Memasuki abad-21 poligami sudah mulai jarang ditemui di masyarakat kita, utamanya di kalangan birokrat tingkat atas maupun bawah. Pemikiran yang semakin berkembang dan banyak alasan lain membuat poligami dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Meskipun begitu, ada sebagian kalangan yang menganggap poligami sah-sah saja asal dengan syarat tertentu. Syarat yang begitu rumit tak jarang membuat beberapa laki-laki yang terjebak nafsu birahi, lebih memilih menikah siri, mempunyai simpanan, selingkuh, dan kumpul kebo dibanding poligami secara resmi. Perubahan pandangan masyarakat terhadap poligami pada zaman ini berbeda dengan zaman pasca kemerdekaan, tepatnya tahun 1950-an hingga 1960-an.
Kebetulan saya lahir dari kakek yang berpoligami dan memiliki dua istri. Artinya saya mempunyai nenek kandung dannenek tiri, kalau ibu saya alhamdulillah satu saja. Kedudukan nenek kandung sebagai istri ke-2 sedangkan nenek tiri sebagai istri ke-1. Stigma tentang istri kedua pasti berkonotasi negatif, bahkan sering disebut sebagai pelakor. Pada zaman itu, stigma negatif tersebut belum ada sehingga sulit untuk melabelkan stigma pelakor kepada nenek kandung.
Kehidupan sosial masyarakat masa itu mendukung iklim poligami oleh seorang laki-laki. Budaya feodal bekas kerajaan masih kental di masa itu membuat poligami merupakan perilaku yang normal-normal saja. Para birokrat, elit politik, dan kelompok agama Islam (Masyumi) malah mendukung penuh poligami di kalangan masyarakat. Orientasi masyarakat tradisional yang berprinsip “penting punya sandang, papan, dan pangan” membuat syarat poligami ditinjau dari modal ekonomi mudah untuk dilakukan terutama untuk kalangan birokrat.
Alkisah dimulai ketika kakek saya menjadi seorang birokrat desa dengan posisi yang strategis. Ideologi politik yang sangat kental di masa pasca kemerdekaan juga turut mempengaruhi pemikiran kakek. Beliau adalah seorang Nasionalis, Sukarnois dan loyalis PNI, dulu di kamar kakek ada sebuah gambar Bung Karno berukuran A1 dan logo PNI berukuran A2. Anehnya, kakek saya tidak terlalu dekat dengan PKI sehingga tidak termasuk target penangkapan tahun 1965. Menilik latar belakang faham dan kedekatan ideologi beliau, tentu tidak heran bila kakek menjadi seorang birokrat, ihwal sejarah menunjukkan bahwa loyalis PNI banyak terafiliasi dengan birokrat dan kaum priyayi. Meskipun hanya seorang birokrat rendahan di tingkat desa, desakan pergaulan untuk berpoligami membuat kakek saya ikut terpengaruh hehehe.
Fakta di desa saya menunjukkan bahwa para birokrat desa seperti Kades, Pamong, Dukuh, dan Pegawai desa pada tahun 1950 sampai 1960-an lebih banyak yang berpoligami dibanding monogami. Konon pada zaman itu, seorang birokrat jika tidak berpoligami akan di bully habis-habisan, ibarat kalau sekarang ada laki-laki nongkrong tidak merokok pasti habis di ejek teman-temannya. Hal itu pulalah yang membuat kakek memutuskan untuk berpoligami dan menjadikan nenek kandung saya sebagai istri kedua. Istri pertama pun kebanyakan juga ikhlas dan rela apabila suami mereka yang seorang birokrat memutuskan berpoligami karena dianggap sudah menjadi budaya dan risiko istri birokrat. Prestis seorang laki-laki birokrat yang tidak berpoligami dipandang rendah pada masa itu.
Sebenarnya, budaya poligami juga ditentang oleh beberapa pihak terutama dari kalangan petani dan buruh yang memiliki afiliasi politik dengan PKI. Jadi, PKI adalah partai pertama di Indonesia yang menentang poligami. Artinya, monogami termasuk ajaran komunis sehingga wajar kalau hingga sekarang masih kontroversial wkwkwk. Protes PKI membuat jengah kalangan birokrat yang mayoritas dari PNI dan kalangan agama dari Masyumi. Kakek saya termasuk yang membenci protes PKI tersebut sehingga ia lebih dekat dengan tokoh agama karena kebencian terhadap PKI. Para birokrat yang berpoligami beranggapan bahwa tak apa beristri dua asalkan bisa adil dan tidak ditinggal begitu saja.
Pada praktiknya, memang poligami zaman itu sekilas lebih adil dibanding dengan masa kini. Keadilan tercermin dari transparansi dari pra-nikah hingga semasa menikah. Sejak awal mau berpoligami para birokrat izin dengan istri pertama, bukan malah nikah siri seperti sekarang. Keadilan semasa menikah lebih njlimet lagi karena harus adil dari sisi ekonomi maupun sosial.
Secuil keadilan kakek dalam berpoligami sering saya liat ketika berkunjung ke rumah nenek kandung dan tiri. Perabotan rumah tangga dari piring, sendok, hingga lemari sama persis di antara keduanya. Prinsipnya jika nenek tiri dibelikan lemari warna dengan corak garuda maka nenek kandung pun dibelikan barang serupa. Adil secara sosial bisa diliat ketika kakek berkunjung ke acara-acara tertentu dengan pendampingnya digilir antara nenek kandung dan tiri, pernah pula keduanya sama-sama diajak ketika menghadiri pelantikan kepala desa.
Memang begitulah zaman yang selalu berubah-ubah dari segi tatanan sosial maupun wacanan dominannya. Dahulu poligami dianggap sebuah kewajiban di kalangan birokrat dan normal di kalangan masyarakat. Saat ini poligami dipandang sebagai sebuah kemunafikan oleh banyak masyarakat sehingga birokrat dilarang untuk berpoligami. Sekarang terlihat bahwa poligami itu baik atau tidak ialah tergantung pandangan masyarakat yang hidup di zaman tersebut. Akhir kata, pada zaman yang serba kompleks dari segi ekonomi dan sosial, poligami sudah kurang relevan lagi apabila hanya mengejar prestise laki-laki. Prestise seorang birokrat pada zaman ini justru tercipta ketika ia bisa setia dengan satu pasangan saja.
BACA JUGA Masih Jomblo kok Bicara Poligami sih? dan tulisan Rofi’i Zuhdi Kurniawan lainnya.