Begitu menyebalkan, sebagai reporter kampus, eh malah dikira penipu. Begini kisahnya….
Menjadi seorang reporter sebenarnya gampang-gampang susah asalkan ada kemauan dan keberanian. Sebagai reporter, kita dituntut untuk SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) pada siapa pun orang yang akan kita tanya-tanya atau wawancarai. Dengan begitu, kita bisa sembari berkenalan dengan orang lain untuk menjalin silaturahmi.
Saya pertama kali mencoba menjadi seorang reporter ketika kelas 2 SMA. Waktu itu, saya dan teman satu kelas ditugaskan membawakan berita bencana untuk keperluan nilai tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia. Saya merasa puas dan senang karena menjadi reporter cukup mengasyikkan juga. Terlebih teman-teman kelas saya tidak menyangka bahwa saya akan melaporkan kejadian sebagus itu.
Beranjak kuliah, saya mendaftar di pers mahasiswa. Sebagian besar anggota di pers mahasiswa yang saya ikuti itu kebanyakan dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan Fikom (Fakultas Ilmu Komunikasi).
Selain reporter, sebenarnya masih banyak posisi atau bidang yang ada di pers mahasiswa kampus saya. Seperti bidang litbang (penelitian dan pengembangan), humas (hubungan masyarakat), fotografer, sampai desain (mendesain untuk keperluan media sosial). Pilihan pertama saya di bidang reporter, pilihan kedua litbang. Saya diterima sebagai reporter.
Isu yang saya geluti sebagai reporter kampus ya seputar kehidupan di kampus. Misalnya, kebijakan kampus soal UKT, polemik jam perpustakaan malam, isu Omnibus Law yang beberapa waktu lalu menjadi perbincangan khalayak ramai, dan isu-isu sosial lainnya.
Saat pertama kali meliput sebuah isu di kampus dengan mewawancarai salah satu mahasiswi, saya sudah langsung dikira sebagai penipu berkedok SKSD. Buset dah, mau jalanin tugas gini amat, malah dikira penipu. Kebetulan memang saat itu saya mewawancarai sendiri karena fotografer yang biasa mengambil gambar sedang ada kelas. Ditambah waktu itu saya belum menggunakan ID Card.
Maklum di kampus saya, sebagai tempat yang ramai, selalu ada saja berkeliaran orang-orang mencurigakan seperti tiba-tiba meminta nomor KTP, nomor hape, dan sebagainya. Teman saya salah satu korbannya, doi duitnya ludes nggak bersisa setelah diambil oleh orang yang berhasil menghipnotisnya. Kebetulan sekitar ATM memang sedang sepi, jadilah doi sasaran empuk si penipu.
Balik lagi ke mahasiswi yang menyangka saya seorang penipu. Saya kaget setelah doi menyangka saya akan menawarkan produk lalu kemudian menghipnotisnya. Tapi buru-buru saya memperkenalkan diri saya sebagai mahasiswa di kampusnya juga.
Mahasiswi itu nggak langsung percaya gitu aja. Maklum, saya nggak punya tanda pengenal sebagai reporter kampus. Mungkin juga, karena tampang saya nggak meyakinkan sebagai reporter. Apa ya malah lebih meyakinkan sebagai penipu berkedok usaha MLM? Ngenes.
Saat itu, si mahasiswi udah celingak-celinguk. Duh, jangan-jangan mau teriak minta tolong. Bayangan digebukin udah mampir aja. Niatnya wawancara, malah bogem mengudara. Saya sendiri yakin, bibir mbaknya udah mau membukan dan nuduh saya penipu.
Ketika bayangan terburuk itu mulai datang, saya buru-buru menegaskan lagi kalau saya reporter kampus. Tujuannya cuma wawancara aja, nggak lebih. Duh, muka mbaknya malah tambah curiga. Ketika saya menyebut nama pers kampus dan isunya, akhirnya doi bisa mulai percaya dan bersedia diwawancarai. Mungkin dia setengah kasihan juga saya kayak panik menjelaskan.
Sebenarnya saya bisa saja sih meninggalkan dia dan mewawancarai mahasiswa lain yang sedang bebas. Namun saya takut kalau-kalau dia malah melaporkan saya ke satpam yang sedang berada di sekitar tempat saya hendak mewawancarai (masjid kampus). Daripada jadi korban salah tangkap dikira penipu, ya sudah saya lanjutkan saja untuk menjelaskan semuanya ke doi. Setelah rekaman wawancara selesai, hati saya pun lega. Ternyata menjadi reporter itu tidak semengerikan yang saya kira.
Disangka seorang penipu mungkin bukan hal yang terlalu besar bagi seorang reporter kampus seperti saya, namun kalau sudah benar-benar menjadi reporter liputan tv, risiko besar pasti akan menghampiri. Apalagi kalau berita yang diliput sangat sensitif, ancaman pembunuhan bukan hal yang tabu dialami oleh para reporter. Sudah banyak saya membaca artikel atau berita mengenai reporter berita yang mendapat ancaman pembunuhan atau pencemaran nama baik. Namun hal itu pernah benar-benar terjadi, bukan hanya ancaman semata.
Saya teringat quotes dari Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.” Seperti hukum kesetaraan, kalau kamu ingin menjadi besar berarti pasti ada banyak hal yang dikorbankan dan risiko yang harus diambil. Seperti menjadi seorang reporter atau wartawan, risiko besar akan selalu ada. Waspadalah! Waspadalah! Mari kita bicarakan fakta, bukan fiktif belaka.
BACA JUGA Barang Hilang Tiba-Tiba, lalu Muncul Kembali: Fenomena Apa Ini? dan tulisan Erfransdo lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.