Jadi maba FISIP di Universitas Brawijaya Malang itu bikin saya nggak bisa ikutan ajang adu nasib tentang ospek
Masa S-1 pada sebagian besar benak wisudawan yang telah berhasil menyelesaikan, bisa jadi, memang fase yang paling berkesan. Serupa cinta pertama, masa kuliah S-1 bagi saya penuh perasaan canggung, lugu, dan memalukan sekaligus. Dan, ketika Agustus tiba, mahasiswa baru sana-sini menjalani ospek, montase masa kuliah saya berseliweran di kepala.
Dalam sebuah kebetulan yang memang direncanakan, saya berkunjung ke Universitas Brawijaya, kampus di mana saya menyelesaikan pendidikan S-1 dengan agak geradakan. Bagi seorang alumni, adalah keajaiban menyaksikan gedung fakultas yang dulu hanya beberapa biji sekarang pepat dan makin kece aja.
Maka tak mungkin saya mengurung kesempatan untuk sekadar berjalan-jalan sembari napak tilas masa-masa memalukan itu. Tak terkecuali bagaimana saya sebagai mahasiswa baru, menghadapi sebuah momen sakral dan bikin mules: ospek.
Daftar Isi
Masa Ospek dan mitos udara dingin di Malang
Mahasiswa yang pernah berkuliah di Malang percaya bahwa udara dingin di masa ospek adalah upaya tanah Ngalam menyambut mahasiswa baru. Dari tahun ke tahun mereka yang tinggal di Malang pun mengamini fenomena alam ini.
Padahal kalau kita mau sedikit rasional, masa-masa penerimaan mahasiswa memang selalu digelar di pertengahan tahun, ketika kondisi geografis di Malang sedang dingin-dinginnya. Jika mau sedikit kepo pula, kita bisa menemukan apa yang disebut angin monsun dingin Australia. Angin dingin ini bergerak dari Australia menuju perairan di Indonesia dan melewati Pulau Jawa, Bali, NTB, NTT. Sebab Malang adalah kota yang paling banyak mahasiswanya dibanding kota-kota lain di Jawa Timur, mitos angin dingin untuk menyambut maba ini kemudian langgeng.
Pada akhirnya kondisi ini benar-benar mengajak para mahasiswa di Malang berpikir secara deduktif. Kalau mereka kedinginan di Juli-September, mereka akan berpikir: Wah berarti musim maba. Sedangkan kalau mereka kedinginan di bulan lain: Wah berarti masuk angin. Ini berlangsung terus, bahkan setelah tujuh tahun saya lulus dari Universitas Brawijaya, persepsi yang timbul masih sama.
Baca halaman selanjutnya: Ospek Universitas Brawijaya dalam gelora yang sama…
Ospek Universitas Brawijaya dalam gelora yang sama walau berbeda masa
Agak berbeda dari mahasiswa kebanyakan, dahulu saya menjalani ospek sesungguhnya pada tahun kedua. Sebab, di tahun pertama saya kok sempat-sempatnya kecelakaan dan patah kaki. Tapi Anda jangan buru-buru melempar kata-kata khas Jaksel itu, “Lu mah enak ospeknya tahun kedua. Lah gua…” Jangan, ya, masa saya udah acara matahin kaki aja masih dikatain begitu.
Ketika mengunjungi Universitas Brawijaya beberapa waktu lalu, saya menemui sekumpulan mahasiswa tengah berbaris memutar di malam hari. Membunyikan jargon penuh semangat dan pakai atribut almamater. Hmmm vibes masa-masa muda nih, pikir saya.
Sekadar info aja, pada angkatan saya, atau mungkin juga masih berlaku pada angkatan ini, ospek tidak selesai pada tiga hari. Serangkaian masa orientasi atau yang kerap disebut PK2MABA Universitas Brawijaya itu berlangsung satu semester.
