Membaca tulisan Dini N Rizeki tentang susahnya menjelaskan profesi “content writer” pada boomer membuat saya merasa terpanggil. Terpanggil bukan karena saya merasa paling tahu jawabannya tapi karena kebuntuan saya mencari ide. Selain itu saya juga punya pengalaman yang kurang lebih sama dengan apa yang dialami para pekerja abad 21 ketika mendapatkan pertanyaan abad 20, “kerja di mana?”
Sebagai seorang yang punya profesi abad 21 saya juga merasa gelisah karena dianggap sebagai pengangguran hanya karena kerjanya di rumah. Tidak hanya pengangguran, bahkan disangka pemalas tukang rebahan karena bangun siang, tidak pernah keluar rumah dan tiba-tiba punya uang yang meskipun tidak banyak tapi cukuplah untuk membuat para tetangga gelisah mengira saya ngepet atau pelihara tuyul. Apalagi kalau duit tetangga sudah habis secara misterius padahal belum akhir bulan.
Sebagai informasi saya adalah penerjemah partikelir, penulis lepas, dan pedagang tanpa barang. Jadi sebenarnya tidak punya profesi yang jelas. Bahasa kerennya freelancer, bahasa tidak kerennya pekerja serabutan. Sebagai penerjemah partikelir saya tidak berkantor saya bahkan tidak pernah bertemu pembeli jasa saya. Semua transaksi dilakukan online, thanks to technology yang memberikan seorang introvert dan pemalas seperti saya kesempatan untuk mencari recehan dari lima triliun uang yang beredar di dunia tanpa perlu ketemu orang sama sekali.
Selain menerjemah, saya juga menulis untuk media di tengah kegabutan saya jika tidak mendapatkan proyek penerjemahan. Selain itu saya juga berdagang tanpa barang atau istilah kerennya trader yang kenyataannya ternyata tidak semudah omongan Budi Setiawan. Brngsk kau Budi, eh nama asli kowe siapa sih?
Semua pekerjaan yang saya jabani ini membuat saya tidak perlu keluar rumah, panas-panasan, hujan-hujanan tapi jangan salah meskipun tidak keluar rumah bukan berarti pekerjaan ini mudah dan menyenangkan. Tidak sama sekali, terkadang pinggang terasa sudah sepuluh tahun dari usianya karena kerjaan hanya duduk di depan laptop dari pagi sampai malam, lelah tauq.
Balik lagi ke pertanyaan awal, kenapa sih para boomer tidak bisa mengerti meski dijelaskan sampai mulutmu leleh tentang pekerjaan-pekerjaan abad 21. Pekerjaan-pekerjaan yang sangat bertentangan dengan prinsip kerja yang ada di pikiran mereka. Jawabannya sebenarnya sangat sederhana. “Jika kau tidak mengerti sesuatu, itu berarti otakmu tidak mengizinkan kamu untuk mengerti,” kata George Lakoff, seorang linguist dan profesor kognitif sains.
Semua itu terjadi karena informasi diproses ketika terjadi koneksi antar neuron ketika seseorang melakukan sesuatu. Jadi ketika manusia melihat sesuatu yang dilakukan oleh manusia lain namun hal itu sama sekali tidak pernah dia lakukan, hal ini menyebabkan tidak adanya pemetaan lintas domain pada aktivitas neuron karena sistem sensormotorik tidak membantunya mengidentifikasi pengalaman tersebut.
Dalam bukunya Moral Politics, George Lakoff (2002) menceritakan ketika ia menghadiri seminar yang dilakukan oleh partai konservatif Amerika ia tidak bisa memahami apa yang mereka sampaikan padahal Lakoff seorang Profesor Semantik. Semantik adalah ilmu tentang makna, yang merupakan cabang dari linguistik. Dia sangat bingung dengan ide-ide konservatif di mana salah satunya adalah melegalkan kepemilikan senjata. Ketika seorang kanan konservatif berorasi setiap penonton bersorak dan Lakoff hanya terbengong.
Struktur neuron pada otaknya membuatnya tidak bisa memproses informasi yang sama sekali bertentangan dengan apa yang dipercayainya. Seperti halnya Lakoff yang tidak mengerti dengan cara berfikir kaum konservatif Amerika karena dia adalah seorang liberal, boomer juga tidak akan bisa mengerti kerja abad 21 seperti content creator, content writer, atau berbagai pekerjaan yang tidak membutuhkan kantor.
Dalam otak para boomer kerja itu dimulai pukul 07.00 ketika seseorang berangkat kantor, dan pukul 17.00 pulang kantor. Kerja itu menggunakan seragam, menerima gaji tetap setiap akhir bulan, dan ada hari liburnya yang sudah diatur sebelumnya. Jadi ketika ada yang mengatakan bahwa di bekerja di rumah maka itu bertentangan dengan bingkai tentang kerja yang ada di otak para boomers. Apalagi jika jenis pekerjaan itu adalah pekerjaan yang tidak ada sama sekali pada zaman boomers masih produktif sehingga tidak akan terjadi tembakan neuron yang menyebabkan terkoneksi neuron-neuron yang membantunya memproses informasi itu.
Pusing ya? Oke, saya sederhanakan menggunakan analogi. Kalian sama sekali belum pernah belajar bahasa Jerman, lalu guru kalian mengatakan buku itu menyimpan informasi dan kalian disuruh membacanya. Sayangnya buku itu berbahasa Jerman dan kalian tidak mengerti sama sekali bahasa Jerman yang menyebabkan informasi apapun yang ada di buku tidak akan diproses di otak. Sederhananya perangkat yang ada di otak kalian tidak bisa membantu memetakan informasi. Jadi bukan karena bukunya tidak memiliki informasi melainkan perangkat di otak kalian gagal memberinya mendekode informasi itu.
Kesimpulan yang bisa diambil dari sini adalah jangan coba-coba menjelaskan profesi abad 21 kepada para boomers. Itu sama saja melawan hukum alam, karena secara biologi, tepatnya neurosains, memang tidak ada sama sekali perangkat dari otaknya untuk mendekode informasi itu. Menyitir apa yang dikatakan Lakoff, percuma menjelaskan profesi abad 21 dengan otak abad pertengahan.
BACA JUGA Betapa Sulitnya Menjelaskan Profesi ‘Content Writer’ pada Boomer atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.