Perkara Croissant di Jakarta yang Tampak Lebih Mahal daripada di Australia

Perkara Croissant di Jakarta yang Tampak Lebih Mahal daripada di Australia terminal mojok.co

Perkara Croissant di Jakarta yang Tampak Lebih Mahal daripada di Australia terminal mojok.co

Pertama-tama, saya mau mengucapkan salam kenal dulu sama Mbak Tasha yang menulis twit tentang salah satu makanan Prancis yang terinsipirasi dari Austria, yang bernama croissant ini. Sebagai sesama penggemar croissant saya mengerti betul keresahan yang ingin disampaikan oleh Mbak Tasha: kenapa harga croissant di Jakarta nggak bisa semurah di Australia padahal UMR Australia berkali-kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan UMR Jakarta?

Mohon para pengagum jajanan lokal jangan terburu-buru menyerang kami dengan stempel kebarat-baratan atau nggak cinta budaya lokal, ya. Kami yang kadang-kadang makan croissant ini juga suka kok sama lemper dan klepon dan jajanan enak lainnya. Cuma ya kadang pengin aja makan croissant yang rasanya emang enak dan mengenyangkan. Sama halnya kalau kita lagi pengin makan roti isi, bukan berarti kita nggak suka pecel, kan? Pokoknya, jangan terlalu cepat menabrak-nabrakkan sesuatu gitu, lah.

Oke, Mbak Tasha dan para pecinta croissant di mana pun Anda berada. Ada hal mendasar yang perlu kita sadari sebelum kita mengeluh membandingkan harga croissant di Indonesia dengan harga croissant di Australia bahwa croissant bukan budaya kita. Budaya kita itu sarapan sampai makan malam harus nasi, selain itu namanya camilan.

Maka itulah kenapa beras di sini lebih murah daripada beras di Australia. Di sini kita bisa beli beras dengan harga yang variatif mulai dari Rp12-19 ribu per kilogram tergantung kualitas. Di Australia harga beras saat ini sudah menyentuh angka Rp30 ribu per kilogramnya. Apa artinya perbandingan ini? Ya bisa dua arti, sih. Pertama, masyarakat Australia nggak banyak yang makan nasi sehingga produksi beras juga tidak banyak dan menyebabkan harganya tinggi. Atau bisa juga yang kedua, beras Rp30 ribu per kilogram masih bisa kita kategorikan sebagai bahan pangan murah mengacu pada UMR Australia yang lebih dari Rp30 juta per bulan itu.

Kalau ternyata kita bersepakat dengan kesimpulan yang pertama, masih mudah kita terima lah ya sebagai awam. Kalau maunya pakai kesimpulan yang kedua, ini akan jadi sedikit lebih rumit karena hubungannya dengan kemampuan kedua negara menghargai pekerja dengan kualifikasi tertentu sehingga munculnya adalah UMR yang 7x lipat berbeda padahal selisih harga bahan makanan di kedua negara perbedaannya tidak sampai 3x lipat. Teman-teman yang belajar tentang ekonomi mungkin lebih berhak memberikan penjelasan terkait hal ini.

Nah, setelah hal dasar tersebut kita pahami, kita mestinya tahu bahwa croissant dan cookies yang disebut Mbak Tasha dalam twit tersebut bukanlah makanan pokok bagi setidaknya sebagian besar orang Indonesia. Implikasinya adalah bahwa harga makanan tersebut atau bahkan bahan mentahnya tidak dimasukkan ke dalam hitungan penentuan UMR yang mencakup KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang dipengaruhi oleh berbagai indikator seperti kondisi pasar kerja, indeks harga konsumen, kelangsungan perusahaan, dan lain-lain. Intinya kebutuhan kita para pecinta croissant ini tidak dikategerorikan sebagai kebutuhan mendasar. Dengan kata lain, asumsi pengupahan kita beranggapan bahwa makan cookies dan croissant memang bukan untuk buruh bergaji UMR (apalagi UMR Jogja, eh~).

Akan tetapi Mbak Tasha, sebagai sesama pecinta croissant saya juga tentu tidak setuju dengan asumsi pengupahan yang demikian itu. Untuk itu walaupun gaji kita masih sekitar UMR, kita perlu mencari jalan gimana tetap bisa menikmati croissant tanpa harus keluar uang yang jumlah yang cukup membebani. Cara saya selama ini adalah beli dari online shop yang biasanya menjajakan cookies dan croissant mereka di media sosial seperti Instagram atau Twitter.

Biasanya, yang seperti ini harganya jauh lebih murah. Mulai dari Rp10 ribu kita sudah bebas menikmati croissant dengan beragam varian rasa, sekaligus mendukung bisnis UMKM kalau kata Pak Sandiaga. Namun, dengan harga sekian, kita juga harus tahu diri untuk tidak meminta kualitas dengan ekspektasi yang mirip dengan croissant yang dijual di toko bakery dengan chef professional. Sekali lagi karena bahan baku pembuatan croissant apalagi yang premium begitu, tidak masuk ke dalam penghitungan upah minimum kita. Belum lagi biaya yang harus kita keluarkan untuk membayar ilmu dan skill chefnya. Untuk itu, kita bisa sesuaikan kemampuan dan ekspektasi, lah, ya.

Jadi, selamat hunting croissant di onlineshop ya, Mbak Tasha! Jangan lupa makan pecel Madiun, lemper, klepon, dan kawan-kawannya juga ya, Mbak. Soalnya, harganya pasti nggak akan semahal croissant.

BACA JUGA Jenis-jenis Kue Kering Paling Favorit yang Nggak Boleh Dilewatkan di Momen Lebaran dan tulisan Fatimatuz Zahra lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version