Bersamaan dengan HUT ke-79 RI, Kementerian Hukum dan HAM meluncurkan desain baru paspor Republik Indonesia. Menkumham dengan bangga memperkenalkan desain yang kini berwarna merah putih, meninggalkan warna hijau yang sudah familier. Pada momen ini, paspor baru ini mengusung tema Nusantara dengan gambar tenun dan batik yang dipilih dari ribuan motif. Tapi, jangan buru-buru bangga dulu, paspor baru ini baru resmi beredar tahun depan, karena stok lama masih menumpuk.
Dalam kesempatan yang sama, Menkumham pun menekankan kalau desain ini mencerminkan persatuan dan kekayaan budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Plus, katanya, ada teknologi pengamanan canggih. Namun dengan semua keindahan dan teknologi ini, sayangnya, masih percuma kalau paspor ini tetap lemah dan kalah pamor dibandingkan paspor Timor Leste. Mau ganti warna dan desain sehebat apa pun, kalau masih kalah kuat di mata dunia, ya… percuma.
Daftar Isi
Paspor Indonesia masih lemah
Bukti nyatanya? Henley Passport Index baru saja merilis peringkat paspor terkuat per Juli 2024. Indonesia ada di posisi ke-65, dengan hanya 76 destinasi bebas visa. Sementara itu, Timor Leste, yang dulunya cuma “adik kecil” Indonesia, sekarang malah melesat ke posisi ke-50. Pemegang paspor Timor Leste bisa melenggang ke 97 negara tanpa visa.
Iya, betul, enam peringkat di atas kita! Kondisi ini jadi tamparan keras, mengingat dulu Timor Leste adalah bagian dari NKRI. Sekarang, mereka bukan cuma merdeka, tapi paspornya pun lebih sakti ketimbang kita. Sedangkan kita? Mau pamer desain keren, tapi daya saing tetap tertinggal.
Mau tak mau kita mesti jujur, prestasi paspor Indonesia ini bikin kita mesti banyak-banyak ngelus dada. Kalau kata pepatah, “jauh panggang dari api”. Niatnya sih keren dengan paspor baru yang katanya sarat nilai budaya dan teknologi pengamanan, tapi kalau kekuatan paspornya masih di belakang Timor Leste, ya rasanya tetap pahit.
Lebih tragis lagi, Malaysia duduk manis di posisi ke-12 dengan 182 negara bebas visa, sementara Singapura gagah di posisi pertama dengan 195 tujuan bebas visa. Mau keren, boleh, tapi kalau urusan kekuatan paspor kalah sama yang dulu kita anggap adik, ya… apa nggak bikin merenung?
Cuma modal gaya, tanpa isi?
Percuma saja kalau desain paspor seolah mau menandingi fashion show Paris, sementara isinya tetap bikin minder. Kita ini seolah sedang berdandan untuk pesta mewah, tapi sayangnya, nggak diundang ke pesta itu. Mau segagah apa pun sampul paspornya, kalau yang punya tetap harus ngantri panjang buat visa atau bahkan ditolak mentah-mentah di imigrasi, ya tetap saja bikin sakit hati.
Paspor itu kan bukan cuma soal estetik, tapi lebih ke seberapa dihargai di panggung dunia. Kalau paspor kita kalah saing sama Timor Leste, ya gimana kita mau pamer ke negara-negara lain? Jangan-jangan, kita lebih dikenal karena drama overstay ketimbang prestasi paspor yang membanggakan.
Tentu kita bisa berharap suatu hari paspor Indonesia akan lebih dihormati dan lebih dihargai di dunia internasional. Tapi sementara itu, mungkin kita perlu lebih fokus meningkatkan daya tawar diplomatik daripada sekadar mendesain ulang paspor. Karena pada akhirnya, percuma desain secantik apapun kalau nggak bisa bikin jalan-jalan tanpa ribet ke negara-negara impian.
Saat kita sibuk bangga-banggain paspor baru dengan desain merah putih, tetangga-tetangga kita sudah asyik jalan-jalan keliling dunia tanpa mikir visa. Mungkin ini saatnya berhenti fokus pada bungkusnya, dan mulai mikirin isinya karena percuma punya paspor desain baru, kalau tetap nggak kuat dan cuma jadi pajangan di dompet.
Kenapa paspor Indonesia lemah?
Pertanyaan simpel, tapi bikin penasaran: kenapa sih paspor Indonesia masih lemah? Jawabannya ternyata rumit. Dihimpun dari beberapa sumber literatur, sejatinya, kekuatan paspor itu dihitung dari berapa banyak negara yang bisa kita masuki tanpa visa. Semakin banyak negara yang bilang, “Ayo masuk, nggak perlu visa,” semakin kuat paspor kita. Tapi, itu cuma satu faktor. Ada juga soal visa on arrival dan posisi negara kita dalam Human Development Index (HDI) dari UNDP.
Masalahnya, negara-negara lain nggak semudah itu kasih kita akses bebas visa. Ada banyak pertimbangan yang mereka pikirkan. Salah satunya, hubungan diplomatik antara negara kita dan negara mereka. Kalau hubungan kita kurang akrab, ya jangan harap dikasih bebas visa.
Belum lagi soal jumlah warga negara yang berpotensi tinggal lebih lama dari izin visa. Nah, di sinilah letak masalah Indonesia. Populasi kita yang 250 juta lebih itu bikin negara lain waswas. Mereka takut negaranya diserbu orang Indonesia yang overstay, alias tinggal lebih lama dari yang diizinkan.
Tapi itu belum semua. Isu keamanan pun ikut bermain. Kasus terorisme dan ketidakstabilan keamanan pun bikin negara lain berpikir ulang sebelum kasih kita akses bebas visa. Jadi, walaupun kita mau gembar-gembor desain paspor baru, kalau faktor-faktor ini nggak berubah, ya tetap saja posisi paspor Indonesia kita bakal tertinggal.
Solusi untuk Indonesia
Lantas, apa solusinya? Sederhana, tapi susah: tingkatkan kondisi dalam negeri. Kalau Indonesia makin makmur dan stabil, mungkin negara lain akan lebih percaya dan kasih kita akses bebas visa. Selain itu, mengurangi jumlah warga yang tinggal melebihi izin visa pun bisa membantu. Intinya, perbaiki reputasi, baru bisa ngarep paspor kita naik kelas.
Nah, ada juga cara lain yang mungkin agak kontroversial: punya kewarganegaraan ganda. Bayangkan, punya paspor kedua yang lebih kuat. Bukan hanya menambah opsi jalan-jalan, tapi juga membuka peluang hidup yang lebih luas. Tentu ini sangat kontroversial karena Indonesia cuma mengenal kewarganegaraan tunggal dan kewarganegaraan ganda terbatas—sehingga masyarakat Indonesia tak bisa punya kewarganegaraan ganda—sesuai UU Kewarganegaraan RI.
Kesimpulannya, meskipun kita bisa berbangga dengan desain baru paspor, kita pun perlu sadar bahwa tanpa perubahan fundamental, dunia buat orang Indonesia masih akan terasa sempit. Jadi, apakah kita cuma bisa pasrah? Atau kita bisa dorong perubahan dari dalam negeri?
Pada akhirnya, paspor bukan hanya soal desain keren, tapi juga tentang kekuatan yang sesungguhnya. Kendati demikian, kita mesti tetap optimis, semoga suatu saat nanti paspor kita kuat, demi mewujudkan Indonesia maju.
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.