Saya mahasiswa FEB di salah satu perguruan tinggi di kota paling romantis (nek udan), Jogja. Fakultas yang sering digojeki karena bisa berarti Fakultas Elmu Budoyo sampai Fakultas Elmu Bisnis. Tentu, kepanjangan sebenarnya cuma Fakultas Ekonomi Bisnis, mainstream dan banyak juga itungannya, ngelu. Didasari hal ini, saya anti mengultuskan fakultas saya sendiri, tetapi malah cenderung lirak-lirik sana-sini. Satu fakultas yang menawan menurut saya adalah fakultas yang ketika memasuki semester dua mata kuliahnya tidak kasat mata, ya, Fakultas Filsafat.
Beberapa hari lalu, ketika sedang gabut di sudut kamar kosan, saya masuk menyusup ke diskusi beberapa anak Fakultas Filsafat via Google Meet. Teknologi memang memungkinkan apa saja, termasuk mengurangi kadar insecure ketika masuk ke ruang-ruang diskusi. Bayangkan, jika diskusinya offline, di suatu auditorium atau ruangan coffee shop yang direservasi sehari penuh gitu, saya pasti tidak berani ikut. Berhubung ngobrol-ngobrolnya online, saya masuk saja sekalian menemani malam mingguan.
Ngobrol-ngobrol kala nggak hujan ini membahas tentang cinta dengan pendekatan post-truth. Dari judulnya, rasanya banyak yang sepakat jika diskusi ini clickbait. Menggelitik sekaligus keren. Dari ngobrol-ngobrol ini, saya menarik beberapa kesimpulan yang mungkin mencoreng stigmatisasi anak-anak Fakultas Filsafat di khalayak umum.
#1 Diskusi filsafat tidak seabstrak itu, masih bisa didengerin nggak pakai kemropok anyel
Banyak sekali yang bilang kalau anak-anak Fakultas Filsafat itu kalau ngobrol kayak “kumur-kumur” saking abstraknya dan mempertanyakan hal-hal yang orang lain tidak permasalahkan. Ternyata, tidak seperti itu juga. Dari awal, sudah dipilih beberapa pembicara yang insightful dan paham betul arah omongannya. Mulai dari menit-menit awal, arah obrolan sudah didefinisikan dengan jelas. Mulai dari definisi sampai konteks post-truth itu sendiri, didiskusikan sampai tuntas di bagian-bagian awal sampai tengah diskusi. Semua sisi, dari yang ilmiah, sejarah, sampai cengengesan ditanggapi dengan runtut sehingga rasanya tidak mungkin para peserta diskusi tidak paham apa yang didiskusikan.
Berkat diskusi ini, saya jadi mudeng apa itu post-truth. Post-truth berarti “melampaui kebenaran” dan “melenceng dari kebenaran itu sendiri”. Memang agak absurd kalau saya reka ulang penjelasan mereka, tetapi suwer, waktu itu mudengin, kok. Dengan arah yang jelas ini, walaupun pembahasan-pembahasan filsafat termasuk liar, obrolan tidak terasa terlalu abstrak. Setiap bagian diskusi dan penjelasannya memuat substansi yang jelas. Saya jadi bisa menyimpulkan bahwa walaupun liar dan rantai eksplanasinya sangat panjang, obrolannya substansial dan tidak kayak kumur seperti kata orang-orang.
#2 Orang-orang filsafat tidak selalu mendebatkan agama dan mempertanyakan eksistensi Tuhan dalam tiap obrolannya
Selama diskusi, banyak celetukan-celetukan bercandaan soal agama. Namun, dalam bercanda-bercanda kecil itu sama sekali tidak terasa seperti hinaan yang menyinggung, malah terselip doa-doa kecil seperti, “Mantep banget khotbahnya, sudah siap jadi Jesuit, nih.” Tidak semua anak Fakultas Filsafat itu skeptis dengan keberadaan Tuhan kok. Bahkan, pada sesi kemarin, kalimat-kalimat menyentuh seperti “cinta yang agape, cinta yang tulus, seperti cinta kepada Tuhan,” keluar juga. Filsafat juga tidak selalu kontra dengan hal-hal yang diyakini banyak orang. Masih bisa kok masuk jurusan filsafat tetapi mengimani Tuhan dengan mutlak, apalagi solat lima waktu atau ke gereja tiap Minggu.
#3 Anak-anak Fakultas Filsafat masih bisa berdiskusi dan memandang cinta dengan hati, nggak melulu soal kekritisan
Memasuki acara utama, banyak peserta curhat tentang keresahan-keresahan mereka berkaitan dengan cinta. Walaupun saya tidak bisa mengulang cerita mereka di sini, percaya deh, mereka semua punya logika yang tumpul juga ketika berhadapan dengan orang-orang yang disayang. Menyadari ketidaksempurnaan ini, kawan-kawan di sana menggunakan pendekatan empati juga, tidak melulu soal teori dan logika. Cerita-cerita curhat ditanggapi dengan sederhana juga, tidak semua dikaitkan dengan diskusi utama yaitu post-truth.
Dalam diskusi ini, diingatkan kembali oleh kawan-kawan tentang esensi mencintai seperti ikhlas, menerima, dan tulus. Bahkan, terang-terangan kawan-kawan sepakat pada satu substansi yaitu cinta itu dirasakan, tidak perlu njelimet. Jika sudah jatuh dalam cinta, selain logika sebagai manusia yang bermain, hati lah ujung tombaknya. Ea~
Walaupun kata Redaksi Mojok materi filsafat tak kasat mata ketika melangkah semester dua, diskusi-diskusinya tidak terlalu absurd, kok. Lain waktu, lain malam minggu, jika ada diskusi lagi dan saya dapat akses ke link room-nya, saya jelas mau buat bergabung lagi.
Terima kasih kepada Mas dan Mbak yang berkenan saya susupi obrolannya di malam Minggu seru kemarin. Ada anak Fakultas Ekonomi yang kepincut filsafat, semoga selanjutnya bisa menyusup lagi, hehehe.
BACA JUGA Mengapa Lulusan Fakultas Filsafat UGM Bisa Sukses Nyaris di Segala Bidang?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.