Dalam rangka memperingati Hari Disablitas Internasional tahun ini, sudah sepatutnya kesetaraan dan keadilan hak-hak para penyandang disabilitas digalakkan. Di Indonesia, sebenarnya penyandang disabilitas juga sudah dilindungi dan dijamin keselamatan dan haknya. Tapi, anehnya malah dilanggar sendiri sama yang membuat regulasi itu.
Masih ingatlah kalian dengan peristiwa dibukanya lowongan CPNS bagi para difabel? Lowongan yang baru dibuka tahun ini itu mungkin dianggap sebagai gerbang menuju keadilan yang lebih baik bagi para penyandang disabilitas. Tapi, bukannya memeratakan keadilan, justru kebijakan baru itu malah memperparah diskriminasi dan memperkuat stigma salah yang sudah merajalela tentang penyandang disabilitas di Indonesia. Hadeh, ada-ada saja~
Di lowongan CPNS itu, ada beberapa daerah yang memberikan syarat yang sangat lucu alias rumit. Saya kadang mikir, ini mau mempermudah apa mempersulit, sih? Bayangkan saja, jenis difabel kan beragam, masa iya syaratnya harus bisa mendengar dan melihat? Bahkan di beberapa daerah juga ada yang mensyaratkan pelamarnya harus bisa berjalan menggunakan alat bantu jalan selain kursi roda. Dengan kata lain, kalau kamu pakai kursi roda, nggak bisa melamar CPNS.
Tentunya syarat seperti itu sangat tidak adil dan malah mendiskriminasi para penyandang disabilitas. Jelas-jelas tujuan dibukanya lowongan itu untuk menghapuskan diskriminasi dan mengindahkan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Tapi kalau syaratnya saja seperti itu, pastinya tidak semua jenis difabel bisa mengikutinya. Dengan kata lain, dengan adanya syarat itu berarti hanya difabel fisik saja yang boleh melamar menjadi CPNS.
Padahal, dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 telah dijelaskan bahwa “Pemerintah memberikan jaminan bagi difabel untuk memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemda, atau pihak swasta tanpa diskriminasi”. Tapi kok peraturan itu malah dilanggar sendiri dengan dalih “fasilitas pemerintah untuk menyokong para difabel di luar syarat belum memadai” sih? Bukankah seharusnya kebijakan itu harus disertai dengan kesiapan yang matang terlebih dahulu?
Lagipula, dengan adanya hal itu, sama saja semakin memperkuat stigma salah di masyarakat bahwa penyandang disabilitas itu “lemah” dan “tidak bisa melakukan hal yang setara dengan orang ‘normal’“. Saya heran mengapa stigma itu masih banyak berkembang di masyarakat Indonesia yang katanya sudah open-minded. Padahal, di luar negeri saja penyandang disabilitas tidak lagi dianggap sebagai beban. Mereka bisa melakukan segala hal secara mendiri tanpa harus selalu bergantung pada orang lain.
Selain itu, stigma yang sangat merugikan para penyandang disabilitas di dunia kerja juga banyak terjadi dalam banyak kasus di Indonesia. Kalau pemerintah mengingkari sendiri regulasi yang mereka buat, perusahaan swasta bisa lebih tega lagi. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya kasus penolakan karyawan difabel dalam berbagai perusahaan swasta. Alasan klasiknya masih sama, yaitu nggak punya fasilitas yang memadai.
Di dunia pendidikan pun nggak beda jauh. Hanya karena seseorang adalah penyandang disabilitas, maka ia lebih mungkin direkomendasikan masuk ke sekolah berkebutuhan khusus—yang lagi-lagi—punya fasilitas lengkap. Padahal, menyandang disabilitas bukan berarti ia harus dicap berbeda, didiskiriminasi, dan dianggap takkan bisa bersaing dengan “orang normal”. Duh, kalau orang Indonesia pikirannya masih pada kayak gini, kapan majunya, ya?
Tapi, kayaknya stigma yang melekat pada para penyandang di Indonesia masih sangat kuat. Penyandang disabilitas masih dianggap sebagai individu yang selalu menggantungkan hidupnya pada orang lain. Lebih parahnya lagi, oleh para kaum hipokrit di luar sana, difabel seringkali dijadikan sebagai objek simpatik yang harus dikasihani dan dibela mati-matian hak dan keadilannya. Namun, di lain sisi juga masih dianggap sebagai pribadi submisif yang perannya tidak lebih dominan dari orang “normal”.
Diskriminasi itu juga didapatkan penyandang disabilitas mental. Tidak jarang banyak yang menganggap difabel mental sebagai orang yang “tidak mampu melakukan apa pun” atau “berbahaya”. Mereka pun seringkali dimarjinalkan oleh stigma buruk tersebut. Akan tetapi, tentunya stigma itu nggak benar. Buktinya, sudah banyak teman-teman difabel mental yang terbukti sukses melakukan berbagai hal, termasuk sukses dalam kariernya. Beberapa dari mereka pun sering kali diidentikkan dengan kata genius, mungkin lebih genius dari kamu~
Pernah nggak sih, kalian mendengar stigma bahwa difabel itu hanya menjadi “beban” saja? Kalau ada yang bilang hal itu, sini tak cubit. Menjadi difabel bukanlah sebuah pilihan. Bukan kutukan, bukan kekurangan, bukan juga beban. Siapa bilang difabel itu harus selalu bergantung pada orang lain untuk menyokong kehidupannya? Kalau kalian masih melihat banyak yang seperti itu, mungkin itu cuma karena tampak luarnya saja, atau karena trotoar, atau sarana khusus difabel di Indonesia masih sangat minim hehehe~
Lagipula, terbukti sudah sangat banyak teman-teman difabel yang sukses bahkan mungkin lebih sukses dari kamu. Kalau di luar negeri, yang paling mahsyur adalah Stephen Hawking yang suskes dengan teori black hole nya. Kalau di Indonesia, berapa di antaranya ialah Habibie Afsyah yang sukses dalam bisinis jual beli internasional atau Suparni Yati, atlet Tolak Peluru yang berhasil menyumbang Emas bagi Indonesia pada piala Asian Games 2018.
Akan tetapi, mau sebanyak apa pembuktian kesuksesan itu, stigma yang salah di Indonesia itu akan tetap ada selama struktur sosial kita belum berubah. Saya pikir, selama kita belum dilatih dan diajarkan berempati dan menganggap semua orang setara, stigma buruk yang salah itu akan tetap ada. Lagipula, Tuhan saja menganggap semua manusia setara, masa kamu yang butiran debu nggak?
BACA JUGA Modifikasi Motor Honda Astrea Prima untuk Difabel atau tulisan Indah Evania Putri lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.