Seorang kawan bercerai dengan suaminya. Diam-diam dan saya baru tahu setelah semua badai dalam rumah tangga mereka mereda. Saya terkejut, sangat. Saya bahkan tidak tahu-menahu bahwa selama bertahun ada hal-hal yang saya tidak tahu.
Hari itu saya menghubunginya untuk mengajaknya pergi. Lalu ia merespon balik bahwa ia butuh bicara langsung dengan saya. Ia yang mengaku, ia telah resmi bercerai. Ia tidak mau saya mendengar berita itu dari orang lain.
Bagaimana kau tidak terkejut mendengar perpisahan yang bahkan tidak pernah terlintas di kepalamu sebab selama ini yang kau lihat adalah sepasang suami istri yang selalu mesra, saling larut dalam cinta dan saling menjaga ?
Malam itu saya menyempatkan datang menemuinya. Saya kuatkan diri jika nanti saya menemukan perempuan yang patah hati, frustasi dan butuh disemangati entah dengan kalimat bijak seperti apa.
Yang membuat saya semakin terkejut, tidak ada air mata. Apa yang diceritakannya cukup membuat syok tapi ia kuat sekali. Bagaimana suaminya tidak memilih selingkuhan yang selevel dengannya, ia tampaknya sudah berdamai dengan perasaan kalah. Bagaimana ia sudah mati-matian berjuang mengembalikan semua hal agar bisa kembali berjalan dengan harmonis, ia tampak tak menyesal. Lalu, bagaimana ia bercerita ia pergi seorang diri mengurus perceraian setelah sebelumnya mengamankan aset-aset miliknya, ia tidak kehilangan akal sehatnya. Ia menjalani sidang seorang diri, menjawab pertanyaan-pertanyaan hakim dan bahkan masih berpikir realistis bahwa bisa saja suatu hari nanti mereka rujuk entah atas alasan yang seperti apa.
Ia yang tanpa malu mengakui ia mencintai suaminya di luar semua hal yang sudah lelaki itu lakukan. Bahwa biar bagaimana, ketika lelaki itu pulang ke rumah, ia masih menyiapkan makanan untuknya. Menyiapkan pakaian bersih dan menanyakan kesehatannya.
Seakan bercerai bukan akhir dari dunia. Bukan ujung dari hidupnya. Bukan berarti cerita tamat.
Ia tetap berdandan, mengenakan pakaian terbaiknya, pergi keluar bertemu teman, menjalankan bisnis, mengurus anak-anaknya.
Saya tidak mau dikasihani. Itu alasan mengapa ia selama ini diam-diam menghadapi prahara rumah tangganya dan memutuskan menyelesaikannya baik-baik, sebelum mengabarkan kepada dunia.
Saya pulang dengan perasaan yang tak bisa saya cerna. Entah kecewa, sedih, marah atau kuatir. Ya saya sedikit kuatir, bagaimana sebuah rumah tangga yang tampaknya bahagia, suami yang tampaknya begitu sabar dan penyayang, lantas dalam sekejap kau kehilangan itu semua.
Kesialan yang bisa terjadi pada perempuan mana saja. Padahal, sebelumnya itu terasa tidak mungkin. Kawan saya ini cantik, berpendidikan, berstatus hebat dan sangat pandai membawa diri.
Salahnya di mana?
***
Sebagai orang yang berada di luar pernikahan mereka, kau tidak akan tahu persis bagaimana sebuah rumah tangga yang indah dan senyaman surga, berubah menjadi neraka.
Sebagai orang di luar pernikahan mereka, kau cuma bisa membuat analisa. Mungkin benar fisik perempuan yang mulai menua salah satu alasannya. Mungkin juga persoalan perbedaan prinsip yang entah apa. Bisa jadi memang karakter si suami yang tak cukup baik, anggap saja selama ini ia berpura-pura baik. Atau si istri yang justru punya kekurangan tapi tak cukup mampu menyelami diri sendiri?
Lalu mau apa setelah kau bisa membuat kesimpulan? Adakah yang berubah? Bisakah kau ikut mempengaruhi apa yang sudah terjadi padahal mesin waktu yang manusia idam-idamkan itu memang tidak pernah ada?
Untuk masalah-masalah suami dan istri, yang paling mampu menyelesaikannya hanyalah mereka berdua. Sebab rumah tangga bukanlah sebuah hubungan kerjasama yang transaksional, tapi juga bukan semacam kerja sosial yang menuntutmu tanpa pamrih hingga akhir.
