Sebelum mulai dibangun pada tahun 2010, Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) sebenarnya sudah menuai banyak kritikan dan pertanyaan terkait lokasinya yang jauh dari pusat Kota Surabaya, alias di pinggiran dan berdekatan dengan tempat pembuangan akhir (TPA). Semua pertanyaan dan kritikan warga tersebut dijawab Pemkot dengan mantap, “Pembangunan Stadion GBT di daerah Benowo dimaksudkan untuk mengangkat perekonomian Surabaya Barat.” Sungguh tujuan yang mulia.
Bagi yang belum tahu, Stadion GBT yang saat ini digunakan sebagai markas Persebaya berada di Kelurahan Benowo, Kecamatan Pakal, Kota Surabaya bagian barat. Jika dilihat dari atas menggunakan drone, area GBT dikelilingi oleh perumahan tambak garam.
Uniknya lagi, posisi markas Persebaya boleh dibilang lebih dekat dengan Kabupaten Gresik daripada Kota Surabaya. Jarak antara Stadion GBT dengan Alun-alun Gresik sekitar 10 kilometer, sementara jarak Stadion GBT dengan Alun-alun Kota Surabaya dua kali lipatnya, yaitu sekitar 23 kilometer. Ini aslinya stadion untuk Persebaya atau Gresik United, ya? Eh, maap, kok jadi nyinyir~
Sebenarnya sih posisi stadion yang jauh nggak masalah, asalkan bisa diakses dengan mudah dan ada transportasi publik menuju stadion. Masalahnya, sekali lagi, Kota Surabaya yang kita cintai ini nggak punya hal itu. Bus kebanggan kita semua, Suroboyo Bus dan Trans Semanggi, nggak menjangkau Stadion GBT ini.
Makin apes lagi, moda transportasi umum lainnya juga nggak ada, kecuali kalau kita sebut ojek online sebagai transportasi publik. Sampai sini kalian semua paham kan syarat utama menjadi suporter Persebaya kalau ingin melihat klub kesayangannya bertanding di stadion? Bukan cuma harus beli tiket, tapi juga wajib memiliki kendaraan pribadi, Rek.
Padahal, FYI saja, Kota Surabaya pernah mendapatkan penghargaan Wahana Tata Nugraha (WTN) dari Pemerintah Indonesia. WTN adalah penghargaan di bidang transportasi yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada kota-kota yang mampu menata transportasi publik dengan baik. Lha, mosok kota dengan gelar penataan transportasi publik baik, malah nggak punya transportasi publik menuju stadionnya sendiri? Kan ya lucu, sih…
Stadion GBT sendiri awalnya memiliki kapasitas 55.000 penonton. Namun pada tahun 2020, stadion ini direnovasi dan kapasitasnya berubah menjadi 45.134 penonton. Biaya pembangunan plus renovasi memakan anggaran sebesar Rp600 miliar. Stadion GBT juga menjadi stadion nomor dua terbesar di Indonesia setelah Stadion Gelora Bung Karno (GBK).
Bayangkan, jika ada 45.000 orang menuju ke Stadion GBT dengan akses jalan yang terbatas, seberapa parah kemacetannya? Yo macet puuuoool, Rek. Tanpa memiliki kecintaan yang besar terhadap Persebaya, mustahil orang mau melewati kemacetan seperti itu.
Lantaran posisinya yang berada di tengah-tengah tambak, akses menuju Stadion GBT ini hanya ada dua jalur. Pertama, melalui Jalan Raya Benowo menuju ke Jalan Jawar. Kedua, melalui Jalan Tambak Osowilangun/Romokalisari menuju Jalan Jawar. Bertumpuknya kendaraan di Jalan Jawar inilah yang biasanya menyebabkan kemacetan parah.
Tak jarang, beberapa suporter Persebaya terpaksa mencari jalan alternatif agar bisa sampai ke kompleks stadion dengan melewati pematang sawah tambak. Tahu kan gimana pematang tambak itu? Terjal, becek, berlumpur dan berbatu cadas, Cak. Sekali kepeleset, langsung njelungup, kejebur ndek tambak garam. Hmmm… Kita ini mau nonton pertandingan Persebaya, kok rasanya seperti mau ikutan kompetisi Ninja Warrior? Berat, orang biasa nggak akan kuat!
