“Apakah setelah menikah aku harus hidup di rumah orang tua suamiku atau di rumah orang tuaku sendiri?”
Pertanyaan itu muncul dari seorang teman saat calon suaminya mengajaknya untuk tinggal di rumah keluarga laki-laki sesudah menikah nanti. Dengan seketika pertanyaan itu menarik saya masuk ke lorong waktu, muncul ingatan-ingatan beberapa tahun lalu ketika memikirkan tempat tinggal setelah menikah.
Kalau saya sih, lebih memilih hidup berdua dengan istri. Tinggal di rumah orangtua atau mertua, keduanya bukanlah pilihan. Mekipun ada teman-teman saya tetap menjadikan ini sebuah pilihan hidup. Tetapi saya tidak. Dalam hal ini, setidaknya saya mempunyai beberapa pertimbangan dan alasan untuk jalan hidup mandiri.
Pertama, saya rasa dalam berumah tangga tidak bisa ada dua kepala keluarga.
Setiap kepala keluarga punya tujuan dan misi yang ingin digapai bersama anggota keluarganya masing-masing. Kedua kepala keluarga ini punya pemikirannya masing-masing. Rasanya agak wagu jika satu bahtera punya tujuan dan arah berbeda.
Istri juga tidak bisa memasak dalam satu dapur rumah bersama mertua. Setiap dapur punya periuknya masing-masing. Setiap dapur punya lumbungnya masing-masing dan istri pun punya keinginan mengolah makanan untuk keluarganya masing-masing.
Misalnya si Istri hari ini ingin memasak sayur asam, sambal goreng, dan ikan teri kesukaan suaminya. Tapi di satu waktu yang sama, mertua ingin memasak kangkung, sambal terasi, dan tempe goreng kesukaan suaminya juga. Kalau sudah begini siapa yang akan mengalah?
Walaupun salah satu ada yang mengalah, tetap akan ada yang namanya konflik batin. Maka perang dingin pun dimulai. huhuhuuu, sedih akutu~
Kedua, menjaga perasaan kedua wanita; ibu dan istri.
Wanita itu memiliki hati lembut yang mesti kita jaga. Wanita bertindak berdasarkan perasaan. Dua orang wanita ini—ibu dan istri—sama-sama menyayangi kita; laki-lakinya. Namanya juga seorang Ibu, beliau akan terus memberi apa yang terbaik untuk anaknya meskipun sudah menikah. Istri juga demikian, ingin memberikan yang terbaik kepada suaminya. Apakah kamu—hei, laki-laki—akan membiarkan persaingan ini dimulai?
Biar bagaimanapun—dalam kondisi apapun—mertua akan selalu benar pada apa yang dilakukan terhadap anaknya. Sebab mertua merasa sudah berhasil membesarkan anaknya sampai hari ini dengan cara yang menurutnya baik.
Kalau seorang laki-laki masih tetap kekeuh ingin mengajakmu tinggal di rumah orangtuanya. Dan dia termasuk mommy boy yang apa-apa serba mendengarkan kata ibunya. Sebaiknya, biarkan calon suamimu itu terus membujang. Karena percayalah, kamu akan banyak makan hati saat itu terjadi.
Apa kamu siap jika ada komentar mertua atas segala hal yang telah kamu kerjakan dengan penuh kasih sayang untuk suamimu?
Misalnya makanan, kamu terbiasa dari kecil tidak menggunakan MSG, dan menurut kamu MSG itu tidak baik. Tapi menurut mertuamu, memasak tidak pakai MSG itu laksana hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga hei begitulah kata para pujangga. Sudah siapkah untuk berdebat?
Mamam tuh ati!1!!11!
Atau mau dibalik posisinya? Boleh~
Ini menjadi alasan ketiga, laki-laki tetap punya rasa nggak enakan.
Bagi sebagian orang, mertua adalah sosok yang membuat rasa canggung. Meskipun kedua mertua kita adalah sosok yang baik hati. Dalam kondisi apapun kita tetap punya batasan-batasan. Kita—sebagai orang baru—tidak bisa seenak jidat melakukan apa saja di rumah keluarga baru. Sebagai pendatang baru kita harus punya sikap yang baik.
Suami tinggal di rumah orangtua istri memang kadang terlihat lumrah. Pada umumnya seorang laki-laki akan cuek terhadap perasaan dirinya sendiri. Laki-laki bertindak berdasarkan logika. Bodo amat lah, gitu. Apa yang terjadi tidak akan dimasukan ke hati. Tapi di sisi lain rasa enggak enakan itu tidak akan pernah hilang.