Bukan masalah kalian jika satu dari dua orang ini menyerah, sebab mereka yang paling tahu hidup semacam apa yang mereka ingin jalani. Agama mengutuk perceraian, tapi jika ada orang-orang yang lantas bisa melanjutkan hidup bahkan dengan lebih baik setelah berpisah, kenapa tidak bercerai?
Ada perempuan yang kuat bertahan meski suaminya berkhianat, itu sebuah pilihan. Ada suami macam Mr. Park Dong Hoon dalam drama My Mister, yang justru ingin pura-pura tidak tahu istrinya berselingkuh dengan atasannya, atas kuasa apa orang lain hendak menghakiminya? Ia yang menjalani. Ia bertimbang bagaimana nanti ibunya sedih dan anak semata wayangnya kecewa, mari kita hargai Mr. Park dengan segala kenaifannya.
Dan analisa-analisa dangkal para komentator itu sungguhkah tidak bisa disimpan di dalam hati saja, atau tak apalah menjadi bahan gosip di chat-chat rahasia, tapi tak usah menegas dalam komentar yang bisa dibaca orang banyak, bahkan yang tidak berkepentingan?
Saya pun tak suka dengan pelakor, tapi saya tidak tahu persis apakah semua alasan mereka masuk mengacau dalam rumah tangga orang lain adalah benar bejat. Benarkah mereka yang datang mengacau ataukah mereka yang justru diundang datang?
Saya benci lelaki yang begitu mudah menyerah kepada istri dan anak-anaknya, tapi darimana saya tahu ia benar lemah sementara saya tak tahu beban apa saja yang dipikulnya?
Dan bersikap sinis atau mengasihani perempuan-perempuan yang memilih bertahan dalam rumah tangganya padahal suaminya ingin istri dua, tiga sampai empat, sekali lagi itu pilihan hidup orang lain. Dari luar, itu tampaknya mengerikan dan menyedihkan. Tapi sekali lagi, saya tak memakai sepatu mereka. Bagaimana saya tahu persis rasanya benar mengerikan dan menyedihkan?
Jika kau menemukan perempuan lain mengalami masalah dalam rumah tangganya, ambil jeda sebentar untuk menenangkan dirimu sendiri. Bukan berebutan saling berkejaran melempar prasangka, menghambur emosi dan serapah pada siapa saja yang kau kenal apalagi yang tidak kau kenal, atau lebih baik pulang ke rumahmu sendiri dan mulai mengoreksi rumah tanggamu sendiri.
Bayangkan jika kau yang mengalami, apa yang akan kau lakukan? Bagaimana kira-kira kau akan bersikap? Berapa lama kau akan biarkan dirimu meratap, berapa waktu yang kau butuhkan sebelum bangkit membenahi hidupmu.
Kalau tak bisa, belajarlah menonton drama Korea yang kualitas ceritanya apik. Di mana kau bisa belajar bahwa setiap manusia rentan berbuat salah, rentan terluka, rentan saling menyakiti. Kelak akan selalu ada jalan untuk memaafkan sebab kalau tidak, kesedihan akan menjajahmu seumur hidupmu. Kesedihan itu semoga tidak selamanya berumur panjang, toh Tuhan tidak pernah tidur.
Kepada perempuan-perempuan yang terluka, peluk mereka tanpa mengucapkan penyesalan. Mereka sudah jelas memikul banyak penyesalan. Tak perlu seakan ikut bersimpati pada mereka dengan ikut menyumpahi siapa pihak yang menyakiti, tapi tanpa sadar apa yang kau ucapkan justru semakin membuat luka-luka mereka memerih. Dan saya tidak mengerti apa perlunya body shaming terhadap perempuan lain? Apa bedanya dengan sikap rasis? Kalian masih percaya bahwa bentuk tubuh adalah kualitas utama manusia? Itu sungguh payah.
Doakan saja mereka. Supaya bisa segera berdiri kuat lagi di atas kaki mereka sendiri. Bebaskan mereka menyelesaikan pertarungannya sendiri, terkecuali mereka meminta kalian turun tangan membantu. Sembari jangan lupa doakan diri kalian sendiri supaya kalian tak perlu mengalami hal yang sama.
BACA JUGA Orang Lain Menyebutnya Pembunuh atau tulisan Mimi Hilzah lainnya. Follow Facebook Mimi Hilzah.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.