Belakangan ini jagat dunia maya diramaikan kembali dengan adanya petisi di change.org yang memuat suara terkait penerapan kembali WFH. Bukannya tanpa alasan, petisi ini dibuat sebab WFH dinilai lebih efisien karena tidak menimbulkan kemacetan, polusi, dan masalah lainnya seperti ban bocor, kehujanan, ketinggalan angkutan umum, kehabisan bensin, dan masih banyak lagi. Lebih lanjut, petisi ini sudah ditandatangani oleh puluhan ribu orang yang memang lebih menyetujui penerapan kembali WFH.
Petisi yang dibuat oleh Riwaty Sidabutar ini tentu menuai berbagai reaksi dari warganet. Ada yang setuju karena merasa jenuh dengan permasalahan yang datang saat harus sampai ke kantor, ada pula yang lebih setuju jika penerapan WFO diimbangi dengan sistem WFH, maksudnya adalah agar tercipta suatu keseimbangan atau bahasa bekennya work life balance. Riwaty sendiri berargumen dalam pendapatnya bahwa dirinya sudah lelah dengan kondisi hujan yang menyebabkan kemacetan, jarak tempuh yang sangat jauh hingga 20 kilometer, belum lagi fisik yang pasti sudah tidak fit saat sampai ke tempat kerja.
Sebelumnya, saat COVID-19 melanda, Indonesia memang beberapa kali menerapkan kebijakan Permberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), contohnya PPKM Jawa-Bali dan PPKM level 1 hingga 4. Alhasil, dari adanya kebijakan tersebut menyebabkan beberapa sektor perekonomian dan bisnis lumpuh.
Para pekerja yang awalnya harus berangkat ke kantor atau perusahaan tempat mereka mencari nafkah, harus mengerjakan pekerjaannya di rumah. Terjadi perubahan dalam pola hidup yang signifikan. Mereka yang bekerja dari rumah harus beradaptasi dengan keadaan tersebut. Bukan hanya selama sebulan, keadaan ini terus berjalan selama lebih dari satu tahun.
Kalau menurut seorang ahli psikologi ternama asal Amerika Serikat, Susan Albers Psy.D., bekerja dari rumah cenderung sulit untuk dilakukan sebab dapat menimbulkan perasaan stres berkepanjangan dan berdampak kepada mental seseorang. Rumah yang awalnya diperuntukkan menjadi tempat istirahat dari penatnya seharian melakukan pekerjaan serta aktivitas luar ruangan, tiba-tiba beralih fungsi dan ikut menjadi tempat penghasil stres.
Di sisi lain, melakukan pekerjaan dari rumah cenderung dianggap lebih fleksibel sehingga jam kantor yang awalnya hanya dua belas jam bisa overtime terus-menerus. Jam kerja yang tidak menentu ini juga menjadi faktor yang menyebalkan bagi para pekerja. Misalnya saja, ada beberapa kejadian saat waktu telah menunjukkan tengah malam, tiba-tiba pekerja ditelepon bos karena masalah kerjaan.
Sebenarnya terdapat alternatif lain jika memang perusahaan tidak bisa kembali menerapkan sistem WFH untuk beberapa jenis profesi tertentu. Contohnya saja negara Brasil yang menerapkan sistem hybrid working atau Work From Anywhere (WFA) pada instansi pemerintahannya. Sistem WFA merupakan sistem yang menggabungkan WFO dengan WFH sehingga pekerja lebih fleksibel dalam menyelesaikan tugas-tugasnya dari mana saja, tetapi dengan tetap bisa kembali ke kantor untuk urusan tertentu sehingga lebih efektif.
Penerapan WFA dapat sangat berguna baik di sisi pekerja maupun untuk perusahaan itu sendiri. Contohnya adalah penggunaan fasilitas kantor yang memakan sumber daya dapat dikurangi sehingga beban pembiayaan dapat dialokasikan untuk kesejahteraan pekerja. Di lain sisi, pekerja dapat bebas mengeksplor dirinya untuk lebih kreatif dan produktif dengan tidak terhalangi lelahnya perjalanan menuju kantor yang mengharuskan mereka berperang dengan permasalahan kota besar setiap harinya.
Kembali lagi pada petisi yang diusung oleh Riwaty, beberapa tanggapan yang muncul diperkuat dengan argumen bahwa mereka lebih merasa produktif, pede, aman, dan nyaman bekerja di rumah. Keadaan pandemilah yang membentuk penyesuaian pola hidup mereka sehingga menilai kembali bekerja di kantor seperti sedia kala cukup menguras energi. Kebanyakan dari mereka yang menentang kebijakan WFO 100% meminta pemerintah untuk mengkaji ulang aturan tersebut.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, sebelumnya juga berpendapat bahwa sejatinya dirinya pun pernah menyarankan khususnya kepada warga DKI Jakarta untuk tetap bekerja remote dari rumah demi menghindari kemacetan yang menjadi penyakit Jakarta sepanjang tahun. Kondisi ini juga cukup memprihatinkan, mayoritas pekerja di Jakarta justru adalah commuter yang harus siap bolak-balik puluhan kilometer sepanjang Jabodetabek. Ironisnya pula, mereka berangkat saat matahari belum muncul, pulang saat matahari sudah hilang tenggelam.
Memang, untuk memilih akan menerapkan sistem mana yang lebih baik dan cocok untuk para pekerja tidak bisa sembarangan dilakukan. Misalnya saja untuk pekerja yang berada di sektor pelayanan kesehatan, mereka harus tetap stand by di kantor dan harus iri hati dengan mereka yang bisa kerja sambil healing. Entah bagaimana akhirnya, yang jelas, petisi soal mengembalikan WFH adalah bukti nyata bahwa warga sudah lelah dengan drama di ibu kota.
Penulis: Anisa Cahyani
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA WFH Itu Menyenangkan, tapi Tidak untuk Warga Kabupaten.