Adik saya hidup di era dunia digital yang penuh kemudahan. Saat dia kecil, sudah ada HP touchscreen dan bisa selfie dengan teman-temannya. Begitu juga masa SMK saya, yang bisa saya lihat kenangannya di hardisk. Foto membawa kenangan tersendiri buat banyak orang. Benar kiranya jika foto dianggap sebagai penangkap kenangan. Dengan melihat foto lama, kenangan masa lalu ikut terbaca dan setiap foto punya kisahnya sendiri-sendiri.
Saya adalah anak yang tak terlalu suka difoto. Saat ada acara keluarga dan acara sekolah, saya selalu bersembunyi dari lensa kamera. Saat itu masih jarang yang punya kamera digital, apalagi handphone berkamera. Generasi kamera handphone terbaik juga masih culun, resolusinya mentok di 2 MP atau masih VGA. Sehingga kamera analog atau film menjadi senjata utama.
Penyesalan selalu datang belakangan, dan itu pasti. Foto kenangan masa kecil saya yang terbanyak adalah saat balita dan saat ulang tahun ketujuh. Rentang masa SD saya lewati dengan sedikit dokumentasi diri. Padahal keluarga saya punya kamera sendiri. Dan sudah pasti saya menyesal banget. Saat itu, saya merasa nggak penting banget nongol dan merasa aneh melihat orang-orang yang selalu suka difoto.
Memelihara kenangan di hati dan pikiran ala penyair nggak mashok banget ternyata. Karena melihat kenangan lewat foto atau video rupanya lebih menyenangkan. Apalagi video, yang nyatanya lebih penting lagi, meski saya hanya punya satu video tentang masa kecil. Yaitu saat nikahan saudara, pun saya hanya kelihatan beberapa detik. Betapa dongkolnya saya. Kalau tahu akan semenyesal ini, pasti saya ikutin si videografer ke mana pun dia jalan.
Hal itu berlanjut di masa peralihan teknologi kamera digital ke handphone berkamera, yaitu saat saya SMP. Lagi-lagi saya jarang mau difoto. Hal itu yang bikin kenangan masa SMP saya jadi kabur. Bahkan saya hanya punya 5 buah foto kenangan saat melakukan study tour bersama kawan sekelas. Saat kemah pun saya juga nggak kelihatan di foto dan video. Beruntung ada banyak foto kenangan yang diambil diam-diam oleh kawan dan (ehm) pacar, meski tak banyak jumlahnya.
Saat ada kawan memposting foto masa SMP atau masa SD, ada perasaan iri. Foto masa SMP saya yang nggak nyampai 10 buah tersebut, juga tak pernah saya upload ke FB atau Twitter. Sehingga tak ada yang mengingatkan saya akan peristiwa penting itu. Tentu asyik jika sekarang ada pengingat tentang postingan masa SMP, yang saya posting 10 atau 12 tahun lalu. Sayang disayang, FB dan Twitter saya juga sudah nggak ada lantaran sudah saya hapus.
Saat itu saya merasa tak terlalu penting gabung selfie dengan kawan-kawan, meskipun sering diajak. Dulu saya menganggap sedikit-sedikit berfoto itu kurang kerjaan. Apalagi semuanya langsung ditaruh di beranda medsos. Rupa-rupanya hal itu tak bisa dianggap sebagai kegiatan remeh-temeh karena begitu berharga di masa kini. Bahkan, dulu saya suka marah saat tiba-tiba ada yang mengambil foto saya tanpa permisi.
Saya kini lebih bisa memaklumi apa yang orang-orang lakukan di medsos. Yang bikin video di YouTube, TikTok, yang posting selfie setiap sedetik sekali, yang bikin status WA banyak banget, dan lain sebagainya. Saya anggap mereka tengah membuat dokumentasi diri dan membingkai memori. Begitu pun saya, yang kini mulai rajin berfoto bersama kawan dan saudara di mana pun kami berada dan bertemu. Bahkan saya juga sering berfoto saat berkegiatan apa pun, mulai dari makan hingga bersepeda. Tak lupa mengambil foto keluarga, kawan, rumah, hingga tanaman, dan kucing-kucing saya.
Kini, saya ucapkan terima kasih untuk kawan, saudara, mantan, sampai guru, yang pernah mengambil foto saya dengan diam-diam, apalagi mempostingnya di medsos. Karena dengan begitu, saya jadi punya kenangan yang bisa disimpan dan dilihat kapan pun saya mau. Memelihara kenangan kadang memang perlu. Apalagi kenangan bersama orang-orang baik di masa lalu yang kini sudah jarang bertemu. Sungguh, walau tak bisa diulang, masih bisa untuk dikenang dan saling mendoakan.