Sejak Rancangan KUHP digodok, isu membuang hukum warisan Belanda makin hangat.
Kalau Anda membahas Belanda, kemungkinan karena dua hal. Pertama karena Piala Dunia, kedua karena kolonialisme. Belanda memang jadi tokoh antagonis bagi bangsa kita. Ya maklum saja, di benak ini sudah tertanam penjajahan selama 350 tahun. Dan dengan semangat nasionalisme, banyak warisan kolonial Belanda yang di-Indonesia-kan, salah satunya hukum.
Isu membuang hukum warisan Belanda makin hangat sejak RKUHP digodok. Akun-akun Twitter bermunculan membela RKUHP. Biasanya sih akunnya cuma 10 following dan tanpa follower. Nggak, saya nggak menuduh Anda sebagai klonengan BuzzeRp. Saya yakin, Anda semua tulus kok membela RKUHP.
Tapi, separah apa hukum warisan Belanda ini? Apakah hasil revisinya sebombastis (baca: separah) ini sampai bertaburan pasal karet yang terasa makin ra mashok?
KUHP kita memang warisan Belanda sejak 1918. Bernama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI), ia adalah turunan dari kitab hukum Negara Belanda. Menjadi turunan karena tidak semua isi kitab diterapkan di Indonesia. Isi WvSNI ini disesuaikan dengan situasi Indonesia. Anda bisa mencari sejarah kitab ini lebih detail, karena bukan ini yang mau saya bahas.
Pada tahun 1946, WvSNI diganti sebutannya jadi KUHP. Dan di sini kekacauan terjadi. Karena tidak ada terjemahan resmi pemerintah untuk KUHP, akhirnya terjemahan yang digunakan di tiap instansi berbeda.
Sejak tahun 1963, sudah muncul desakan untuk membuat KUHP baru, tapi baru direalisasikan pada 1970. Presiden berganti, dan Rancangan KUHP ini terus digodok. Sampai akhirnya RKUHP disepakati oleh DPR era SBY. Pada 2019, Presiden Joko Widodo meminta untuk menunda pengesahan RKUHP dan melakukan peninjauan kembali.
Jika Anda ingat demo berdarah 2019, itu demo menolak RKUHP. Namun dua kali demo (2019 dan 2022) belum cukup untuk kembali menunda pengesahannya. Hingga pada akhirnya, RKUHP disahkan jadi undang-undang pada Desember 2022.
Oke, itulah sejarah panjang KUHP kita. Sekarang kembali lagi ke pentingnya revisi KUHP. Saya tidak menolak KUHP kita harus direvisi. Dan tidak mendukung amat karena terlalu skeptis dengan pemerintah. Tapi, merevisi KUHP memang penting bagi negara ini.
Kalau sekadar bicara usia, ada kitab hukum yang lebih tua yang masih dipakai, yaitu Code civil des Francais atau yang lebih dikenal sebagai Napoleonic Code. Diresmikan pada 1804 di era Napoleon Bonaparte, kitab hukum ini masih dipakai sampai hari ini. Tentu dengan beberapa amandemen mengikuti sejarah.
Kalau ditarik lebih tua, Napoleonic Code ini juga berlandaskan Corpus Juris Civilis, sebuah kitab hukum klasik Kekaisaran Romawi Timur alias Bizantium. Disempurnakan pada era Justinian I pada 534, kitab ini jadi acuan hukum Eropa.
Jadi, kalau bicara revisi RKUHP hanya karena usia, ya kurang wah saja. Lha wong ada hukum yang lebih tua dan masih dipakai. Jadi perlu ada revisi argumen BuzzeRp, eh, pendukung RKUHP.
Kalau bicara warisan pemerintah kolonial, ini baru masuk akal. Berbeda dengan Napoleonic Code, KUHP adalah warisan pemerintah kolonial yang menduduki Indonesia. Ketika merdeka, maka KUHP bercita rasa Indonesia tidak hanya jadi hukum pidana semata, tapi juga identitas dan simbol kedaulatan bangsa. Tentu ada sentimen sendiri ketika hukum negara merdeka bersumber dari hukum negara penjajahnya.
Penghilangan pasal “balas dendam” ala kolonial juga baik. Asas restorative justice tepat diterapkan dalam hukum pidana. Penyelesaian yang adil dan mengedepankan restorasi adalah dambaan umat manusia. Toh, terbukti kalau hukum balas dendam warisan Belanda juga tidak membawa kehidupan damai. Siapa tahu KUHP baru yang (katanya) berasas restoratif dan humanis bisa membawa perdamaian abadi di Indonesia.
Nah, berarti RKUHP pantas didukung, kan? Terus kenapa protes?
Karena pasal-pasal bermasalah! Jangan karena semangat nasionalisme anti-kolonial, produk hukum penuh pasal bermasalah disahkan. Ini yang sebenarnya gagal diangkat dalam debat kusir warganet.
Menolak KUHP baru bukan berarti menolak perubahan. Bukan pula berarti mendukung hukum warisan kolonial. Yang diminta bukan hanya tajuk “hukum cita rasa Indonesia”, tapi juga dasar hukum yang jelas, seragam, dan adil bagi semua orang. Saya tidak perlu menyebut pasal berapa saja yang cacat. Kalau saya bahas semua, bisa panjang artikel ini.
Hidup ini tidak hitam putih, begitu pula ketika membahas hidup bernegara. Menolak RKUHP yang kini otw jadi KUHP bukan berarti membenci perubahan. Justru mendukung perubahan yang berfokus pada keadilan dan kesejahteraan rakyat. Kalau pasalnya saja cacat, akan percuma meskipun ditegakkan dengan cara paling humanis sekalipun.
Ikan busuk dari kepala. Penegakan hukum busuk dari landasan hukumnya. Kalau KUHP-nya saja penuh pasal karet dan bermasalah, gimana penegakan hukumnya? Ya sudah pasti akan timbul banyak masalah, dan semua bisa kena. Jadi, sekali lagi, menolak KUHP bukan menolak nasionalisme. Justru jadi bentuk cinta bangsa dan negara dengan mengidamkan penegakan hukum yang adil, jujur, dan ojo dumeh.
Kalau saya sih, sulit untuk seoptimis itu. Daripada pusing menyongsong KUHP bermasalah, penak turu. Tapi tolong ya, wake me up when injustice end.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Tipu Muslihat dalam RKHUP.