Beberapa waktu ke belakang, saya memantau perkembangan salah satu akun Twitter “World of Kuli”. Sebuah akun yang menggambarkan kehidupan kuli sebenar-benarnya dan seasyik-asyiknya.
Saya berani bilang sebenar-benarnya karena beberapa hal. Saya melihat di akun itu, bagaimana perkembangan per-kuli-an di dunia, terkhusus Indonesia mengalami hal yang disebut “naik kelas”. Kuli, yang dulu kala digambarkan sebagai manusia penuh dengan sejuta masalah hidup dan memenuhi palung kemiskinan terdalam di seluruh lini kehidupan kini dilirik oleh orang. Ada yang hanya sekedar kebutuhan konten saja, namun lebih dari itu, banyak di antara para pekerja ini sebenarnya bisa dikategorikan sebagai “master”.
Orang boleh menganggap sarjana arsitektur sebagai perancang terbaik dalam membangun sesuatu. Pun dengan sarjana teknik sipil sebagai pemborong dan pengawas proyek yang andalnya adiluhung. Setelahnya, kuli adalah pemain yang tidak boleh dihilangkan, hanya boleh disubtitusi.
Bahkan ada selentingan dan belakangan jadi standar, yaitu kalau mau bikin bangunan yang berkualitas, pakai kuli Jawa. Mereka adalah master pembangunan warisan Dinasti Syailendra, yang membangun Candi Borobudur, ribuan tahun silam.
Kalian mungkin bertanya-tanya, bagaimana bisa saya begitu paham akan dunia profesi ini. Ya sebab, saya sempat menekuni ini selama enam tahun. Inilah pengalaman saya selama menjalani profesi ini, yang bikin saya percaya dan setuju dengan apa yang World of Kuli bagikan.
#1 Sekali menjadi kuli, selamanya jadi kuli
Awalnya, saya memulai profesi ini bukan dengan niatan yang bakoh, akan selamanya menjalani laku ini. Saya hanya mencoba-coba saja. Saat itu saya memang sedang dalam kondisi nganggur ketika setiap pulang sekolah tidak ada hal yang berarti untuk dikerjakan.
Saya mencoba memberanikan diri untuk menjadi pembuat batako melalui sepupu yang sudah lebih dulu menjadi primadona di bidang tersebut. Setelah selesai menuntut ilmu pada blio selama kurang lebih sebulan, saya memutuskan memulai dengan bismillah. Walau sebenarnya tidak terlalu yakin dengan hasilnya nanti, yang penting coba aja dulu. Dan hasilnya? Bom! Saya bisa mengaplikasikan apa yang diajarkan sepupu saya dengan sangat baik. Pun dengan hasil bintang lima sebagai respons pembeli batako.
Sialnya, lama kelamaan predikat kuli batako ini menempel di belakang nama saya. Yang akhirnya menambah portofolio. Saya bahkan menjadi primadona kuli batako pada satu titik. Saya yang waktu itu baru berumur belasan, menjadi wonderkid batako.
Nah, satu hal yang akan ikut di belakang ketika nama sudah naik dan dikenal orang adalah predikat. Itu yang saya alami beberapa waktu lalu ketika pulang kampung. Orang-orang di kampung yang sedang mencari kuli pembuat batako, mampir ke rumah saya demi menanyakan kesediaan membuatkan batako untuk rumah mereka. Nama saya sudah menjadi predikat untuk batako di kampung saya. Dan itu memang agak sulit untuk dihilangkan.
#2 Kuli tidak selalu hidup melarat
Saya bercerita kepada teman-teman di tongkrongan Terminator cabang Jogja bahwa saat saya menjadi jagoan batako di kampung, saya mampu menghasilkan duit banyak. Mereka kaget. Bahwa dalam kehidupan kuli yang menurut banyak orang adalah representasi manusia paling kasihan itu, saya mampu meraup pundi-pundi lebih banyak dari UMP Jogja yang katanya istimewanya sundul langit itu.
Dalam situasi tidak dianggap sebagai bagian dari peradaban modern itu, saya bahkan mampu membiayai transportasi saya serta kuliah di dua semester awal saya dengan uang hasil nguli yang saya kumpulkan beberapa bulan sebelum saya hijrah ke pulau Jawa. Rasa-rasanya, kuli mampu mengangkat harkat saya yang awalnya disubsidi orang tua menjadi kuli yang mandiri dan sujana. Materi? Haha, saya mampu mengatasi kemelaratan lewat nguli dengan cara asyik.
#3 Harga keluarga atau harga teman
Jika harga teman berlaku untuk dagangan, apakah hal serupa terjadi juga dalam dunia kuli? Jawabnya, iya.
Pengalaman saya saat menjalani profesi ini selama enam tahun, ada pergolakan batin yang membuat saya kadang konsisten untuk tidak memberikan harga teman kepada customer saya. Saat masih jadi kuli pemula misalnya, saya tidak bisa menolak ketika harga yang ditawarkan kepada saya ternyata cukup melenceng dari margin. Dalam artian saya bahkan hampir tidak dapat untung dari kegiatan saya ini.
Tapi, hal yang sama juga terjadi ketika saya sudah bisa dikategorikan sebagai pro. Beberapa tawaran melampaui harga yang biasa saya tawarkan beberapa kali mampir. Pun dengan tawaran yang jauh di bawah harga tetap saya. Demi dianggap sebagai kuli pro, semua akhirnya saya sikat juga. Nyatanya, hal yang sama menimpa teman sesama kuli saya.
Hal itu menunjukkan bahwa perkara harga teman ini nggak hanya menyerang para seniman, namun juga kuli kek saya ini. Jadi, menandakan bahwa fenomena harga teman ini adalah penyakit yang harus diberantas.
Itulah pengalaman saya menjalani profesi ini, yang tak sesuai ekspektasi kalian. Benar, kerja para pelaku profesi ini memang mengandalkan tenaga. Tapi, yang tak berseragam pun tak berarti punya harga diri. Tetap bisa jadi idamanmu, tanpa harus mukulin demonstran dan pemilik lahan.
Penulis: Taufik
Editor: Rizky Prasetya