Beginilah culture shock pertama kali makan di restoran fine dining.
Saya sangat bersyukur dengan keadaan saat ini. Belum bisa dikatakan kaya raya sih, tapi setidaknya kesulitan-kesulitan yang pernah saya alami di masa kecil tidak terjadi lagi. Misalnya, soal makan. Sekarang, urusan makan di luar bukan lagi jadi hal yang besar. Mau makan apa pun, mau ke warung, kafe, bahkan di tempat yang dulu cuma bisa saya pandangi dari kejauhan, gas pokoknya!
Nah, diantara beberapa pengalaman makan di luar yang pernah saya rasakan, yang paling berkesan tentu saja ketika saya makan di sebuah restoran fine dining di daerah Kuningan, Jawa Barat. Sebetulnya, sudah agak ciut nyali ketika melihat penampakan luar restorannya. Ditambah, deretan mobil yang terparkir di sana bukan kaleng-kaleng. Mobil mewah semua! Itu kalau Karimun saya bisa ngomong, pasti dia bakal mohon-mohon supaya saya cari tempat lain aja. Ia pasti insecure.
Akan tetapi, apa mau dikata? Sudah terlanjur lapar dan capek juga kalau harus muter-muter lagi cari tempat makan lain. Akhirnya, dengan sisa keberanian dan isi dompet yang mudah-mudahan cukup, singgahlah kami, untuk pertama kalinya, ke restoran fine dining.
Suasana restoran fine dining mewah, mau batuk saja takut
Begitu melangkah masuk, mata saya dimanjakan dengan interior restoran yang mewah. Lampunya yang temaram, tapi hangat dengan dekorasi tiap sudut yang elegan membuat saya seperti masuk ke dunia yang berbeda. Mendadak timbul perasaan satu circle sama Nia Ramadani ketika masuk ke sana.
Musik yang mengalun merdu semakin membuat suasana di restoran jadi syahdu. Speakernya mantap betul. Kan ada tuh tempat makan yang speakernya bikin sakit telinga. Di restoran fine dining ini, hal tersebut tidak terjadi. Tidak pula ujug-ujug ada iklan spotify muncul di tengah-tengah lagu. Pokoknya khidmat betul.
Makin khidmat karena tidak ada suara sendok garpu beradu dengan piring atau alat makan lain. Hening sekali. Saking heningnya, saya mau batuk aja takut. Tapi kalian tahu gongnya apa? Pas selesai makan, anak saya nyedot minum sampai ke tetes terakhir sampai kedengeran suara sedotannya. Di ruangan se-syahdu itu, suara sedotan yang disedot keras-keras jelas terdengar seperti terompet malaikat Izrafil.
Malunya, Bund. Ketauan banget didikan emaknya yang apa-apa kudu wajib habis. Nggak mau rugi pokoknya.
Banyak sendok garpu, semua mirip
Selain dibuat takjub dengan suasananya, hal lain yang bikin jiwa rakyat jelata ini meronta-ronta adalah saat melihat menunya. Nama-nama makanannya rumit betul, sampai-sampai lidah saya rasanya keseleo waktu mencoba mengeja. Saya lupa persisnya apa nama menunya, tapi yang jelas, panjang dan susah banget dibaca. Begitu pelayan membacakan ulang pesanan saya, ejaannya beda total dari yang saya ucapkan tadi. Dan ya, tentu saja yang benar dia, bukan saya.
Sudahlah nama menunya bikin dahi berkerut, pas makanannya datang pun tak kalah bikin bingung. Bukan soal plating yang memang niat banget, ya, itu mah sudah pasti. Tapi, alat makannya tu lho. Banyak banget dijejer-jejer. Mirip-mirip pula. Halah, Hyung… Mau makan aja disuruh mikir dulu.
Pelayanan restoran fine dining super ramah
Hal lain yang membuat restoran fine dining ini berbeda dari tempat makan lain adalah pelayanannya. Asli, pelayan resto fine dining itu beda kelas. Mereka sopan banget. Tapi, bukan sopan yang dibuat-buat. Sopannya itu terlihat natural dan elegan. Curiga sebelum jadi pelayan, mereka harus ikut kelas kepribadian dulu. Saking sopannya, saya mau nyeletuk atau ngeluarin jokes aja mikir-mikir dulu, takut banget ganggu “aura” mereka.
Soal pelayanan mereka yang totalitas ini, bagus sih. Meski, yah, kadang bikin canggung juga. Misalnya, saat mereka bertanya, “Nasi gorengnya mau diletakkan di mana?”
Lha? Pikir saya, ya udah deh, taruh di mana saja, biar nanti saya yang atur-atur. Soalnya kan biasanya di tempat lain juga gitu. Piring datang, emak yang atur buat keluarga. Tapi, saya lupa, saya tidak sedang berada di warung tenda. Ini restoran fine dining dan SOP-nya bisa jadi memang demikian.
Oh ya, satu lagi. Para pelayan ini memakai sarung tangan saat melayani tamu. Iya, sarung tangan. Totalitas banget emang. Sesuatu yang membuat ngebatin, “Jadi seperti ini dilayani dengan sepenuh hati~”
Struk yang bikin deg-degan
Tentu saja hal yang paling bikin syok dari makan di restoran fine dining belum disebutkan. Pasalnya, culture shock terbesar datang di akhir acara. Yaitu, saat struk datang. Kamu buka pelan-pelan, berharap nilainya masih manusiawi. Tapi, ternyata, seporsi steak dan sepotong kue kecil bisa seharga belanja seminggu di pasar. Makin perih karena, jujur saja, setelah makan disana, perut masih merengek minta nasi padang. Kurang kenyang, Bos!
Memang, kalau dipikir-pikir, sungguh hal yang wajar jika harga makanan di restoran fine dining itu lebih mahal. Di sana kita bukan cuma bayar makanan, tapi juga pengalaman. Tempat yang super nyaman, pelayanan ramah serta suasana yang syahdu, semua itu kan juga ada biayanya. Pepatah bilang, pengalaman itu mahal harganya. Nah, makan di restoran fine dining ini telah membuktikan kebenaran pepatah tersebut.
Btw, nggak usah kepo berapa rupiah yang saya habiskan untuk makan malam di restoran fine dining. Jujur, saya lupa atau lebih tepatnya saya memilih untuk lupa. Pokoknya begitu struk datang dan dibayar, struknya langsung saya buang jauh-jauh. Biar cepat move on. Toh, nggak baik makanan yang sudah masuk perut masih diungkit-ungkit. Cukup dijadikan pelajaran dan pengalaman saja.
Dan, untuk mengulanginya lagi? Nggak dulu, deh. Bahkan, misal pun kelak Tuhan menakdirkan saya sekaya Nia Ramadhani, sepertinya saya tetap bakal pilih nasi padang. Jelas lebih enak dan lebih kenyang. Hidup nasi padang!
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















