Siapa sangka mall tertua di Jawa Tengah, Plasa Simpang Lima Semarang, kini berakhir mengenaskan.
Seakan sudah jadi tradisi, membeli baju atau sepatu baru merupakan kewajiban menjelang Lebaran bagi sebagian besar orang. Meski tren saat ini masyarakat cenderung memenuhi kebutuhan Hari Raya secara online, masih ada yang memilih berbelanja langsung di mall dengan berbagai alasan. Tidak heran, beberapa minggu ke belakang ini parkiran di sejumlah pusat perbelanjaan terlihat penuh sesak.
Sayangnya, hiruk pikuk tersebut tak dirasakan oleh para pedagang di Plasa Simpang Lima yang merupakan salah satu mall tertua di Semarang, bahkan Jawa Tengah. Dibuka pada tahun 1990, pusat perbelanjaan yang namanya terbentuk dari akronim “Pelataran Serba Ada” sempat mendulang kejayaan dan menjadi kebanggaan warga Kota Atlas. Sebab gedungnya yang tinggi mencolok mata di seputar pusat kota. Maklum, kala itu tak banyak gedung pencakar langit yang berdiri di Kota Atlas.
Daftar Isi
Kondisi Plasa Simpang Lima Semarang kini memprihatinkan
Kontras dengan gemilang masa lalunya, keadaan Plasa Simpang Lima Semarang saat ini sungguh mengenaskan. Tidak hanya sepi pengunjung, kondisi fisik bangunan tak kalah memprihatinkan. Dinding gedung yang dulu terpoles cat dengan sempurna, sekarang sudah banyak yang terkelupas. Sementara bagian lantai yang dipasangi keramik berukuran 30×30 sentimeter dengan dominasi warna putih juga menunjukkan retak di beberapa tempat.
Siapa pun yang berkunjung ke Plasa Simpang Lima pada tahun ini, mungkin tidak pernah menyangka apabila pusat perbelanjaan tersebut adalah salah satu legenda di Kota Lumpia. Pasalnya, situasi yang terlihat kini tak ubahnya seperti sarang dedemit. Walau terdiri dari sepuluh lantai, hanya lantai dasar sampai lantai tiga yang menunjukkan denyut nadi kehidupan. Itu pun karena ada jembatan penghubung antara Plasa Simpang Lima dan Mall Citraland di lantai tiga. Bahkan, konon katanya dua lantai teratas mall tua ini sudah lama dibiarkan terbengkalai.
Lorong-lorong senyap menghiasi sepanjang lantai satu hingga lantai tiga. Walau masih ada sejumlah kecil tenant yang beroperasi, mayoritas telah menutup gerai untuk selama-lamanya. Pun, jika para penyewa masih nekat bertahan, sepertinya para pengunjung juga enggan bersusah payah menyambangi lapak mereka. Sebab, eskalator yang menghubungkan tiap lantai di gedung itu hanya berfungsi sebagai pajangan alias mati total. Gambaran menyedihkan tersebut kurang lengkap jika tak disertai fakta matinya lampu di beberapa titik sehingga membuat banyak orang bergidik saat menilik.
Coba bertahan sebagai pusat jual beli aksesori telepon genggam dan laptop
Sesungguhnya, Plasa Simpang Lima Semarang sempat bertahan untuk beberapa waktu lamanya, bahkan sampai sesaat setelah pandemi Covid-19 resmi dinyatakan usai. Memang tempat tersebut bukan lagi dikenal sebagai tujuan cuci mata atau nongkrong cantik, melainkan sebagai pusat jual beli aksesori telepon genggam dan laptop. Akan tetapi, perbaikan yang tak kunjung direalisasikan berakibat semakin tergerusnya kedigdayaan Plasa Simpang Lima.
Fakta tersebut terasa menyakitkan mengingat Plasa Simpang Lima sejatinya menyimpan berbagai potensi dan keunggulan dari kacamata bisnis. Nama besar sudah tentu tak perlu lagi diragukan karena mall tersebut merupakan pionir di Semarang. Ditambah lagi, lokasi Plasa Simpang Lima terbilang sangat strategis.
Menjulang tepat di seberang alun-alun ikonik Lapangan Pancasila, seharusnya Plasa Simpang Lima Semarang tak perlu sepi pengunjung. Orang dengan mudah akan menemukan tempat tersebut. Apalagi Plasa Simpang Lima memiliki koneksi langsung dengan Mall Citraland yang masih ramai disambangi masyarakat.
Potensi lain yang diabaikan adalah kenyataan bahwa Plasa Simpang Lima berdampingan dengan Hotel Grand Arkenso yang mempunyai reputasi cukup baik menurut sederet situs layanan pemesanan akomodasi. Seandainya Plasa Simpang Lima jauh-jauh hari melakukan pembaharuan, termasuk juga dalam hal branding dan positioning, bisa saja jurang menuju kehancuran dapat ditepis. Misalnya saja dengan mengubah Plasa Simpang Lima sebagai sentra dan kuliner khas Semarang sehingga tamu hotel dari luar kota akan tertarik mendatangi tempat tersebut alih-alih digunakan sebagai pusat jual beli gadget.
Tak ada tindakan menyelamatkan mall tertua di Jawa Tengah ini
Sayangnya, hingga detik ini, tanda-tanda tindakan penyelamatan untuk mall legendaris tersebut belum terdengar gaungnya. Sebab, apabila keadaan memilukan ini dibarkan terus berlanjut, kemungkinan besar Plasa Simpang Lima Semarang akan mengalami nasib serupa dengan pusat perbelanjaan lain seangkatannya. Sebut saja pertokoan di kawasan Super Ekonomi yang kini tinggal nama atau Gadjah Mada Plaza yang disulap menjadi area parkir raksasa. Padahal kedua tempat tersebut dulunya adalah area belanja ramai yang mengitari bundaran Simpang Lima.
Hal tersebut menjadi ironis manakala akhir-akhir ini banyak mall baru bertumbuh di ibu kota Jawa Tengah dengan alasan pemekaran. Apabila dikatakan kegagalan penjualan di Plasa Simpang Lima diakibatkan kalahnya persaingan dengan mall modern, rasanya opini ini kurang relevan. Sebab, Queen City Mall yang merupakan bekas Pasar Raya Sri Ratu dan sempat tersengal-sengal, saat ini beranjak pulih dan meniti tangga kesuksesan.
Mall yang baru diresmikan kembali tersebut berhasil menarik animo masyarakat. Sebab, mereka mau mengubah konsep sebagai life style mall mengikuti selera pasar. Entah bagaimana garis nasib Plasa Simpang Lima Semarang selanjutnya. Akankah mall tersebut mengikuti langkah Queen City atau justru berbalik fungsi jadi lokasi uji nyali?
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kelebihan Uptown Mall BSB City yang Tak Dimiliki Mal Lain di Semarang.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.