Bagi saya, kehadiran Warteg Kharisma Bahari bagai oase di tengah padang pasir. Bagaimana tidak, kehadiran warteg yang satu ini berhasil menghapus stigma warteg yang selalu identik dengan kumuh. Sebelum waralaba ini merajalela, saya sering melakukan tour de warteg bersama teman sekos. Kami memilih warteg sebagai tempat utama tujuan makan tentu karena harganya yang ramah di kantong dan membuat perut kenyang tahan lama.
Di Kota Tegal, tempat saya tinggal, terdapat puluhan bahkan ratusan warteg konvensional. Salah satu kekurangan dari warteg konvensional adalah tidak menomorsatukan kebersihan. Saya pernah menemui tikus got masuk ke karung beras yang masih terisi hingga adanya kecoa di dalam tempat display makanan. Kehadiran Warteg Kharisma Bahari kami sambut dengan gegap gempita.
Namun ada saja yang membuat saya kecewa terhadap salah satu cabang warteg yang buka 24 jam ini.
Daftar Isi
Diketawain pramusaji Warteg Kharisma Bahari karena pesan tapi lauknya sedikit
Kejadian ini saya alami ketika akhir bulan. Sebagai buruh pabrik yang sadar diri bukan seorang sultan, saya dituntut dapat mengelola keuangan seefektif dan seefisien mungkin agar uang di dompet cukup sampai akhir bulan atau setidaknya sampai gajian. Sepulang kantor saya mampir ke salah satu cabang Warteg Kharisma Bahari untuk dibungkus sebagai makan malam.
Seperti biasa Mbak pramusaji menghujani pertanyaan layaknya sudah menjadi SOP, seperti “makan di tempat atau bawa pulang?”, “nasinya full atau separo?”, dan sejenisnya.
Masalah muncul ketika Mbak pramusaji menawarkan lauk, saya jawab telur dadar. Mbak pramusaji bertanya kembali
“Terus?”
“Gorengan tempe satu,”
“Terus?”
“Sambal,”
“Terus?”
“Sudah Mbak,”
Ternyata jawaban saya membuat Mbak pramusaji tersebut kaget seraya berkata sinis, “Sudah? Ngirit nemen Mas.” Tentu jawaban ini membuat hati saya yang mungil ini sakit dan berjanji tak akan balik lagi ke Warteg Kharisma Bahari cabang yang ini.
Ogah-ogahan apabila pembayaran memakai QRIS
Zaman semakin maju hingga metode pembayaran di warung tegal pun bisa menggunakan nontunai. Beberapa cabang Warteg Kharisma Bahari telah menyediakan QRIS untuk di-scan agar pembayaran dapat berjalan dengan lancar. Namun, masih saja terdapat oknum pramusaji yang gagap akan hadirnya metode pembayaran ini.
Semakin ke sini, saya semakin malas membawa uang cash. Salah satu sebabnya adalah kehadiran QRIS yang membuat pembayaran menjadi lebih praktis. Saat saya berhitung setelah makan di Warteg Kharisma Bahari, saya berkata ke Mbak pramusaji untuk membayar melalui QRIS. Bukannya dilayani dengan ramah mbak pramusaji malah judes sembari berkata: “QRIS maning, QRIS maning, cash Mas.”
Ada tukang parkirnya
Saya masih ingat ketika Artjog 2016 terdapat instalasi monumen tukang parkir. Dalam narasi karya tersebut dijelaskan bahwa selama ini monumen pasti memakai sosok penguasa, bukan rakyat jelata. Tentu karya tersebut menimbulkan pro dan kontra. Saya termasuk golongan yang kontra. Itu juga yang saya rasakan ketika ada tukang parkir di Warteg Kharisma Bahari.
Saya sangat ikhlas membayar parkir selagi tukang parkir tersebut menutupi jok motor dengan kardus atau setidaknya membukakan jalan ketika akan meninggalkan parkiran. Begitu pun sebaliknya, saya tidak ridho apabila tukang parkir hanya bermalas-malasan meminta uang parkir dan langsung ngacir.
Itulah pengalaman mengecewakan yang saya rasakan ketika makan di Kharisma Bahari. Semoga dengan adanya tulisan ini dapat menjadi peringatan untuk pemilik franchise Warteg Kharisma Bahari lain agar tidak ditinggal oleh konsumen loyalnya.
Penulis: Arief Nur Hidayat
Editor: Rizky Prasetya