Ketika diminta jadi wali nikah, saya langsung iyain aja. Meski sebetulnya, saya juga nggak paham-paham amat apa tugasnya.
Kata beberapa orang, pernikahan itu adalah salah satu prosesi yang sakral, tapi ribet pada pelaksanaannya. Makanya, banyak sekali orang yang memilih untuk tidak terlibat dalam urusan pernikahan, bahkan memutuskan untuk tidak menikah. Saya adalah salah satu orangnya.
Meskipun saya bukannya tidak mau menikah, tapi malas saja terlibat dalam urusan pernikahan. Walau itu pernikahan saudara atau keluarga sendiri. Bukannya sombong, hanya malas ribetnya. Maklum, saya beberapa kali dilibatkan dalam pernikahan, entah itu jadi pager bagus (dulu), ikut prosesi akad ke KUA, atau sekadar bantu-bantu ketika resepsi.
Saya akhirnya menyerah dengan segala sikap saya di atas, ketika beberapa bulan lalu, saudari sepupu saya (anak dari pakde, kakak laki-lakinya bapak) datang ke rumah dan meminta saya untuk menjadi wali nikahnya. Mengapa saudari sepupu saya meminta saya untuk jadi wali nikahnya, ya karena kami sama-sama anak yatim dan saya adalah saudara laki-laki tertua di pihak keluarga bapak.
Maka, saya jadi pilihan utama (bahkan satu-satunya) untuk menjadi wali nikahnya. Mau tidak mau, saya harus menerima permintaan itu, meskipun jujur saja, saya agak malas sebenarnya. Toh, kamil juga bukan keluarga yang akrab-akrab banget.
Ketika saya mengiyakan permintaan itu, di kepala saya langsung muncul pertanyaan, “Jadi wali nikah ngapain saja, ya?” Di kepala saya juga muncul bayangan bahwa tugas wali nikah hanya menemani si pengantin perempuan ketika akad, melimpahkan wewenang untuk menikahkan pengantin pada petugas KUA, dan sudah, itu saja.
Ketika resepsi pun kalau saya tinggal juga tidak jadi masalah, lha wong sorotannya juga ke pengantin, bukan ke wali nikahnya. Terpatri lah bayangan di kepala saya bahwa menjadi wali nikah itu mudah, tidak terlalu ribet.
Namun, bayangan di kepala saya buyar, ketika saudari sepupu saya mulai dipusingkan dengan dokumen-dokumen yang perlu disiapkan. Sebagai wali nikah, saya juga perlu ikut-ikutan fotokopi dokumen ini, menyerahkan dokumen itu. Entah itu Kartu Keluarga, KTP, dan minta Surat Keterangan Wali Nikah di kantor desa yang mana saya males ribetnya.
Belum lagi urusan acara, yang mana saya sebagai wali nikah juga dilibatkan. Saya sih tidak banyak bicara, manut saja, lha wong ini juga bukan acara saya. Terserah lah mau dibuat seperti apa. Saya manut saja, lah.
Perkara dokumen sudah selesai, tapi keribetan belum selesai. Menjelang hari H, saudari saya ini nggupuhi saya, mulai dari mengingatkan saya untuk datang pagi ke KUA ketika acara (mungkin dia tahu saya orangnya agak susah bangun pagi), hingga menyuruh saya untuk memakai baju rapi ketika akad. Beruntungnya saya diberi satu kemeja batik sebelum hari H. Mungkin dia tahu, saya orangnya agak slengean, dan minim baju rapi. Lumayan, lah, setidaknya saya sekarang sudah punya batik baru, lebih bagus, dan yang bisa saya pakai ke acara-acara penting.
Hari H, Jumat, 5 Februari 2021 (tulisan ini ditulis beberapa saat setelah akad selesai), saya akhirnya bisa datang ke KUA pagi, pukul 7:30 dengan keadaan belum ngopi dan belum BAB.
Rombongan kami langsung masuk ke ruangan akad. Saya berharap akad bisa segera dilangsungkan dan setelah itu saya bisa BAB lalu ngopi. Ternyata tidak. Kami harus menunggu petugas KUA datang, kurang lebih 30 menit. Waktu yang cukup lama buat saya untuk menahan meriam belakang saya agar tidak meledak. Bibit keringat akibat menahan BAB sudah mulai muncul di jidat saya.
Setelah kurang lebih 30 menit menunggu, petugas KUA akhirnya datang, duduk di depan saya, dan pengantin, lalu mengecek dokumen-dokumen yang sudah ada. Tidak perlu lama untuk mengecek dokumen, karena memang sudah lengkap.
Acara pun dimulai. Penghulu mengajak saya bersalaman dan berikrar bahwa saya sebagai wali nikah melimpahkan hak untuk menikahkan kepada penghulu. Lalu mulailah akad, di mana saya melihat jelas di samping saya, pengantin pria groginya bukan main ketika menjabat tangan penghulu. Saya bisa memaklumi, lah, lha wong ini acara sakral.
Akad selesai dan saudari sepupu saya sekarang sudah sah menjadi istri orang. Ada rasa lega, bahagia, akhirnya saudari saya menikah juga. Akhirnya saya sudah lepas dari jabatan sebagai wali nikah.
Meskipun ribet pada awalnya, ini tentu pelajaran bagi saya, bagaimana prosesi pernikahan yang selama ini saya cenderung tidak mau tahu.
Melalui tulisan ini juga saya ingin mengucapkan selamat menikah untuk saudari sepupu saya, dan jangan mendoakan supaya saya segera menyusul. Saya belum punya calon.
BACA JUGA Telat Menikah Itu Bukanlah Sebuah Masalah, dan Ini Serius dan tulisan Iqbal AR lainnya.