Pengalamanku sebagai Warga Lokal Jepang Merasakan Langsung Sistem Siaga Bencana di Jepang: Jauh Lebih Siaga Menghadapi Bencana, Jauh ketimbang Indonesia

Pengalamanku sebagai Warga Lokal Jepang Merasakan Langsung Sistem Siaga Bencana di Jepang: Jauh Lebih Siaga Menghadapi Bencana, Jauh ketimbang Indonesia

Pengalamanku sebagai Warga Lokal Jepang Merasakan Langsung Sistem Siaga Bencana di Jepang: Jauh Lebih Siaga Menghadapi Bencana, Jauh ketimbang Indonesia

08.50 JST (Japan Standard Time). Rabu pagi. Sebagaimana hari-hari biasa seorang ibu rumah tangga, saya sedang memasak. Selesai menghidangkan sarapan untuk bocil yang sedang libur musim panas. Suasana pagi yang tenang di Jepang.

Tiba-tiba dari kejauhan, ada suara pengumuman dari TOA. Saya buka jendela agar bisa mendengar lebih jelas. Di saat yang sama, handphone saya bergetar. Ada notifikasi aneh. Bukan SMS, bukan pula WhatsApp. Tapi notifikasi yang langsung muncul di layar dan memaksa saya membacanya.

“Peringatan Darurat.

Peringatan tsunami. Peringatan tsunami telah dikeluarkan untuk pesisir Prefektur Shizuoka. Ada risiko tsunami. Harap berhati-hati jika Anda tinggal di dekat pantai atau daerah bahaya tsunami.

(Prefektur Shizuoka)”

Begitu isi dari notifikasi di handphone saya. Tsunami? Kan tidak ada gempa. Deg-deg! Jantung ini rasanya berhenti satu-dua detik. Lalu detik berikutnya memompa dengan lebih keras. Lamat-lamat terdengar lagi pengumuman melalui TOA yang kurang lebih isinya sama.

Buru-buru saya buka kanal berita. Oh my God! Gempa 8 SR di Rusia. Menyebabkan potensi tsunami ke Jepang. Kembali handphone saya bergetar. Notifikasi yang sama masuk kedua kalinya. Begitu juga di handphone saya yang masih berisi nomor Indonesia. Notifikasi juga langsung masuk ke handphone tersebut. Wih, sistem yang keren, batin saya sambil deg-deg-an tidak karuan.

Saya perhatikan rumah-rumah tetangga. Apakah mereka juga merasakan kekhawatiran seperti saya. Ternyata tidak. Lingkungan sekitar rumah saya tetap tenang. Satu dua mobil keluar dari rumah. Mereka sepertinya akan berangkat kerja.

09.05 JST

Notifikasi ketiga masuk lagi di layar handphone. Isinya masih sama. Ternyata, peringatan ini masuk untuk seluruh wilayah pesisir Jepang. Mulai dari paling utara (Hokkaido), hingga paling Selatan (Okinawa).

Saya baca lagi berita. Gempa Rusia sudah diupdate, ternyata 8,8 Skala Richter! Hampir sama dengan gempa Tohoku, Jepang tahun 2011 silam yang berkekuatan 9 SR dan mengakibatkan tsunami. Tingkat kecemasan mulai memuncak. Terbayang lagi video-video tsunami Tohoku yang menjebol tembok penahan tsunami setinggi 7 meter. Ya, waktu itu bahkan penduduk Tohoku sudah siaga dengan tembok setinggi 7 meter, tetapi siapa sangka tsunami yang datang setinggi 10 meter. Mengingat hal itu saya tambah gemetaran.

09.20 JST

Saya dan anak saya sudah memakai sepatu. Tas berisi barang dan surat berharga sudah berada di punggung. Siap sewaktu-waktu kami perlu lari mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Dulu waktu di Indonesia, merasakan gempa beberapa detik saja anak saya sudah menangis. Tapi kali ini mentalnya lebih kuat. Dia tegar dan waspada. Mungkin karena dia sudah beberapa kali simulasi bencana di sekolahnya. Rumah kami, 6 kilometer dari pantai. Saya pikir, lokasi ini belum sepenuhnya aman.

10.00 JST

Notifikasi keenam masuk.

“Peringatan tsunami: Masyarakat di wilayah pesisir harus segara mengungsi ke dataran tinggi atau tempat aman lainnya.

(Badan Meteorologi Jepang)”

Jantung ini rasanya copot. Melorot sampai kaki, lalu meloncat lagi ke dada untuk berdetak kembali. Saya genggam tangan anak saya, buru-buru kami keluar rumah lalu naik tangga apartemen untuk naik ke lantai yang lebih atas lagi. Setiap lantai saya beristighfar. Sambil melihat kondisi luar dan rumah-rumah tetangga.

Saya berhenti dan mengamati. Lingkungan rumah saya masih tetap tenang dan tidak tampak orang-orang keluar rumah atau menuju tempat lebih tinggi. Hmm, apa saya doang yang panik? Tapi notifikasi handphone masih muncul kembali.

Saya ajak anak saya duduk. Saya tawari minum, sambil tetap memantau sekeliling. Truk sampah baru saja datang ke depan apartemen untuk mengambil sampah hari ini. Layaknya aktivitas biasa di hari-hari sebelumnya.

11.25 JST

Sirene Bahaya Tsunami terdengar di seluruh kota melalui TOA. Tanda peringatan bahwa gelombang tsunami sudah sampai di pesisir. Sirene yang hanya saya dengar ketika simulasi bencana sekarang terdengar nyaring selama beberapa menit. Tapi ini bukan latihan, bukan simulasi. Inilah kejadian nyata bencana itu. Tsunami telah benar-benar datang.

