Sosok Plankton dalam SpongeBob Squarepants digambarkan memilih untuk menikahi Karen yang merupakan AI. Jangan-jangan, di masa depan nanti manusia memilih hal serupa?
Patah hati memang membuat dada terasa pedih dan sesak. Tapi, mau gimana lagi. Tak jarang, karena bingung harus ngapain, yang bisa kita lakukan saat patah hati hanyalah nge-scroll media sosial. Semakin digeser ke bawah, biasanya makin banyak konten yang mewakili isi hati. Jumlah like, comment, dan share di konten-konten itu pun nggak sedikit. Ini menunjukkan bahwa ternyata banyak orang yang merasakan kondisi serupa.
Hal ini membuat saya akhirnya berpikir, jangan-jangan di masa depan nanti akan ada banyak model relasi percintaan seperti yang dijalani sosok Plankton dalam serial animasi SpongeBob Squarepants. Seperti yang kita tahu, alih-alih membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warohmah dengan perempuan dari spesiesnya, Plankton lebih memilih menikahi Karen yang berupa kecerdasan buatan (AI).
Saya jadi curiga, jangan-jangan selain istikamah untuk gagal mencuri resep krabby patty, Plankton juga sering gagal dalam urusan asmara seperti kita. Sehingga untuk menemani sisa hidupnya, dia akhirnya menciptakan Karen, sebuah kecerdasan buatan yang memiliki kesadarannya sendiri.
Bukan hal mustahil kalau kecerdasan buatan suatu hari bakal sempurna
Melihat perkembangan zaman hari ini, bukan hal mustahil kalau kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) akan sempurna menyerupai manusia kelak. Kita sudah terbiasa melihatnya di banyak film, termasuk serial animasi SpongeBob Squarepants. Hari ini juga banyak pihak yang sedang mengembangkan teknologi ini.
Coba bayangkan, kalau nanti ada AI yang fungsinya adalah menjadi pasangan hidup. Fisik dan karakternya bisa kita atur seenak hati. Semua yang kita inginkan untuk ada pada pasangan tinggal diinstal dan diprogram.
Para wibu bisa mewujudkan fantasi waifunya masing-masing. Para pencinta drama Korea dapat dipukpuk oleh replika hidup yang nyata dari idol mereka.
Laki-laki nggak perlu susah payah menafsirkan arti kata terserah. Perempuan tak perlu repot-repot menuntut pasangannya peka. Bahkan, kita juga mungkin nggak perlu lagi repot-repot mengalami cedera hati berkepanjangan.
Urusan percintaan memang selalu konsisten untuk melukai hati manusia di sepanjang peradaban. Kita butuh alternatif, dan Plankton secara nggak langsung sedang menawarkannya kepada kita.
Plankton adalah gambaran gelap kita
Sebenarnya Plankton itu sendiri adalah gambaran gelap dari sisi kemanusiaan kita. Pasalnya, menciptakan sendiri pasangan kita adalah pelarian paling radikal yang berbahaya bagi masa depan umat manusia.
Lho, kok bisa?
Karena itu artinya kita sedang memberi makan ego. Seakan-akan apa pun keinginan kita kok kesannya harus dituruti.
Jadi gini, memiliki pasangan yang mengerti keinginan kita bisa jadi adalah dambaan setiap orang. Tapi, urusan mencintai nggak selalu tentang diberi. Karena mencintai itu memberi, bukan apa-apa harus dituruti. Bukankah begitu, wahai para pencinta?
Betapa banyak kegagalan dalam romansa karena kedua belah pihak nggak mampu mendamaikan keinginan yang berbeda. Ada pula kondisi di mana salah satu pihak mengalah, namun hanya menjadi bom waktu untuk nantinya benar-benar menjadi ledakan luka.
Banyak juga kok yang mampu menciptakan ketersalingan. Mendamaikan masing-masing keinginan sehingga keduanya mampu saling mengisi kekosongan ruang. Saling memberi dan bukan selalu menjadi peminta dalam menjalin hubungan. Ini jelas butuh proses panjang.
Seandainya tren AI jadi pasangan hidup benar-benar terjadi
Coba bayangkan kalau menjadikan AI sebagai pasangan hidup seperti yang dilakukan Plankton dan Karen beneran jadi tren. Bakal sedikit sekali usaha manusia untuk belajar soal mencintai yang memberi. Sebab, AI akan selalu menuruti ego kita.
Kalau ego dibiarkan liar, manusia akan merasa berhak untuk selalu diwujudkan keinginnya. Ketika banyak manusia yang seperti ini, akan sulit membangun kerja sama di dunia sosial. Nggak kebayang bagaimana konflik yang akan tercipta nantinya akibat para manusia masa depan itu gagal dalam bekerja sama.
Padahal dengan semakin kompleksnya masalah di berbagai lini kehidupan, kita nggak mungkin bisa menyelesaikannya sendiri. Perlu kolaborasi, di mana hal itu memerlukan kecerdasan emosional dan sosial untuk menaklukkan egosentris yang berlebih.
Hal semacam itu sebenarnya sedang kita pelajari di keseharian kita. Termasuk melalui upaya mencintai pasangan kita. Karena relasi intim ini dijalankan oleh dua individu yang memiliki isi kepalanya sendiri, di situlah manusia belajar perbedaan kemauan.
Sampai akhirnya, upaya yang dilakukan menghasilkan pemahaman bersama sembari bersama menundukan egosentris masing-masing. Atas dasar mencintai, manusia dituntun untuk menerima kenyataan bahwa nggak semua keinginan harus diiyakan. Hidup juga bukan hanya tentang diri sendiri.
Memang banyak upaya semacam itu yang gagal di tengah jalan. Bahkan ada juga yang gagal sebelum dimulai. Tapi itu bukanlah akhir dari episode panjang perjalanan hidup individu.
Patah hati bukan segala-galanya
Saat patah hati, segala-galanya memang terasa hampa. Tapi, patah hati bukan segala-galanya, kok. Justru di sinilah proses pentingnya. Semua itu akan memberi kita pelajaran bahwa setiap kegagalan akan membangun kesadaran bahwa mencintai itu memang sejatinya memberi.
Maka daripada menjadi Plankton yang mampu memproyeksikan pasangan idealnya, bukankah lebih baik kita menjalani cerita-cerita patah hati sembari terus mencari arti? Meski berkali-kali sesak, itu lebih baik daripada memberi makan ego yang akan membahayakan proses kita untuk menjadi manusia.
Penulis: Habib Muzaki
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Ternyata Plankton Menggunakan Filosofi Jawa untuk Menikahi Karen.