Memori kolektif masyarakat Kabupaten Bandung tentu tak akan melupakan betapa trengginasnya klub sepak bola kebanggaan daerah mereka, yakni Persikab Kabupaten Bandung pada saat mampu merengkuh gelar juara Divisi I (sekarang Liga 2) pada 1995. Dengan hasil itu, tim yang dianggap biasa-biasa—juga kalah pamor dari Persib Bandung—ini untuk pertama kalinya berhasil menapakkan kaki di kasta teratas Divisi Utama (PSSI) atau dulu disebut Ligina. Prestasi ini barangkali merupakan prestasi terbaik yang mampu diukir oleh tim dengan julukan “Laskar Dalem Bandung” sampai dengan (kehancurannya) sekarang.
Sama-sama menggunakan “Bandung” dalam nama klubnya, Persib Bandung justru hadir dengan wajah yang berbeda dan mampu menghasilkan banyak prestasi-prestasi yang membanggakan. Terakhir, mereka berhasil membawa pulang trofi Liga Indonesia 2014 silam mengalahkan Persipura. Jika ditotal dengan Piala Perserikatan di mana Persib berhasil menjadi jawara sebanyak lima kali, tentu Persikab bukanlah tandingan mereka.
Kabupaten Bandung sebenarnya sudah ada jauh sebelum Kota Bandung dikenal di Indonesia. Kabupaten Bandung sudah berdiri sejak pertengahan abad ke-17 masehi melalui piagam Sultan Agung Mataram dengan Tumenggung Wiraangunangun sebagai bupati pertamanya. Di sisi lain, Kota Bandung (yang sekarang lebih terkenal dari Kabupaten Bandung) justru sempat menjadi ibu kota dari Kabupaten Bandung, yakni pada 1810 lewat prakarsa Bupati RA Wiranatakusumah II. Namun tentu saja, superioritas historis ini sama sekali tidak sangkut pautnya dengan kejayaan suatu daerah hingga kini.
Jika dalam hal wilayah Kabupaten Bandung adalah yang tertua, hal berbeda justru tak terjadi di sepak bola. Persib Bandung lebih dulu memperkenalkan diri sebagai klub sepak bola pada 1933. Selang 30 tahun kemudian, tepatnya pada 1963, menurut beberapa sumber, baru Persikab Kabupaten Bandung mulai membentuk tim sepak bolanya sendiri.
Meski berdiri sejak 1963, Persikab justru lebih terkenal di medio 90-an kala diketuai oleh Bupati aktif Kabupaten Bandung saat itu, H.U. Hatta Djatipermana. Tentu kita bisa berdebat mengenai motif-motif politik khas persepakbolaan Indonesia kala H.U. Hatta menjabat Ketua Umum Persikab. Namun, suka tidak suka, Persikab, bisa dibilang, mencapai puncak kejayaannya saat Pak H.U. Hatta menjadi ketua umum.
Keberhasilan ini tentu dapat kita liat dari Persikab yang asalnya hanya tim semenjana lalu kemudian berhasil menjadi juara Divisi Utama dan naik kasta ke Liga Indonesia sebagai kasta tertinggi persepakbolaan di negeri ini. Bahkan, Persikab pernah mengalahkan Persib yang notabene merupakan tim besar pada saat “Derby Bandung” di Stadion Siliwangi pada lanjutan Liga Indonesia VI 1999 tanggal 11 November silam. Lewat gol semata wayang Heri Rafni Kotari, Persikab seolah menegaskan kembali superioritas historis Kabupaten Bandung atas Persib yang merepresentasikan Kota Bandung.
Bukan hanya itu, keberhasilan ini juga didapat melalui proses pembinaan pemain-pemain muda asli Kabupaten Bandung yang berkelanjutan. “Pra-kompetisi Persikab” dilaksanakan sebagai upaya untuk menjaring pemain-pemain potensial asli daerah yang siap untuk mengarungi kompetisi Divisi Utama dan Divisi I.
Persikab dan Persib sendiri sering juga disebut tim kakak beradik karena banyaknya pemain dan pelatih yang hilir mudik membela dua klub ini. Sebut saja legenda macam Yusuf Bachtiar, Yadi Mulyadi, hingga Robby Darwis pernah membela kedua klub ini. Pada saat itu, Persikab dan Persib memang bersaing cukup ketat di kasta teratas liga Indonesia. Tak ayal, meski para suporter adem ayem saja, terkadang para pemain justru terlibat dalam permainan yang sarat akan emosi.
Itu dulu. Sekarang, Persikab tak lebih dari serpihan-serpihan emas yang berusaha membentuk kembali keutuhan emasnya di tengah industrialisasi sepak bola yang menuntut klub untuk mandiri secara finansial. Persikab yang sekarang sudah tak bisa dimanja kembali oleh APBD. Kini, Persikab hanyalah tim semenjana di Liga 3. Di sisi lain, Persib yang sekarang dikenal sebagai salah satu Los Galacticos-nya Indonesia, semakin tokcer di Liga 1.
Ketimpangan ini jelas berdampak pada surutnya perkembangan sepak bola di Kabupaten Bandung. Bahkan, teman-teman saya dari Kabupaten Bandung yang kebanyakan juga bermain sepak bola mengaku lebih memilih bermain di Persib karena bakatnya memang kurang termaksimalkan di Persikab. Tak ada lagi kompetisi yang berjenjang dan terarah. Tak ada lagi lulugu (sebutan suporter fanatik Persikab). Tak ada lagi “Derby Bandung”. Si Jalak Harupat yang merupakan homebase Persikab justru lebih sering dipenuhi penonton yang ingin menonton Persib. Persikab telah mati di tanahnya sendiri.
BACA JUGA Culture Shock Wong Solo di Kota Kembang Bandung dan tulisan Raihan Rizkuloh Gantiar Putra lainnya.