Selain rangkaian ospek tingkat universitas selama 3-4 hari, kami juga harus mengikuti ospek fakultas yang digelar tiap Sabtu. Untungnya pada masa itu, saya tidak lagi diwajibkan pakai atribut aneh-aneh meskipun bagi siapa saja, acara ospek itu ya sama-sama bikin malas.
Faktor penentu lulus ospek, yang kemudian sertifikat kelulusannya juga jadi syarat ujian skripsi nantinya, adalah absen. Perkara ini jadi hal yang teramat berat bagi mahasiswa piyik sebab rasanya baru kenal rasa malas kemarin lusa setelah lulus SMA. Jadi jika saya ditanya, “Berat nggak ospekmu dulu?” Jawabannya selalu sama: Berat, kok. Biar nggak lantas lanjut adu nasib.
Sayangnya, selalu ada banyak cara lainnya untuk main adu nasib.
Adu nasib ospek tiap fakultas di Universitas Brawijaya
Entah dari mana asalnya mitos ini, tapi fakultas saya, FISIP, selalu merasa punya ospek paling santai dan menyenangkan. Maka ketika fakultas sebelah kami sedang berteriak menyanyikan yel-yel dengan penuh gelora, mahasiswa baru FISIP akan bersyukur setengah mati. “Untung masuk FISIP,” katanya.
Dalam suatu kesempatan di masa kuliah dulu, saya pernah bertemu dengan kawan yang menjalani ospek di Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Tapi nggak perlu disebutin deh teknik apa, takut jadi prahara.
“Kemarin aku dipisuhi jarak lima centi dari muka. Bayangin. Gitu emang fakultasku,” lalu dia pun main adu nasib juga, “Kamu mah mending ospeknya seneng-seneng.”
Saya tidak bisa melawan adu nasib begini sebab kalau saya lawan, artinya saya lebih menderita. Nggak pernah sama sekali ada senior yang bentak-bentak di depan muka saya, saya pasti akan terbayang bau jigongnya sampai wisuda. Dari dulu juga saya nggak pernah mengerti esensi dari acara marah-marah senior ke junior. Lebih baik kan saling tukar nomor, siapa tau jodoh.
Meski begitu, saya bukannya lolos 100% dari yang namanya kena marah saat ospek di Universitas Brawijaya. Suatu ketika dengan wajah cupu, jas almamater, dan tanda pengenal warna oranye di dada kanan saya, saya dibentak sebab lewat “daerah teritori” fakultas lain. Meski agak keder dan takut, sambil garuk kepala saya mikir, kenapa ada area terlarang bagi maba segala sih? Apakah ini semacam zona demiliterisasi kayak di Korut dan Korsel? Tidak ada yang tahu. Akan lebih cepat ketika saya mengiyakan dan tidak melewati “daerah teritori” itu lagi.
Kok bisa ya saya kuliah di sini…
Terlepas dari bagaimanapun saya dan Anda menjalani ospek yang, seringnya, tidak menyenangkan, semua masa-masa itu akan berlalu dan tinggal dalam ingatan. Usai memutari Universitas Brawijaya, sebagai alumni saya selalu merasa narsis. Kok bisa ya saya dulu merantau jauh dengan uang saku tak seberapa. Kok bisa saya nekat berusaha mingle dengan geng populer lalu menyerah karena muak. Lalu, kok bisa saya menyelesaikan segalanya walau terseok-seok. Kemenangan kecil menyelesaikan ospek sebagai miniatur menyelesaikan tekanan pada masa perkuliahan memang layak dirayakan.
Dan,wisuda adalah cara kita berterima kasih kepada orang tua. Mau tak mau, sulit atau mudah, cepat atau lambat. Topi toga akan jadi simbol pelunasan bakti kita pada level yang teramat sederhana kepada mereka yang mendukung kita.
Penulis: Ajeng Rizka
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Plis ya, Kampus di Malang Itu Banyak, Nggak Cuma Universitas Brawijaya doang!