Hingga malam hari, saya dan keluarga belum sepenuhnya bernafas lega. Update berita dan gelombang-gelombang tsunami di pesisir terus datang semakin tinggi. Dari awalnya gelombang tsunami yang hanya setinggi 30-40 cm, hingga 1,5 meter pada sore hari. Dari berita, tampaknya kota kami slebih aman. Ada warga Prefektur lain yang harus naik ke gedung evakuasi, naik ke bukit, bahkan beberapa pabrik dan reactor nuklir berhenti bekerja. Kereta lokal juga stop beroperasi. Banyak penumpang terdampar di stasiun, termasuk suami saya hari itu.

Sebagai warlok Jepang newbie yang masih bermental warga +62, ternyata memang saya masih panik dan gagap dengan kesiapsiagaan bencana di Jepang. Pengalaman saya sebagai pegiat pengurangan risiko bencana (PRB) di Indonesia seperti diuji seharian ini. Semua ilmu ternyata menguap dan hasilnya perlu remidial.

Tsunami dan Kesiapsiagaan Indonesia kalah jauh ketimbang Jepang

Tsunami sebagai bencana yang terjadi secara tiba-tiba atau sudden-onset disaster, sangat mengandalkan kecepatan diseminasi informasi dan evakuasi untuk menghadapinya. Setiap detik dan menit sangat berharga. Untuk ini, saya akui Jepang luar biasa. Hanya berselang tidak sampai sejam dari informasi gempa di luar negeri, mereka langsung memperkirakan waktu kedatangan tsunami dan ketinggian gelombang. Memberikan peringatan yang benar secara massif dengan media blast dan TOA.

Jaringan televisi Jepang juga memberikan video infografis bahaya yang update. Tidak ada waktu dan kesempatan berita hoax untuk muncul.

Saya jadi ingat sesaat setelah Gempa Jogja 2006. Masyarakat masih belum mendapat informasi jelas tentang gempa yang terjadi pukul 05.53 pagi. Jam 7 pagi sudah tersiar kabar bahwa terjadi tsunami di Pantai Selatan. Semua orang yang hendak berangkat sekolah dan bekerja, mengalihkan kendaraannya dan terseret arus massa yang panik mengungsi ke arah Merapi. Bencana dan berita hoax. Pukulan bahaya beruntun dan masyarakat pontang-panting kebingungan

Budaya kesiapsiagaan menjadi kunci ketenangan masyarakat Jepang dalam menghadapi bencana. Setiap November, semua elemen masyarakat akan berlatih simulasi bencana. Di sekolah-sekolah (mulai TK hingga SMA), di kantor-kantor, di RT-RW, di Kota, semua berlatih. Semua orang tahu harus melakukan apa dan ke mana ketika bencana terjadi. Aktivitas yang sudah berlangsung sejak tahun 1952 ini kemudian menghasilkan generasi demi generasi yang siaga bencana.

Indonesia sebenarnya juga memiliki Bulan Pengurangan Risiko Bencana yang baru dimulai sejak tahun 2013, terlambat hampir setengah abad dari Jepang. Namun lebih banyak pelaksanaannya berupa seremonial yang jauh dari usaha membangun budaya siaga bencana di elemen-elemen masyarakat.

Jepang peduli bencana, maka dananya begitu luar biasa. Indonesia?

Tidak dimungkiri komitmen fiskal yang disediakan pemerintah Jepang untuk penanggulangan bencana memang sangat besar. Tiap tahunnya mencapai 4 Triliun yen (Rp110 triliun). Bandingkan dengan anggaran BNPB Indonesia tahun ini yang hanya Rp956,6 miliar. 1 triliun pun tidak sampai!

Anggaran sekecil itu, harus dicukup-cukupkan untuk semua kegiatan pencegahan, tanggap darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. Bila terjadi satu bencana besar di Indonesia, bisa jadi anggaran satu tahun langsung habis tidak bersisa. Padahal tercatat di tahun 2004 saja, terjadi lebih dari 3000 kejadian bencana. Betapa nelangsanya Indonesia. Anggaran secupet itu harus berkelahi dengan ribuan bencana.

Bandingkan dengan anggaran Badan Gizi Nasional yang mendapat anggaran terbesar di APBN sebesar Rp217 Triliun, atau anggaran Kepolisian yang sebesar Rp106 Triliun. 200 dan 100 kali lipat anggaran BNPB! Atau anggaran Kemenag yang sebesar Rp75 Triliun. Tampaknya memang lebih urgent bagi anak Indonesia untuk makan siang walaupun bisa jadi tidak selamat karena terdampak bencana. Lebih penting membeli robot polisi daripada membenahi sistem peringatan dini tsunami Indonesia yang beberapa sudah rusak bahkan raib diambil oleh pencuri.

Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan penduduk paling rajin berdoa. Tapi sayangnya Tuhan tidak akan mengubah kondisi Indonesia yang rawan bencana hanya dengan doa. Bencana perlu diikhtiari antisipasinya oleh negara, sebelum pasrah dalam tawakal. Usaha mentadaburi bumi dan komitmen hidup harmonis dengan alam melalui teknologi juga merupakan bagian dari ikhtiar dan ibadah itu sendiri.

Jepang memang bukan negara agamis, tapi jauh lebih menghayati ikhtiar daripada Indonesia yang berdoa setiap hari.

Penulis: Aniesa Norma Dantie
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Jangan Lakukan 6 Hal Ini kalau Mau Hidup Bertetangga dengan Nyaman di Jepang

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version