-anak tersebut dan menjelaskan semua risikonya? Kita semua tahu bahwa jejak digital itu sungguh kejam.
Saya jauh lebih khawatir kalau sampai anak-anak tersebut sekarang menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Akibatnya apa? Mereka mungkin akan tumbuh menjadi pribadi yang malas dan takut untuk berkomentar atau mengungkapkan pendapatnya karena trauma pernah ditertawakan, dipermalukan, diberi stempel “bodoh”, hingga dijadikan parameter bobroknya mutu pendidikan kita. Wallahu’alam.
BACA JUGA Istilah ‘Sekolah Dihapus’ Itu Nggak Lucu Justru Tamparan buat Pendidikan dan tulisan Bachtiar Mutaqin lainnya.