Kalau namanya nggak viral karena quote cuitan Anya Geraldine, sebenarnya saya nggak tahu blio ini siapa. Kalaupun mak sliwer liwat di lini masa Twitter saya, pasti saya ngiranya Twitter blio ini akun-akun shitpost karena isinya benar-benar random. Saya hanya nggak tega bilang bahwa cuitan demi cuitan blio ini lumrahnya nggak penting sama sekali.
Tapi, dari cuitan blio, saya yakin bahwa blio yang saya maksud orangnya asik sekali. Lha gimana nggak asik, pangeran asal negeri mana yang bilangnya “elo” dan “gue” seperti blio. Sungguh beruntung saya akhirnya mengenal blio via media sosial, jebul ada pangeran yang asyik selain Pangeran Kodok di negeri dongeng nun jauh di sana yang rakyatnya selalu nrimo ing apa anane.
Blio yang saya maksud adalah KPH Notonegoro yang tentu saja saya hormati walau saya tahunya baru-baru ini. Entah sadar atau nggak, blio bercuit seperti ini, “kan gue baru pulang dr pergi ya, terus pas sampe rumah dibukain gerbang aneh bgt rasanya. Kayak, ‘oh ini rumah gede banget’. Mana rame banyak orang. Eh ternyata gue tinggal di istana.” Duh, dek.
kan gue baru pulang dr pergi ya, terus pas sampe rumah dibukain gerbang aneh bgt rasanya. kayak, ‘oh ini rumah gede banget’. mana rame banyak orang. Eh ternyata gue tinggal di istana. ?? https://t.co/QCYRn4Hknc
— KPH Notonegoro (@KPHNotonegoro) January 6, 2021
Kalau anak-anak TikTok turun tangan menanggapi, pasti komentarnya seperti ini, “Ampun bang jago.” Nek nggak ya bikin konten, “Privilese Mantu Sultan Check!” Untungnya yang turun tangan warga DI Yogyakarta secara keseluruhan. Berbagai elemen, mulai dari yang nrimo ing tweet sampai yang mempertanyakan maksud dan tujuan blio bercuit seperti itu sejatinya ngapain.
Di sini tentu posisi saya sebagai pembela blio. Lha wong tujuannya itu hanya sekadar random saja kok. Lihat saja cuitan-cuitan yang lain, kata demi kata yang penuh elo dan gue-nya. Jadi ya bebas kalau Pangeran kesayangan masyarakat yang satu ini dikatakan menyalahgunakan privilese dari Sultan.
Dikutip dari Susahtidur, Den Baguse Prabs menulis bahwa tindakan KPH Notonegoro ini menyalahi aturan. Katanya, “Anggone Kanjeng Noto ngumukke kraton iku marakke akeh uwong ngelus dada. Padahal yo pangeran, nanging kok ora iso maringi conto kanthi pener.” Mbok ya aja spaneng to, Prabs.
Lha gimana sih, kan memang kenyataannya KPH Notonegoro kalau masuk rumah itu selalu ramai dan besar. Dua alun-alun je, kurang besar gimana coba? KPH Notonegoro hanya menyampaikan realita yang nggak mungkin didapat para muda-mudi baru menikah yang mendambakan rumah di Jogja. Mau punya rumah atau tanah di Jogja? Sana ikut undian Mirota Kampus dulu. Pol mentok ya tanah waris. Itu pun kalau nggak digusur untuk dijadikan tol di masa yang akan datang.
Kalau membahas masalah “mantu yang nebeng orangtua”, KPH Notonegoro nggak sendirian kok. Lihat saja Mas Bobby Nasution yang akan menjadi orang nomor satu di Kota Medan. Kenapa Bobby bisa memenangkan Pilkada Medan? Tentu karena Sandiaga Uno dan Djarot Saiful Hidayat. Kenapa tokoh sekaliber itu mau membantu Bobby Nasution yang masih kuncup di ranah politik? Mantu Jokowi, memangnya apalagi?
Kalau KPH Notonegoro mungkin masih gagap dalam bermedia sosial, jadi cuitannya itu bukannya lucu, malah nggak mashoook blas. Kalau Bobby Nasution lebih main rapi dalam urusan memanfaatkan privilese mertua. Kalau KPH Notonegoro hanya perihal rumah, ini Bobby urusannya sudah jabatan dan nama besar sang mertua. Apalagi mertuanya masih aktif jadi Presiden RI. Gue ngasi ora habis thinking, Dab.
Yang satu pamer kekayaan mertua, yang satunya lagi “pamer” jabatan mertua. Bagai dua bilah pisau yang berbeda. Satu runcing dan satu tumpul, namun juga digunakan untuk maksud yang jahat, dua bilah pisau itu dapat bekerja sama untuk melukai seseorang. Yang satu melukai hati para dewasa Jogja yang banting tulang untuk nyicil kontrakan, yang satunya bikin orang lain mbatin, “Ha kok enak banget jadi mantu presiden.”
Tapi, mari kita gunakan akal sehat yang sebenarnya nggak sehat-sehat amat. Begini, misal saya dikasih privilese, tentu saya akan memanfaatkannya. Nah itu yang terjadi kepada Bobby Nasution yang ujug-ujug ikut kontestasi. Pun dengan KPH Notonegoro yang mak mbedunduk bercuit dan quote cuitan Anya Geraldine dengan dipungkasi emoticon yang super nggatheli.
Saya ambil salah satu komentar yang pro, begini bunyinya, “Cuma pangeran yang bisa sombong dan masuk akal.” Nah, sobat nrimo ing pandum kadang nalarnya jalan juga, kan? Sombong sesuai keadaan. Ya jelas keadaan yang dimaksud ini sebuah keadaan di mana para dewasa Jogja sedang nangis getih berjuang hidup di kota yang romantis ini.
Boro-boro beli rumah, nyicil kosan saja kadang masih mput-mputan. Pun cuitan KPH Notonegoro ini menjadikan sebuah gambaran kasar bagaimana rasanya menjadi orang kaya di Jogja. Sebuah utopi yang selama ini tertutupi kabut, dibuka tabirnya oleh pangerannya sendiri. Jebul yang dirasa oleh pangeran itu, tiap masuk rumahnya, eh, maksud saya Kraton, selalu mbatin oh ini rumah gede banget. Eh ternyata gue tinggal di istana. HAHAHA.
Dari KPH Notonegoro dan Bobby Nasution, kita mesti sadar satu hal, rejeki nomplok itu kadang datangnya dari mana saja. Bisa dari kerja keras, banting tulang, atau ketiban duren dari mertua sendiri. Sebagai muda-mudi Jogja yang kaffah akan nrimo ing pandum, harapan saya tentu hanya satu, mertua saya kelak punya rumah dan sepetak tanah yang diwariskan kepada putrinya berhubung menang undian rumah Mirota itu sulitnya dan bejo-nya setara dengan gacha.
Bebas to KPH Notonegoro mau bercuit seperti apa dan bagaimana. Kalau terkesan nggatheli dan kemlinthi, ya gimana lagi. Kalau mau yang lurus, cepat, gesit, bermartabat, ngosak-ngasik, dan trengginas, ya namanya bukan Noto Negoro, tapi Noto GP!
BACA JUGA Bahasan ‘Ditinggal Nikah Mantan’ Makin Usang dan Sudah Saatnya Ditinggalkan dan tulisan Gusti Aditya lainnya.