Membahagiakan penyelenggara, menyiksa pemain
Apa efek paling terlihat dari jadwal kompetisi yang terlalu padat? Betul, cedera.
Untuk pemain yang berlaga di Eropa, Piala Dunia 2022 bisa dibilang bencana. Mereka harus berlaga di tengah Liga Champion, liga domestik, dan cup domestik. Seminggu, mereka berlaga bisa 2-3 kali. Plus mereka harus latihan, atau harus menempuh perjalanan jika mereka harus bertandang ke kandang tim lintas negara.
Lalu, mereka akan menempuh perjalanan lagi ke Qatar, untuk membela negara mereka, dengan keadaan terengah-engah. Itu kalau mereka tidak cedera sebelum datang ke Qatar. Yang jadi masalah adalah, mereka cedera, padahal merekalah pemain andalan negara mereka.
Coba tengok nasib Sadio Mane. Potensi absennya Mane bikin Senegal khawatir. Dia bukan figur sepele yang bisa digantikan siapa saja. Atau coba bayangkan kalau Luka Modric, kapten dan role model Kroasia, cedera. Bisa dibayangkan betapa pincangnya Kroasia.
Daya tarik utama Piala Dunia, tak boleh dimungkiri, adalah pemain-pemain kelas dunia yang berlaga. Pun, penonton berharap ada bintang baru yang muncul dari gelaran tersebut. Jika jadwalnya saja sama sekali tak berpihak ke pemain, lalu untuk apa digelar?
Saya rasa, Piala Dunia 2022 Qatar tak berlebihan jika disebut sebagai Piala Dunia terburuk. Hak-hak asasi yang dilanggar, suap-menyuap, dan jadwal yang tak berpihak pada pemain jelas menunjukkan bahwa Piala Dunia ini digelar hanya untuk menyenangkan orang-orang yang bahkan tak ada sangkut pautnya dengan sepak bola. Jika Anda memilih untuk boikot, tak masalah. Saya masih nonton, tapi saya paham jika Anda pilih boikot.
Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Nyatanya, FIFA Sama Saja dengan PSSI, Sama-sama Problematik!