Perihal Revisi UU KPK

revisi uu kpk komisi pemberantasan korupsi mojok

revisi uu kpk komisi pemberantasan korupsi mojok

Saya ngiri, sebagian orang, cepat dan ringan sekali memberikan pendapatnya soal KPK. Saya terlalu lambat mencerna. Untuk berpendapat, buat saya, itu sungguh rumit. Ada perang argumen di otak saya, meski pada akhirnya mode antigeneralisasi otak saya meyakini bahwa dalam isu KPK ini tidak ada benar atau salah mutlak.

Perihal revisi UU KPK, satu sisi, saya setuju bahwa KPK harus dibenahi dan diperkuat, di sisi lain, revisi UU KPK bisa menjadi backdoor pelemahan KPK. Eit, jangan skeptis dulu! Itu hanya asumsi saya, bisa benar, bisa salah.

Berdasarkan perenungan dan setelah membaca beberapa referensi, ini pendapat pribadi saya; Pertama, saya setuju ada dewan pengawas independen (non politisi) yang mengawasi dan mengevaluasi kinerja KPK. Untuk menjaga tatanan organisasi yang baik, pengawasan secara independen tetap dibutuhkan. Dewan pengawas dipilih oleh Presiden tanpa perlu persetujuan DPR.

Kedua, saya tidak setuju bahwa penyadapan oleh KPK harus dengan izin dewan pengawas. Penyadapan boleh langsung dilakukan KPK dengan catatan sudah ada bukti permulaan, dilakukan paling lama 3 bulan dan dapat diperpanjang, memberitahukan ke dewan pengawas laporan penyadapan setiap triwulan, praktik penyadapan diaudit oleh lembaga independen, KPK wajib memberitahukan ke orang yg disadap jika selama 3 bulan tidak ditemukan bukti. (Pendapat ini sesuai dengan standard praktik penyadapan di beberapa negara).

Ketiga, saya setuju penyidik KPK tidak harus polisi dan ASN. Boleh saja penyidik independen sesuai putusan Putusan Mahkamah Konstitusi (109/PUU-XIII/2015). Ke depannya, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP harus disesuaikan karena di dalam RUU KUHAP hanya mengenal penyidik polisi dan penyidik PNS.

Keempat, saya setuju penuntutan bisa dilakukan secara mandiri oleh KPK tanpa perlu berkoordinasi atau melalui Kejaksaan Agung.

Kelima, untuk menjamin kepastian hukum, penghormatan hak, dan kelaziman praktik penegakan hukum, saya setuju KPK tetap harus diberi kewenangan menerbitkan SP3 khususnya HANYA untuk penghentian penyidikan demi hukum, misalnya tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kadaluwarsa (6-18 tahun).

Perihal revisi ini, sesuai asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (pasal 5 UU 12/11), KPK perlu diajak bicara dan dilibatkan secara proporsional. Tak perlu terburu-buru ketok palu jika substansi masih mentah atau setengah matang, apalagi jika ketok palu hanya karena hasrat dan nafsu politik.

Di luar substansi UU KPK tersebut, hemat saya, program pencegahan korupsi harus menjadi fokus prioritas misi kinerja KPK selain persoalan represif dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Jumlah kasus, jumlah orang, dan lamanya putusan penjara bagi terpidana korupsi jangan menjadi parameter utama bagi publik dalam pemberantasan korupsi, namun keberhasilan program pencegahan korupsi dengan membaiknya indeks persepsi korupsi Indonesia (IPK), keberhasilan mencegah potensi kerugian dan keberhasilan mengembalikan uang atau aset negara yang dikorupsi sebagai indikator utama kinerja KPK yang diakui publik.

Sudah saatnya pemberatan denda dan ‘pemiskinan’ bagi koruptor diterapkan sebagai pamungkas di setiap perkara korupsi (dalam skala tertentu). Yakin, negara dan rakyat yang paling diuntungkan.

Apakah artinya tidak ada lagi koruptor yang dipenjara?
Putusan penjara berat (hukuman mati atau seumur hidup) tetap diperlukan khususnya bagi pelaku korupsi berulang, atau korupsi yang dilakukan pejabat tinggi negara, penegak hukum, pimpinan partai di level tertentu, atau korupsi yang merugikan negara dalam skala masif.

Berikutnya. Pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi di sektor penegakan hukum WAJIB menjadi prioritas dari yang paling prioritas (dibanding sektor lainnya) dengan strategi dan penanganan khusus. Selama sektor ini belum dibenahi, KPK akan terus mendapat perlawanan, sampai melemah hingga akhirnya mati perlahan.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa membangun budaya antikorupsi itu jauh lebih sulit daripada menangkap pelaku korupsi itu sendiri. Cukup beberapa bulan untuk menangkap pelaku korupsi, tapi butuh puluhan bahkan ratusan bulan untuk membudayakan orang agar tidak korupsi.

Itu saja!

Catatan:
Pendapat saya mungkin beda dan bertentangan dengan banyak orang, termasuk pendapat tokoh-tokoh yang saya kagumi. Prespektif saya sangat sempit, hanya berdasarkan pengalaman saya sebagai penyidik ASN yang sehari-hari berjibaku dengan penegakan hukum, berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai karakter Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim), para pengacara, LSM, termasuk dengan kawan-kawan penyidik KPK.

Jadi, kita tetap teman kan meski beda pendapat? (*)

BACA JUGA RUU KPK Adalah Bukti Betapa Progresifnya DPR dan Presiden Kita atau tulisan Teguh Arifiyadi lainnya. Follow Facebook Teguh Arifiyadi.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version