Kemarin malam, tanpa sengaja saya melihat sebuah postingan di feed Instagram saya. Informasi itu menyebutkan bahwa jumlah mahasiswa di Purwokerto sudah mencapai angka 100.000 orang. Angka tersebut terbilang fantastis bagi kota kecil di bagian barat Provinsi Jawa Tengah ini.
Memang, di satu sisi, kedatangan mahasiswa rantau menjadi berkah bagi sebuah kota. Hal ini lantaran kehadiran para kaum pelajar berpotensi membuka ladang usaha bagi warga sekitar. Mulai dari UMKM, usaha kos-kosan, hingga tempat hiburan. Namun, tak semuanya mengenai kebahagiaan semata. Pemerintah Purwokerto harus memperhatikan banyak aspek secara matang sebelum kelak menjadi pusat pendidikan.
Berbagai keresahan berkelindan di benak saya. Ya bayangkan saja, ini level ribuan mahasiswa untuk sebuah daerah kecil. Tanpa persiapan yang matang, sebuah “petaka” bakal menyapa di depan sana.
Daftar Isi
Bahasa ngapak bisa luntur karena mahasiswa pendatang
Banyumas, khususnya Purwokerto, memiliki budaya yang unik, salah satunya adalah bahasa ngapak. Bahasa yang menunjukan jati diri masyarakat Karesidenan Banyumas ini mulai pudar oleh kedatangan para mahasiswa yang berasal dari Jabodetabek. Bahkan, banyak para mahasiswa yang enggan menggunakan bahasa ngapak dalam percakapan sehari-hari karena malu.
Sedikit cerita, saya mempunyai seorang teman yang menjadi mahasiswa di salah satu universitas terkemuka di Purwokerto. Dia ngapak tulen yang berasal dari Purbalingga. Namun, kebanyakan mahasiswa di kelasnya berasal dari Jawa Barat.
Yang membuat saya tercengang, teman saya yang tadinya berbahasa ngapak, justru beralih menggunakan Bahasa Sunda selama di kampus. Aneh, bukan? Menurut saya, seharusnya pendatang yang menyesuaikan dengan bahasa lokal, bukan penduduk asli yang justru menggunakan bahasa pendatang. Ini baru contoh kecil saja, ya!
Baca halaman selanjutnya: Pemerintah Purwokerto harus bergerak cepat demi masa depan.
Budaya Banyumasan akan punah jika tidak ada pagelaran budaya di Purwokerto sekelas FKY
Bukan hanya dari sisi bahasa, keresahan saya datang dari aspek budaya lain. Salah satunya adalah budaya kesenian Ebeg. Kebanyakan seniman Ebeg hanya akan tampil di lapangan-lapangan desa di pinggir kota. Padahal, Ebeg bisa menjadi kesenian yang mengalihkan perhatian para pemuda dari permainan judi online. Eling-eling kue, Lur!
Saya juga mengusulkan kepada Pemda Banyumas agar mengadakan berbagai kegiatan budaya tahunan yang bisa menggeliatkan gairah kesenian. Bukan apa, saya hanya khawatir jika budaya para mahasiswa pendatang yang hedon dan glamor akan mempengaruhi budaya Banyumasan yang memegang nilai luhur ketimuran. Kalau Jogja bisa melaksanakan FKY, kenapa Purwokerto nggak?
Potensi kemacetan dan moda transportasi yang belum memadai
Kota Satria memang memiliki 2 mode transportasi umum, yaitu Trans Jateng dan Trans Banyumas. Trans Jateng sendiri beroperasi di Purwokerto dan Purbalingga. Sedangkan Trans Banyumas khusus diperuntukan bagi warga masyarakat Purwokerto, khususnya dan masyarakat Banyumas pada umumnya.
Namun, 2 moda transportasi tersebut hanya menyediakan halte di beberapa titik saja. Tidak semua kampus menjadi sebagai tempat pemberhentian.
Di sinilah kekhawatiran saya muncul. Jika pemerintah tidak membenahi sistem ini, bukan tidak mungkin Purwokerto akan menyusul Surabaya, Jogya, dan Jakarta sebagai kota dengan kemacetan yang parah. Apalagi jika setiap mahasiswa di sini membawa kendaraan masing-masing. Sudah pasti 100.000 motor akan memadati jalanan Kota Satria setiap harinya.
Purwokerto hanya memiliki satu stasiun saja
Kita beralih ke moda transportasi kereta api. Berbeda dengan Jogya dan Semarang, Purwokerto hanya memiliki 1 stasiun saja. Ya, Stasiun Purwokerto. Oh ya, saya kira kapasitas lahan parkir di stasiun ini membutuhkan perluasan. Kenapa? Karena saat malam minggu dan hari libur nasional, saya sering menyaksikan betapa padat parkiran area dalam stasiun.
Apalagi dengan jumlah mahasiswa yang sekarang sudah mencapai angka 6 digit. Bahkan saya sering mendapati kendaraan yang parkir di area luar stasiun atau di pinggir jalan yang berpotensi menimbulkan kemacetan.
Sebenarnya ada 2 solusi untuk masalah ini. Pertama, menambah lahan parkir. Kedua, membuka stasiun baru. Namun, saya rasa lebih masuk akal solusi yang kedua. Kok bisa? Karena solusi pertama nggak mungkin terealisasi tanpa lahan yang luas. Wong lahan stasiun cuman segitu doang. Mau diperluas sampai jalan raya? Ya nggak mungkin!
Saya harap Purwokerto bisa mengimbangi kedatangan mahasiswa rantau dengan perkembangan infrastruktur dan fasilitas. Selain supaya mahasiswa tersebut nyaman, juga ini soal demi mempertahankan budaya asli dan kearifan lokal.
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Yamadipati Seno