Sebagai seorang peneliti kelautan, menurut saya, tingkat kenyamanan dan kesenangan saat melakukan survei laut itu setidaknya disebabkan tiga hal, yakni status pernikahan, durasi survei, dan tipe kapal. Alasan pertama terkait dengan kenekatan keberanian. Setelah menikah, apalagi punya anak, keberanian saya untuk melakukan “hal aneh-aneh” saat survei laut jelas jauh berkurang. Seperti slogan keselamatan bekerja, “Hati-hati saat bekerja, anak istri menunggu di rumah”.
Alasan kedua sudah tidak perlu dijelaskan secara panjang lebar. Bagaimanapun segala hal yang berlebihan itu tidak baik. Kalau ndak percaya tanya sana sama temenmu yang kerja jadi Anak Buah Kapal. Bagaimana harus berbulan-bulan memandang lautan dan digoyang gelombang. Dan yang ketiga, tipe kapal yang dipakai survei. Saat peneliti kelautan melaksanakan survei laut dengan kapal miliknya LIPI yang bernama Kapal Riset Baruna Jaya VIII, saya pada tahun 2017 cuma mampu pakai kapal biasa dengan mesin tempel 40PK.
Buat yang belum tahu, PK itu bukan Penjahat Kelamin, tapi singkatan dari salah satu kata dalam Bahasa Belanda, Paardenkracht. Sudah saya cek di Google Translate artinya Daya Kuda alias Horsepower. Beberapa nelayan sering memplesetkan PK sebagai Power Kuda, ya nggak bisa dibilang salah juga kan, ya? Heuheuheu. PK mesin tempel ini beda ya sama PK yang ada pada pendingin ruanganmu itu. Konon kabarnya 1PK setara dengan 745,7 watt. What?
Kalau di Baruna Jaya, semua fasilitas selama riset sudah terpenuhi, mulai dari kamar dengan pendingin ruangan, ruang santai, ruang kesehatan, ruang rapat, laboratorium, restoran, hingga fasilitas makan 3 kali sehari sudah tinggal ngemplok. Nah, kapal mesin tempel yang saya gunakan—yang entah mereknya apa itu, katanya sih bantuan dari Kementerian—boro-boro punya semua fasilitas yang ada di Baruna Jaya. Panjangnya saja cuma 4,5 meter dengan lebar 2 meter. Yah, sama lah kayak ukuran rata-rata kos-kosan di Jogja.
Waktu itu memang mau nggak mau saya harus ambil data buat penelitian di Pulau Lombok, mulai dari Sekotong di Lombok Barat hingga ke Labuan Haji di Lombok Timur. Kalau tinggal lurus doang sih saya ukur di Google Map cuma 190 km. Masalahnya, data yang saya ambil ini harus diukur secara zig-zag. Satu kilometer ke arah laut, satu kilometer ke arah darat, gitu terus sampai bosen. Jadi kalau ditotal, jaraknya bisa dua-tiga kali lipatnya. Kalau nggak salah waktu itu saya butuh waktu 1 minggu pengukuran di atas kapal.
Bukan apa-apa, daripada saya sewa Baruna Jaya 1 harinya 80 jeti lak mending sewa kapal tempel mesin 40PK yang cuma 750 ribu per hari belum sama bahan bakar. Kami mulai berangkat dari Sekotong ke utara, ke arah Gili Trawangan. Karena ini pesiar ala-ala, jadi ya tentu saja fasilitas selama perjalanan juga seadanya, yang penting bisa ambil data dan selamat sampai tujuan. Ada harga ada rupa lah ya. Hiburan 750 ribu ya cuma ngobrol, tidur, sama mancing. Jadi untuk mencukupi kebutuhan pangan, kami juga memancing dan beberapa kali dapat sotong alias cumi-cumi. Sayangnya, mengitari Pulau Lombok dengan kapal mesin 40PK nggak bisa sambil makan mi instan gelas, yang entah kenapa semakin nikmat kalau di makan di atas kapal. Hiks…
Kapal kami waktu itu berisi 4 makhluk yang terdiri dari 1 nahkoda, 1 asisten, saya, dan 1 rekan peneliti; 2 kotak berukuran 1×0,5 meter berisi alat survei, makanan, dan obat-obatan; serta 2 jeriken bahan bakar, masing-masing berisi 20 liter. Selain 4 gundul tadi, masih ada 1 gundul yang mengikuti dengan sepeda motor di darat. Tugasnya membelikan bahan bakar jika persediaan di kapal menipis dan memantau jika ada kondisi darurat. Meskipun agak ribet juga karena di laut susah untuk dapat sinyal telepon seluler.
Saat survei laut, hal yang dapat membuat mabuk laut selain kombinasi masuk angin dan gelombang adalah mencium bau gas buangan bahan bakar dari mesin tempel. Oleh karena itu, pengetahuan tentang arah angin sungguh membantu untuk menentukan posisi supaya lebih berprestasi tidak muntah. Selain itu, karena nggak ada toilet, angin juga faktor utama untuk ambil posisi buat pipis atau beol. Kan nggak lucu sudah jongkok di samping mesin, eh kotoran atau air pipisnya terbawa ke bagian depan kapal, hahaha.
Gelombang dan arus di Selat Lombok, Lombok Utara, dan Selat Alas yang waktu itu cukup dahsyat, plus kecepatan kapal yang kami setting maksimal 15 km/jam, membuat kapal seolah-olah cuma bergerak di tempat. Nggak maju-maju. “Ini kapan selesainya pengukuranku?” sambat saya waktu itu. Bahkan situasi di Selat Lombok sempat membuat saya terpaksa memberi makan ikan dengan makanan yang ada dalam perut saya, hahaha.
Selama perjalanan pesiar, kami menginap sak kecekele alias sore harinya sampai mana, maka di situlah kami menepi dan menginap. Kadang tidur di pinggir pantai modal kantong tidur dan matras, kadang nebeng di rumah warga sekalian menambah daya peralatan survei. Pernah satu malam pas tidur di rumah warga, dini hari kami terbangun karena didatangi oleh—katanya—monyet jadi-jadian. Kabarnya sih tugasnya semacam tuyul gitu untuk mencuri. Alhamdulillah barang-barang kami nggak ada yang hilang, lha wong nggak punya apa-apa juga, hiks…
Tiga tahun setelah pesiar ala-ala mengelilingi tiga perempat Pulau Lombok dengan kapal mesin tempel 40PK, saya jadi mikir, “Kok mau-maunya ya dulu saya nglakuin hal itu?” Tapi memang pemandangan selepas pukul 16.00 di perairan Lombok itu magis dan menenangkan, sih.
Lain kali mungkin saya akan nyoba lagi muterin Pulau Lombok atau wilayah lain di Indonesia, tapi nggak dengan mesin tempel 40PK dan nggak satu minggu. Saya ingin nyobain naik “kapal Puskesmas” yang saya temui saat survei di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Waktu itu kirain ngebut pakai 160PK sudah paling yoi, ternyata dari belakang disalip “kapal Puskesmas” dengan mesin 300PK. Luar biasa…
BACA JUGA Tips Wisata ke Lombok Budget Kere Hore Bagi Sobat Dompet Tipis dan tulisan Bachtiar Mutaqin lainnya.