Dulu saya meragukan seonggok pepatah bahwa pengalaman dapat ditemukan di mana saja. Pun, saya hanya geleng-geleng tiap kali motivator menitahkan para pendengarnya untuk mengambil pengalaman dalam tiap kejadian. Kalau semisal kepising yang rasanya sungguh maha sembribit saat naik motor di Ringroad, apa coba pengalaman yang bisa didapat? Namun, semua itu berubah kala saya kedinginan saat transit 12 jam lamanya di Bandara Changi, Singapura.
Pengalaman kala itu menyuruh saya untuk sedia jaket sebelum kedinginan, udara dingin Imogiri ketika malam tidak ada apa-apanya ketimbang pendingin di Bandara Changi. Padahal, sejatinya dingin bisa diromantisasi seperti konten-konten Fiersa Besari. “Dingin memelukku kala Rinjani menjamahku.” Duh, asyu, eh, syahdu.
Lebih dari dua hal itu, percayalah, bagi saya yang masih nyaman boker di Sungai Oyo Imogiri, boker di bandara ini sungguh menegangkan. Lebih menegangkan dari diincar oleh biawak atau ada lumut yang nempel di pantat saat lubang tahi mekar.
Dalam keadaan yang paling nyaman, saya mau bercerita mengenai pengalaman yang bisa kalian petik atau setidaknya saya petik sendiri. Begini.
Transit 12 jam itu seperti beradu dengan maut. Kalau ada uang, saya bisa keluar dan menyewa hotel. Ini boro-boro nyewa hotel, makan saja saya harus hemat sehemat-hematnya hemat biar di tempat tujuan nanti—Laos dan Vietnam—saya masih bisa makan agak enak. Pun nggak semahal makanan di Bandara Changi. Heh, saya kasih tahu, makanan yang bahasanya njlimet, padahal itu hanya nasi udang, mahalnya masya Allah. Pengen jerit. Untung saya sedia pilus sebelum kurus.
Ketika beberapa orang haha hihi dengan santainya, saya justru kedinginan. Babar blasss nggak ada keren-kerennya sama sekali. Bayangkan saja, masa iya kedinginan karena pendingin ruangan. Tapi jika menengok track record saya, di Ambarukmo Plaza saja mata saya merah karena terpapar udara pendingin ruangan. Apalagi ini Bandara Changi, lantai berselimut karpet, udara rasanya seperti Kajor Wetan kala musim penghujan.
Nah, cerita dimulai ketika saya kedinginan. Padahal saya sudah pakai baju rapel tiga. Kaus lengan pendek, lengan panjang, dan hoodie. Tetap saja, dingin puol. Setelah dingin datang, singgahlah gejolak rasa ingin berak. Perasaan ini sungguh menyiksa saya. Di satu sisi saya ingin meringkuk di ruang tunggu, satu sisi lagi ada perasaan yang nggak boleh diganggu gugat. Harus diselesaikan secara cepat dan hormat.
Entah bagaimana ceritanya, para petugas di Bandara Changi menatap saya dengan curiga. Mungkin gerak-gerik saya yang aneh dalam menahan rasa ingin berak. Saya bergegas mendekati mereka, sambil menunjukan boarding pass. “WC ada di mana?” kata saya. Petugas itu menunjuk sebuah mesin dan kami berjalan ke sana. Batin saya, “Kujur! Mosok saya disuruh berak di mesin seperti ini!”
Ternyata alat itu semacam peta digital. Menunjukkan di mana lokasi saya saat ini dan di mana lokasi tujuan saya. Canggihnya Bandara Changi, malah bikin saya nggak nyaman. Menekan tombol dan masukan kartu anggota di Trans Jogja saja saya takut salah, apalagi ini. Nggak paham ini faktor penakut atau ndeso. Yang jelas makin metropolitan negara tujuan, biasanya saya semakin takut.
Saya pun berjalan secepat mungkin, ada yang mau keluar, tapi jika saya keluarkan sekarang, saya yakin perasaan saya nggak akan lega. Pikiran saya hanya satu, semoga WC jongkok. Ada rasa yang nggak bisa diledakkan saat harus ngeden dalam keadaan duduk. Ada rasa yang mengganjal jika harus saya paksakan.
Menuju kamar mandi di Changi, ada sesuatu yang unik. Paling menarik adalah terdapat profil petugas kebersihan yang berjaga di dekat pintu masuk. Saya lupa namanya, pokoknya orangnya ini terlihat galak. Ketika masuk, si petugas itu sedang menggunakan alat (saya nggak tahu namanya, seperti mobil gitu).
Degup jantung saya meningkat. Apalagi tatapan mata si petugas selalu mengintai pergerakan saya. Saya trabas saja. Saya masuk ke kamar mandi paling ujung dan… WC duduk. Rasanya saya ingin sujud syukur namun nggak mungkin. Saya berjanji dalam hati, pulang ke Indonesia nanti, saya harus syukuran. Impresi pertama saya, “Sial, kamar mandi di sini lebih mewah dari kos-kosan saya!”
Tanpa menunggu aba-aba, gejolak yang selama di dalam kabin pesawat saya tahan, meledak begitu saja. Saya udah nggak peduli ada yang dengar atau nggak. Bodo amat, nggak kenal ini, kan? Semenit saya bisa tersenyum, dua menit saya mulai keringetan, dan tiga menit kemudian, saya bingung sendiri. Ini gayung dan air di embernya mana, Lur?
Setelah saya amati dengan perlahan, wah, celaka tiga belas! Ini adalah kamar mandi kering. Selama kurang lebih lima menit saya diam dan berkontemplasi. Idealisme saya seakan dipertaruhkan, yakni cebok pakai tisu. Astaga, seumur hidup, terlintas di pikiran untuk jadi PKI memang pernah, namun blas nggak kepikiran untuk cebok pakai tisu. Itu aneh sekali. Takaran bersih menurut saya, belum kena air belum marem.
Setelah memutar otak, teringat wajah menakutkan penjaga kamar mandi di depan sana, saya pun pakai penyemprot yang biasanya menggantung di kamar mandi wangun. Saya nggak tahu namanya, pokoknya bentuknya seperti tembakan. Saya nekat memakai itu, ancang-ancang perlahan dan ceprot! Air nggak kena target yang mau dibersihkan, malah mental ke bawah, air yang menggenang di kloset itu pun berhamburan.
Tanpa menunggu diskusi matang antara hati dan pikiran, saya langsung melunturkan idealisme saya dengan cebok menggunakan tisu. Setelahnya? Lari tunggang-langgang menuju ruang tunggu. Saya nggak tahu bagaimana ekspresi si penjaga itu setelah melihat lantai kloset yang kering, indah, dan bersih, jadi kotor dan basah.
Pun melalui tulisan ini, siapa pun yang kenal atau pernah bertemu dengan petugas kebersihan di kamar mandi daerah Terminal 2, saya memohon maaf sebesar-besarnya kepada blio.
Bandara Changi, ketika sebagian orang meninggalkan kisah hedon dan menyenangkan. Menonton bioskop atau mengunjungi mal yang super mewah itu, saya malah sebaliknya. Saya meninggalkan oleh-oleh bagi Changi yang tidak pernah terpikirkan orang lain sebelumnya. Ya, hamburan tahi yang tumpah dengan cara tidak sengaja.
BACA JUGA 4 Hal yang Sebaiknya Dilakukan Manchester United dan Ini Serius dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.