Beberapa waktu lalu, tepatnya setelah bapak meninggal dunia, saya diamanati ibu untuk mengurus aset-aset almarhum terutama terkait tabungannya yang ada di bank. Dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, dari pihak bank membutuhkan beberapa dokumen di mana salah satunya adalah fotokopi akta kematian dari almarhum bapak. Keluarga kami memang belum membuat dokumen tersebut, oleh karenanya, saya harus mengurusnya terlebih dahulu ke Dukcapil.
Sebelum melakukan pengurusan, sejak awal saya memang sudah mbatin, bahwa membuat dokumen akta kematian bukanlah perkara yang gampang. Apalagi jika melihat rating kantor Dukcapil di kecamatan saya yang terlampau jeblok, yakni di google maps cuma menyentuh nilai 2,9. Tentu, hanya orang gila yang mau mempercayakan urusannya pada kantor pelayanan dengan rating segitu.
Dan nyatanya, betul saja, mimpi buruk itu benar-benar terjadi.
“Nggak dititipin sekalian?”
Oleh karena masih awam dan baru pertama kali mengurus hal ini, akhirnya saya datang ke kantor kelurahan untuk menanyakan berkas-berkas apa saja yang dibutuhkan untuk membuat akta kematian. Lantas, dijelaskanlah bahwa dibutuhkan berkas-berkas seperti fotokopi KK, KTP istri, buku nikah, KTP asli almarhum, surat kematian dari rumah sakit hingga lunas bayar Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2025.
Setelah mendapatkan informasi tersebut, saya langsung pulang dan melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan. Kemudian di hari selanjutnya, saya membawanya ke kantor kelurahan. Salah satu staf membantu saya membuatkan surat pelaporan pencatatan sipil dari kelurahan untuk diserahkan ke Dukcapil kecamatan, hingga pada akhirnya staf tersebut menawari saya, ‘apakah berkasnya mau dititipkan kepadanya sekalian?’. Nanti kira-kira seminggu jadi, kata staf tersebut.
Saya hanya mbatin, kalau cuma menyerahkan ke kecamatan, ngapain dititipkan? Toh jarak antara kantor kelurahan dan kecamatan di daerah saya hanya 800 meter. Terhitung sangat dekat bahkan bila dengan jalan kaki. Terlebih lagi penitipan itu juga nggak gratis ternyata, akhirnya saya keukeuh untuk menyerahkan berkas ke Dukcapil kecamatan sendiri.
Kok bisa pegawai kelurahan salah ngasih daftar berkas akta kematian?
Sesampainya di Dukcapil kecamatan, sekonyong-konyong saya dibuat kaget, ternyata berkas-berkas yang saya bawa banyak kurangnya! Misalnya kayak seharusnya membawa KK asli, melampirkan fotokopi ijazah putra-putri almarhum dsb. Lucunya lagi, bahkan berkas yang saya bawa justru ada beberapa yang sebenarnya nggak dibutuhkan, seperti fotokopi buku nikah hingga bukti bayar pajak Bumi dan Bangunan tahun 2025. Kampret emang, saya berasa dikadalin! Akhirnya, saya terpaksa pulang lagi untuk melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan.
Di situasi yang menjengkelkan itu, pertanyaan saya hanya satu, bagaimana bisa staf kelurahan yang dalam kesehariannya mengurus berkas-berkas catatan sipil, kok malah salah menginstruksikan dokumen apa saja yang harus diserahkan? Lucunya lagi, dia juga menawarkan jasa penitipan yang nantinya akta kematian tersebut bisa jadi dalam seminggu. Kok bisa? Padahal berkas-berkasnya saja banyak yang keliru, lho. Aneh kan? Eh, nggak aneh ding, kalo maen calo kan modelnya emang begitu, ya.    Â
Pemberkasan yang terlampau ribet!
Cerita menjengkelkan nggak hanya berhenti di situ. Tepatnya setelah saya melengkapi dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk ngurus akta kematian, saya kemudian menyerahkannya lagi ke Dukcapil kecamatan. Sialnya, meski berkas-berkas telah lengkap semua, ternyata ditemukan nama singkatan dalam akta kelahiran keluarga saya, yakni nama bapak dari almarhum bapak saya.
Nama aslinya adalah Abdul Ghofar, namun di KK hanya ditulis A Ghofar. Ini problem besar, katanya. Sebab nama singkatan seperti itu akan otomatis ditolak oleh Kabid Dukcapil. Solusinya, harus dihadirkan data dukung yang menyebutkan bahwa A Ghofar di situ adalah Abdul Ghofar. Caranya, lampirkan ijazah sekolah almarhum bapak serta KK saudara kandung.
Saat itu, saya mencatat semua berkas yang dibutuhkan, sebab saya nggak mau jika nantinya keliru lagi. Alhasil, setelah melengkapi segala berkas-berkas yang diminta, saya kembali menyerahkannya ke kantor Dukcapil kecamatan. Kampretnya, pegawai tersebut malah meminta lagi ijazah saudara kandung almarhum bapak. Lah ini kan ribet, padahal di ijazah bapak dan KK saudara kandung saja sudah jelas bahwa namanya Abdul Ghofar. Lalu, kurang kuat apalagi datanya sampai minta ijazah saudara kandung?
Terkait hal ini, saking jengkelnya, saya sampai berdebat panjang dengan staf kantor Dukcapil. Sebab selain ribet, sebelumnya juga nggak diinformasikan untuk sekaligus membawa ijazah saudara kandung, ia hanya meminta KK dari saudara kandung, sekali lagi hanya KK. Lah, kalau tiap menyerahkan berkas selalu disuruh nyari dokumen lain sebagi pendukung terus-terusan, yang ada malah bakalan habis nanti umur saya buat ngurus hal-hal beginian saja. Saya sampai mbatin, apa karena nggak memakai jasa calo sampai dibuat ribet begini?
Ngurus akta kematian gratis itu hampir nggak mungkin
Namun, meski berdebat panjang, pada akhirnya staf kantor Dukcapil tersebut mau menerima juga, tapi dia menandaskan bahwa “Ini saya terima, tapi nggak tau kalau nanti ditolak sama Kabid gara-gara kurang berkas pendukung’. Sebab saya sudah kadung bad mood, akhirnya saya hanya ngangguk saja. Faktanya, seminggu kemudian akta kematian almarhum bapak dan KK baru keluarga kami terbit. Nah loh, lantas, kenapa sebelumnya staf Dukcapil masih keukeuh minta berkas ini itu? Apa dia nggak tau berkas apa saja sebenarnya yang dibutuhkan? Haish mbuh, lah.
Berdasarkan pengalaman tersebut, sampai sekarang saya masih mbatin, emang bener hidup di Indonesia tuh nggak ada yang gratis. Contoh paling sederhananya ya kayak ngurus pencatatan sipil tadi. Mau cepet ya harus bayar, yakni pakai calo. Mau gratis? Eits nggak ada, kita harus tetap bayar, tapi bukan pakai uang, melainkan dengan waktu yang bakalan habis untuk bolak-balik ngumpulin berkas!  Â
Penulis: Ahmad Nadlif
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mungkinkah Dukcapil Buka Sampai Malam dan di Akhir Pekan?




















