Sebagai orang Indonesia, kita mengenal bermacam alat transportasi untuk menuju ke sekolah. Ada yang naik sepeda motor, naik jemputan, diantar orang tua, naik angkot, bahkan ada yang naik ATT (merek sepatu yang awet tekan tuo) alias jalan kaki. Dari sekian banyak alat transportasi yang telah disebutkan, saya termasuk orang yang naik angkot ketika menuju sekolah. Meskipun kadang jalan kaki, tapi saya lebih banyak naik angkot. Dan hal itu sangat mengesankan bagi saya.
Pertanyaannya adalah apa yang membuat berangkat dan pulang sekolah naik angkot menjadi hal yang begitu mengesankan? Jadi begini, tidak seperti di daerah-daerah lain yang memiliki banyak armada angkot. Di daerah saya itu angkot termasuk kendaraan yang limited edition. Bayangkan saja jalur yang harus dilewati angkot kurang lebih sepanjang 12 KM. Ada yang bisa menebak jumlah angkot yang tersedia? Ya betul sekali lima unit saja. Itu pun nggak setiap hari semuanya jalan. Jadi bukan hanya jarang, tapi hampir nggak ada.
Dengan membludaknya penumpang ketika berangkat dan pulang sekolah, sebut saja 30-40 siswa. Tentu kapasitas kabin angkot tidak mampu menampung semua penumpang. Mau nunggu angkot yang belakang juga satu jam baru datang. Hal ini membuat kami anak-anak SD harus putar otak agar tidak telat sampai di sekolah. Setelah berdiskusi sangat panjang, maka ada dua opsi yang dapat diambil. Yakni antara nggandul (bergelantungan di pintu) ataupun munggah (duduk di atap angkot).
Seiring berjalannya waktu keterpaksaan tersebut justru menumbuhkan hierarki antara penumpang angkot. Orang-orang yang duduk di dalam dianggap orang biasa. Orang-orang yang nggandul adalah orang-orang yang keren, tapi nggak keren-keren banget. Sedangkan orang-orang yang ada di atap angkot adalah orang yang kerennya kelewatan. Bahkan orang-orang yang berani naik angkot di atap pernah menjadi cowok idaman pada masanya.
Sesuai dengan kata-kata yang berseliweran di timeline yaitu, “Untuk menjadi keren itu nggak mudah! Butuh proses yang berat untuk menjadi keren dan glow up”. Hal itu yang juga terjadi kepada saya dan teman-teman saya yang naik angkotnya di atap. Kami harus melewati bermacam halangan dan rintangan yang sangat menantang hanya untuk bisa terlihat keren dan menjadi cowok idaman.
Mulai dari cara naiknya. Untuk naik ke atap angkot ada tiga opsi yang dapat dipilih. Pertama, adalah manjat ban. Kedua, melalui jendela. Ketiga, lewat bumper belakang. Ketiganya memiliki kesulitan dan tantangannya masing-masing.
Pertama, orang-orang yang naik dengan manjat ban memiliki risiko “terblender”. Pasalnya, sebelum semua penumpang naik, sopir angkot biasanya sudah berjalan. Hal itu yang membuat orang-orang yang manjat ban berisiko “terblender” bahkan terperosok ke dalam ban.
Kedua, bagi orang-orang yang naik melalui jendela memiliki risiko untuk dimarahi penumpang lain. Sebab, banyak penumpang yang kepalanya keluar jendela. Dengan begitu banyak sekali kejadian kepala penumpang lain tercium oleh sepatu ATT yang kami pakai. Sehingga di sepanjang perjalanan, kami mendengar suara-suara orang yang agak menggerutu. Dan ketika turun, telinga kami terkadang merah karena dijeweri oleh orang yang kepalanya tercium tadi.
Yang ketiga adalah orang yang naik lewat bumper belakang. Opsi terakhir ini sekaligus menjadi opsi yang paling menantang. Pasalnya, bagian belakang angkot terkenal licin dan tidak ada pegangan untuk ke atas. Jadi, kami harus bekerja sama antara yang sudah berada di atas dengan yang baru naik. Selain itu ketika naik dari belakang, maka orang itu akan otomatis duduk di bagian belakang. Yang mana itu sangat berisiko, sebab di daerah saya tanjakan adalah makanan sehari-hari. Jadi ketika melewati tanjakan, orang-orang yang duduk di belakang harus berpegangan kepada orang yang berada di depan.
Dari tiga pilihan tersebut, saya adalah tipe yang masuk lewat jendela. Sebab rintangan yang harus saya lalui untuk menjadi keren hakiki tidak begitu ekstrem. Sepengalaman saya sih saya merasa sangat keren ketika berada di atap angkot. Seolah fokus orang-orang yang kami dahului tertuju pada saya dan mbatin, “Wah cah iki waninan, pokoke josss.”
Namun, saya nggak berani turun tepat di depan rumah. Pasalnya, ibu saya bisa saja membuat kekerenan saya hilang seketika. Bahkan bisa membawa kekerenan saya berada di bawah orang-orang yang berada di kabin angkot.
BACA JUGA Hal-hal yang Paling Bikin Nggak Enak saat Naik Angkot dan tulisan Imron Amrulloh lainnya.