“See? Nikah itu ribet!” tulis seorang teman di dinding Facebook. Saat itu, dia sedang membagikan posting-an sebuah curhatan dari seorang suami yang ribut dengan istrinya karena masalah uang. Curhatan soal rumah tangga ini diunggah oleh akun Instagram dengan ratusan ribu pengikut. Cerita singkatnya, Si Suami ini menjatah uang 25 ribu sehari untuk berbelanja masakan pada istrinya.
Kalau ada sisa dari 25 ribu itu, uangnya harus dikembalikan pada Si Suami. Dan peruntukan uang 25 ribu itu juga harus jelas. Kalau mau jajan, Si Istri harus minta izin pada suami. Catatannya, kondisi istri sedang hamil 5 bulan. Si Istri, nampaknya mulai sudah tidak betah dengan sistem penjatahan ini. Dia meminta Si Suami supaya dia tidak perlu mengembalikan sisa uang setiap harinya.
Mungkin karena tekanan juga, Si Istri mulai membandingkan suaminya dengan orang lain. Si Suami, keukeuh ingin meminta sisa uang yang diberikan pada istrinya. Alasannya, karena dia ingin menabung untuk masa depan mereka. Si Suami berdalih bahwa dia sudah memenuhi semua kebutuhan istrinya termasuk susu kehamilan. Akhir cerita, dia meminta pendapat bagaimana harus bersikap supaya istrinya mengerti dengan sistem penjatahan yang dia terapkan.
Semua yang berkomentar di unggahan milik kawan saya ini adalah perempuan. Dan seluruhnya sepakat bahwa Si Suami adalah orang yang pelit tapi playing victim. Dia membuat kesan seolah istrinya ngelunjak padahal dianya saja yang pelit. Memang sih, kelihatannya kurang bijaksana memberi uang 25 ribu rupiah sebagai uang belanja harian.
Berdasarkan pantauan dari istri saya, harga ayam setengah ekor itu aja sudah 20 ribu, lho… Belum termasuk bumbu-bumbunya. Beberapa hari lalu, saya mengantar Si Cinta, yang hanya membawa uang 10 ribu, ke pasar. Pulangnya, dia cuma membawa bawang putih beberapa siung, sebutir bawang bombay, sebonggol sawi, dan beberapa butir bakso.
Walaupun demikian, saya berusaha untuk tidak menghakimi Si Suami Pelit yang Playing Victim ini. Siapa tahu kondisi keuangannya memang sedang terdesak. Jadi, dia mendesak untuk melakukan sistem pengaturan keuangan yang sedemikian ketat. Siapa yang tahu? Tidak ada, kan~
Tapi apapun itu, yah, yang membuat saya heran, kenapa sih dia minta sarannya dengan curhat di media sosial? Kan di medsos, kita tidak tahu kejelasan siapa dan bagaimana kredibelitas Sang admin. Alih-alih ingin mendapat pencerahan, malah dapat perundungan dari warganet yang maha bijak bestari itu.
Kenapa dia tidak mengajak istrinya datang ke psikolog di Puskesmas? Atau penasehat pernikahan di KUA dan menyelesaikan masalahnya bertiga dengan orang yang memang kompeten di bidangnya? Psikolog di puskesmas bayarannya nggak sampai 20 ribu, kok. Benar. Saya dan istri pernah berkonsultasi di sana. Tapi ini bukan perkara biaya. Tidak ada kata mahal untuk menyelamatkan kapal yang terancam karam.
Kenapa harus ke psikolog? Karena saya percaya psikolog akan berada di tengah-tengah antara suami dan istri. Kita tidak saling kenal dengan psikolog. Tidak tahu rumahnya di mana dan tidak pernah berjumpa sebelumnya. Psikolog jelas mempunyai etika untuk tidak membocorkan rahasia segala permasalahan suami dan istri. Jelas, sangat berbeda di media sosial yang bisa dibaca oleh warganet se-Indonesia.
Berdasarkan pada apa yang saya alami, masalah dalam rumah tangga, sebagian besar adalah permasalahan komunikasi dan selisih pemahaman antara suami dan istri. Kalau suami merasa istrinya tidak bisa memahaminya dan suami merasa cara berkomunikasi dengan istrinya gagal selama ini, bukankah itu berarti ada yang salah dalam komunikasi antara suami dan istri?
Kalau begini artinya sudah tidak sehat. Sangat rawan. Kita harus banyak-banyak beribadah, berdoa, ikhtiar, serta tawakal. Jangan sekali-kali membiarkan Si Setan mendekati kita sambil berbisik; udah putusin aja! udah ceraikan aja!
Astaga-dragon, mit-amit jabang bayik.
Sekadar saran, Jika memang benar-benar ingin menyelesaikan ujian rumah tangga, pergilah ke para ahli. Terlebih lagi kalau permasalahan rumah tangga sudah begitu pelik dan sudah menggangu kehidupan, jangan curhat di media sosial apalagi pergi ke rumah orang tua untuk mencurahkan segalanya. Sebab ini akan condong ke satu sisi. Jelas, nanti akan berat sebelah. Kapal pun akan oleng, Kapten!!1!11!!
Biarkan warganet cukup melihat foto-foto romantis kita. Biarkan orang tua dan mertua cukup mendengar cerita-cerita bahagia rumah tangga kita. Biarkan orang tua dan mertua mendengar segala gelak tawa yang warnai lembar jalan kita. Biarlah, biarlah, hariku dan harimu… Hasshhh, kembali serius!
Dengan datang ke psikolog atau penasehat pernikahan, kita akan mendapat solusi. Di sini, seorang psikolog memainkan peran. Dia akan memediasi antara suami dan istri untuk dapat memperlancar komunikasi dan menyeragamkan pemahaman suami dan istri. Psikolog akan mendengar keluhan suami di depan istri. Begitu juga sebaliknya, psikolog akan mendengar keluhan istri di depan suami. Lalu memberi jalan tengahnya. Intinya, kita butuh orang ketiga yang netral.
Kalau seorang suami curhat di media sosial, yang mendapat input hanyalah Si Suami. Sementara istri akan tetap berada dalam permasalahannya. Perlu diketahui, dalam permasalahan rumah tangga yang bermasalah bukan hanya suami. Istri pun mungkin memendam masalahnya sendiri. Sehingga, pemahaman yang dituju belum mencapai titik yang diinginkan bersama.
Dalam setiap hubungan, apapun statusnya, komunikasi memang benar-benar kunci yang krusial. Kita ini manusia bukannya malaikat. Kita tidak bisa tahu, apapun itu, tanpa saling berbicara. Tanpa saling meminta. Daripada dipendam-pendam kemudian malah menjadi bom waktu yang kita tidak tahu kapan akan meledak. Lebih baik dibicarakan dengan segera. Lebih baik lagi, biacaranya sambil minum teh celup. Sebab jika bom waktu itu meledak… Dhuaaar… Bang… Bhuaam… …piring terbang dari luar angkasa bisa mendarat di lantai rumah kita.
Sekali lagi kuncinya adalah ko-mu-ni-ka-si (titik segede kelapa).