Kalau masih ada yang menyangkal, “Ada kok transportasi publik menuju GBT! Naik kereta, kemudian turun di Stasiun Benowo.” Iya, betul. Memang ada kereta antarkota yang berhenti di Stasiun Benowo. Tapi, jarak antara stasiun Benowo menuju Stadion GBT itu masih sekitar 3,7 kilometer, Rek. Jalan kaki sejauh itu gempor juga kaki kita.
Belum lagi sebagai Bonek yang baik hati, murah senyum, dan nggak misuhan ini, kita kalau jalan kaki menuju stadion sering kali menjadi korban kriminalitas. Entah HP dirampas atau dompet tiba-tiba raib bisa terjadi di tengah jalan. Hiks. Gini amat pengin mendukung tim kesayangan main di kandang sendiri.
Bagi cewek-cewek di luaran sana, kalau mau cari ayang, pertimbangkanlah untuk berpacaran dengan suporter Persebaya. Sebab, mereka ini sudah teruji kesabarannya. Terbukti mereka sabar menahan macet di bawah terik matahari dan teruji gesit berjalan di medan yang berlumpur.
Kalau masih ada yang ngeyel juga, “Ih, pertandingan Persebaya 729 Game tanggal 22 Mei 2022 kemarin akses menuju pintu masuknya sudah diatur untuk menghindari kemacetan parah, kok. Makanya lihat sirkulasi lalu lintas Dishub!”
Tolong jangan ada yang bertanya, “Lho, itu sirkulasi lalu lintas ta? Tak kiro peta undangan nikahan!” Hush, mulutnya mingkem dulu!
Jika melihat sirkulasi lalu lintas Dishub di atas, akses pintu masuk menuju Stadion GBT hanya satu (yang bergambar anak panah putih). Fakta di lapangan, jalurnya dibagi menjadi dua, dibedakan antara pengguna kendaraan pribadi dan pejalan kaki. Sekali lagi, perbaikan tersebut meski patut diapresiasi, tetapi tetap nggak mengurangi sedikit pun pentingnya transportasi publik menuju stadion.
Kenapa sih harus ada transportasi publik menuju GBT? Saya mencatat, setidaknya ada tujuh alasan.
Pertama, tentu saja kehadiran transportasi publik bisa mengurai kemacetan di jalan.
Kedua, mudah memantau kriminalitas di jalan lantaran di dalam bus juga ada petugas.
Ketiga, karena bus memudahkan akses ke stadion, maka potensi untuk menarik minat orang atau suporter yang biasanya melihat di TV untuk datang ke stadion tinggi. Ini bisa berdampak positif bagi tim lantaran bisa menambah pendapatan klub.
Keempat, bus umum seperti Suroboyo Bus atau Trans Semanggi yang memiliki sopir dan tambahan petugas di dalamnya bisa membuat Bonita—panggilan untuk suporter perempuan Persebaya—merasa lebih aman datang ke stadion dengan kendaraan umum.
Kelima, adanya bus membatasi jumlah Bonek yang hobi nebang atau nggandol. Kan sudah ada bus dengan biaya yang terjangkau, ngapain nggandol?
Keenam, mengakomodir suporter dari luar kota yang sering mengeluh susah ke GBT karena nggak ada transportasi umum dari stasiun terdekat menuju stadion. Jangan salah, meksipun namanya Persebaya (Persatuan Sepak Bola Surabaya), tapi pendukungnya bukan hanya berdomisili di Surabaya, lho. Ada juga suporter Persebaya yang datang dari Madiun, Sidoarjo, Mojokerto, dan kota-kota lain. Nggak usah tanya kenapa orang Mojokerto mendukung Persebaya alih-alih AC Majapahit. Lha, kalian sediri juga ngapain dukung MU, wong rumahnya di Surabaya bukan di Manchester? Wqwqwq.
Terakhir, kehadiran transportasi publik menuju Stadion GBT juga membuat orang yang nggak punya kendaraan pribadi masih bisa nonton Persebaya bertanding. Tolonglah, Pemkot Surabaya, jangan menzalimi orang yang nggak punya motor tapi ingin pergi ke stadion. Buatkan kami bus yang nyaman dan ramah difabel.