Misalnya, saat pekerjaan di tempat kerja menumpuk sehingga membuatnya lebih capek dari hari-hari biasanya. Kemudian begitu sampai rumah ingin segera tidur dan berangan-angan bangun siang di akhir pekan. Loh, kalau begini, sebaiknya angan-angan itu ditendang jauh-jauh. Di rumah mertua tetap kita tidak akan bisa bangun siang. Kalau saya sih nggak mau. Matahari sudah di atas kepala gini belum bangun tidur juga. Bisa-bisa dipecat jadi menantunya.
“Tapi kan, belum punya tempat yang bisa disebut rumah?”
Jawaban dari pertanyaan ini adalah alasan keempat; kita punya bekal untuk hidup.
Kita sudah diberi bekal; pendidikan, wawasan, dan kemampuan untuk hidup. Kita cari tempat tinggal dong! Kalau memang belum punya kemampuan untuk membangun rumah, kita bisa menyewa atau mengontrak rumah orang lain. Kalau belum mampu menyewa rumah secara utuh di komplek perumahan, kita bisa menyewa rumah petak yang mirip kos-kosan. Harganya lebih terjangkau daripada sewa rumah di komplek perumahan.
Toh dengan kehidupan di rumah sendiri, kita akan merasa hidup yang sesungguhnya. Susah-senang dijalani bersama. Mau ada makanan atau tidak bisa dirasakan bersama. Sebab hidup memang harus dihidupi.
“Di rumah orangtuaku lebih besar dan ada kamar kosong yang bisa kita tinggali.”
Yakin, deh! Di rumah sendiri—meskipun kecil—dengan hasil keringat sendiri akan lebih membahagiakan. Akan lebih mendamaikan keluarga. Di rumah sendiri kita bisa bebas mengekspresikan diri dan berkreasi. Bebas melakukan pekerjaan apa saja sesuai keinginan hati.
Dalam hal pekerjaan rumah, kita juga bisa mengerjakan seenak jidat. Mau makan siang tapi mencuci piringnya nanti sore, ya nggak apa-apa. Mau mencuci baju di malam hari, ya nggak masalah. Mau menyetrika tapi cukup seragam kerja, ya selow saja. Kamu mau habis subuh tidur lagi lalu bangun jam 9 siang, ya juga bebas-bebas saja.
Kalaupun ada suami yang berkomentar “Ini rumah kaya kapal pecah.” Ya bisa kita sahut, “Mbok ya, kamu bantuin aku beberes, sayang. Agar tercipta kerapian yang kamu dambakan.”
Tapi kalau mertua atau orang tua yang berkomentar, ya palingan cuma mangkel di hati. Dongkol.
Hashh, ramashook, sista~
“Kalau tinggal di rumah orang tua dan tidak mengontrak uangnya bisa ditabung.”
Nah ini dia. Hal ini menjadi alasan kelima yang menjadi pelajaran hidup yaitu latihan mengatur keuangan.
Dalam hal keuangan justru kita bisa belajar untuk mengatur alurnya. Kita bisa belajar untuk memenuhi kebutuhan dapur. Kita bisa memilah kebutuhan apa yang musti diprioritaskan. Apakah membayar kontrakan lebih dahulu atau pergi ke restoran untuk makan enak? Apakah beli beras lebih dahulu atau beli jajanan yang instagramable untuk di-posting?
Mengontrak bukan berarti kita tidak bisa menabung. Tetap bisa—kalau niat—menabung, meskipun hanya 10% dari gaji yang dihasilkan. Meskipun besarannya masih dalam ratusan ribu. Toh salah satu tujuan menabung adalah untuk mempersiapkan hari ke depan. Secara tidak langsung kita jadi belajar agar kebutuhan primer terpenuhi, kebutuhan sekunder tercapai, dan kebutuhan tersier—syukur Allhamdulilah—tergapai.
Hidup mandiri menjadi barometer kemampuan kita dalam membina rumah tangga. Beberapa artikel di daring menyatakan bahwa rumah tangga yang dicampuri oleh mertua akan membawa efek tidak sehat bagi kehidupan. Sering kali kita juga mendengar, beberapa kasus perceraian dalam rumah tangga bisa diakibatkan oleh omongan dari mertua.
Hakikat dari menikah adalah menempuh kehidupan baru. Kalau setelah menikah masih hidup bersama orang tua itu namanya menempuh kehidupan lama ditambah orang baru. Sebab itu sudah sepatutnya kita keluar dari rumah orang tua. Meskipun baru mampu mengontrak rumah petak, setidaknya kita sudah melangkah untuk lebih mandiri.
Sebelum tulisan ini dibubuhkan kata misalnya, misalnya, dan misalnya. Sebaiknya saya sudahi saja. Pada dasarnya kita hanya butuh jarak untuk menghindari konflik batin yang kerap terjadi antara mertua dan menantu. Selain itu jarak juga berfungsi untuk mengundang hadirnya rasa rindu antara orang tua atau mertua dengan anak atau menantu.
Mau nikahin anak orang, kok ya, enggak mau ngasih tempat tinggal. Mikir, kir, Malih!