Saya memahami pemberian nama adalah salah satu kreasi dari orang tua untuk anak. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum di dalam nama terselip sebuah doa dan harapan—untuk kehidupan sang anak. Karenanya, pemilihan dan pemberian nama cukup sakral untuk banyak orang. Walau jika beda bahasa tentu akan berbeda pula maknanya.
Misalnya saja ada salah satu teman saya yang bercerita, di sekolahnya dia memiliki teman yang bernama Positif Negatif. Nggak bermaksud menyalahkan orang tua atau siapa pun yang memberikan nama tersebut, sih. Tapi, memang tergolong kontradiktif. Setelah ditelaah kembali, maknanya ya bagus juga. Hidup itu harus seimbang.
Ketika sempat sekitar 3 tahun bekerja di salah satu bank ternama, sudah biasa rasanya saya menemukan nama nasabah tergolong unik. Ada dua nama yang saya ingat, Hutang dan Piutang. Mereka bukan satu keluarga, tapi namanya serasi sekali. Yang satu punya kewajiban membayar, satunya lagi berhak atas kewajiban tersebut—yang dibayarkan.
Betul-betul menjadi pengingat bagi mereka yang punya hutang kepada teman, tolong segera dibayarkan kepada para piutang. Jangan pas mau pinjam mendekat, giliran ditagih malah minggat. Eh, gimana?
Bagi saya yang berdarah Jawa (Tengah)-Sunda, akhirnya nama yang memiliki unsur “kejawa-jawaan” lah yang diberikan oleh kedua orang tua saya. Sekadar informasi, sederhananya dan menurut pergaulan sehari-hari yang dimaksud nama kejawa-jawaan adalah nama yang terdapat unsur huru vocal “O” di akhirannya. Joko, Suprapto, Sudigdo, dan lain sebagainya. Meski pemikiran tersebut tidak dapat digeneralisir.
Dan saya memiliki nama lengkap Seto Wicaksono. Kurang jawa apalagi nama tersebut? Sebelum melanjutkan cerita, saya ingin menegaskan bahwa tulisan ini dibuat bukan untuk narsis cerita soal nama apalagi diri sendiri. Dengan nama Seto, ada beberapa cerita dan ledekan yang saya alami.
Pertama dan paling sering adalah menjadi bahan guyonan dan disamakan dengan Kak Seto Mulyadi, seorang Psikolog Anak ternama dan kini—dilansir dari Detik(dot)com—menjabat sebagai ketua LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia). Kedua, seringkali dipanggil dengan nama Seto Nurdiantoro, mantan pesepakbola nasional yang kini melatih PSS Sleman.
Saya sih tidak ada masalah saat nama yang diberikan orang tua disandingkan dengan public figur, saya anggap itu sebagai doa dan harapan saja agar mencapai kesuksesan yang sama. Kemudian yang menjadi masalah adalah saat nama jadi bahan ejekan atau guyonan. Bukan, bukan soal baper, justru saya kesal karena ejekannya selalu template.
Misalnya, sewaktu kecil saya hampir selalu dipanggil “Set.. Set..”, setelah saya menengok malah diteriaki “Setaaaan!”. Atau ada teman-teman semasa kecil yang memberi tebak-tebakan, “mau tau nama panjang dari Seto, ga? Setan tolol!”.
Beberapa teman tertawa, saya hanya bisa misuh dan ngedumel dalam hati—“apaan, sih. Garing banget”. Lalu karena nama saya identik dengan Kak Seto Mulyadi, seringkali juga ditanya “Kak Seto, si Komo mana kok nggak pernah lewat lagi?”
Hadeeeeh. Orang-orang itu memang belum beranjak dari kenangan masa kecilnya jokes yang kelewat tidak lucu. Jalan di tempat—di situ-situ saja. Mungkin juga karena mereka masih terngiang-ngiang lirik lagu, “macet lagi macet lagi, gara-gara si Komo lewat..”.
Awal mula kemunculan Twitter, bahkan ada seseorang yang mengira saya adalah Seto Mulyadi. Saya yang kala itu baru memasuki masa kuliah, hampir selalu mencuitkan yang tidak ada faedahnya sama sekali. Lalu orang tersebut protes dan mention saya,
“Halo, Kak Seto. Saya lihat akhir-akhir ini twit yang diposting kurang bijak dan tidak ada hubungannya dengan anak. Saya izin unfollow, ya”.
Waduh. Dari awal saya sudah mengira, akun Twitter tersebut salah orang, pikirnya mungkin saya adalah seorang Psikolog Anak ternama dengan si Komo sebagai pendamping sekaligus teman baiknya, Kak Seto Mulyadi. Padahal, saya adalah Seto yang lain.
Dari sekian banyak panggilan nama saya yang dipelesetkan oleh orang lain, tetap yang akan merasa kesal kemudian adalah istri saya. Biasanya, seorang istri akan dipanggil dengan nama panggilan depan suami oleh ibu-ibu atau tetangga lain. Sudah terbayang istri saya seringkali dipanggil dengan sebutan apa? “Bu Set, Bu Set, jangan lupa besok arisan, ya!”.
Dengan nasib yang sama, mungkin istri dari Pak Lukman pun seringkali merasa jengkel ketika dipanggil oleh ibu-ibu juga para tetangga lain. Sudah ah, masa harus diberi contoh lagi, sih. (*)
BACA JUGA Cara Menangani Sohibul WhatsApp yang Suka Beralasan Pesan Tertimbun Padahal Memang Sengaja Mengabaikan atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.