“Kon pikir bangun halte dan buat transportasi publik ke GBT murah? Mahal itu, bukan prioritas. Pemkot Surabaya nggak ada dana!”
Baiklah, jika memang masih sulit dan permintaan kami atas fasilitas transportasi publik menuju stadion dirasa ketinggian, setidaknya tolong pertimbangkan untuk bikin bus umum yang khusus beroperasi ketika ada event penting atau pertandingan Persebaya di Stadion GBT.
Sebagai perbandingan saja, ya. Di Jepang, ada sirkuit penting yang lokasinya di perfektur kecil Tochigi. Sirkuit tersebut bernama Twin Ring Motegi, tempat diselenggarakannya ajang balapan MotoGP. Kalau naik kereta dari Tokyo ingin ke Motegi, kita hanya bisa berhenti sampai stasiun Utsonomiya, kemudian lanjut naik taksi menuju sirkuit Motegi. Tapi, perfektur setempat—atau sebut saja pemkot setempat—menyediakan bus khusus yang hanya beroperasi ketika ada event di sirkuit Motegi. Nah, setidaknya, Pemkot Surabaya bisa mempertimbangkan tindakan yang sama.
Kenapa saya nggak memberi contoh stadion, malah sirkuit? Ya kalau mau dibandingkan dengan stadionnya Tokyo Verdy, klub yang bermain di J2, kita jelas kalah to kalau urusan transportasi. Lantaran Ajinomoto Stadium yang menjadi markasnya Tokyo Verdy punya halte bus dan stasiun yang jaraknya dekat sekali dengan stadion. Coba tanya ke Pratama Arhan, turun dari Stasiun Tobitakyu terus jalan kaki ke Ajinomoto Stadium palingan cuma dua menit. Ha wong jaraknya cuma 600 meter.
Sek, sebentar, biar saya luruskan, nanti saya dikecam sukanya ngomongin yang jelek-jelek saja tentang Surabaya. Kenapa saya membandingkan Surabaya dengan Jepang? Bukankah stadion-stadion lain di Indonesia juga banyak yang nggak punya transportasi publik? Masih mending Persebaya punya stadion bagus dan besar dibandingkan kota lain. Heh, Romlah dan Bambang, kalau mau ambil contoh itu ya dari daerah yang lebih bagus, dong, bukannya malah mencontoh yang jelek.
Sampai sini paham ya, ini bukan tentang menjelek-jelekkan Surabaya, apalagi Persebaya. Ini soal memudahkan akses saudara kita yang ingin ke stadion tanpa harus membeli motor ataupun mobil. Ini tentang peningkatan kualitas layanan publik ya, Rek.
Intinya, kalau Pemkot Surabaya belum mampu menyediakan transportasi publik ke Stadion GBT secara permanen, setidaknya Pemkot bersedia memfasilitasi dengan membuka rute Suroboyo Bus atau Trans Semanggi yang khusus beroperasi menuju Stadion GBT saat ada event atau pertandingan. Sudah.
Terakhir, apakah perjuangan suporter Persebaya selesai ketika sudah lolos dari kemacetan jalan dan berhasil masuk Stadion GBT? BELUM! Sebab, saat masuk ke stadion, kami langsung merasa berada di dalam gua lantaran sinyal provider di sana tiba-tiba hilang. Stadion yang digadang-gadang jadi salah satu venue Piala Dunia U-22, masa nggak pakai penguat sinyal, sih? Atau memang sengaja dibuat seperti itu biar suporternya nggak main HP melulu dan fokus pada pertandingan? Embuhlah.
Akhir kata, jika Dilan bilang, “Rindu itu berat, kamu nggak akan kuat, biar aku saja,” itu karena Dilan suporter Persib Bandung. Kalau Dilan suporter Persebaya, pasti doi bilangnya, “Perjuangan ke Stadion GBT itu berat, Milea nggak akan kuat, biar Bonek saja!”
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 5 Tren Fesyen Paling Konyol yang Pernah Ada.