Nggak ngapa-ngapain di rumah selama 4 bulan lebih gegara Pandemi ini bikin mahasiswa yang baru semester 5 (besok) kayak saya ini jadi bingung. Dapat uang saku kagak, sedangkan beli paketan iya, ngopi tipis-tipis iya, mencintainya (entah siapa) juga tetap jalan. Mau minta orang tua kok ya nggak tega, sebab keadaan ekonomi sedang seret begini. Kelamaan tidar-tidur di rumah takut dikira gombal bekas nggak ada guna. Ya sudah, untuk pertama kalinya, saya memberanikan diri untuk bekerja saja agar terhindar dari kanker (kantong kering). Tepatnya, saya bekerja jaga warung sembako.
Warung sembako yang saya jaga ini seperti warung sembako pada umumnya. Menyediakan kebutuhan sehari-hari dan melayani pembeli mulai terbitnya fajar sampai kira-kira tengah malam. Cuman, di depan warung sembako yang saya jaga, juga menyediakan pom mini. Maklum, lokasinya di pinggir jalan raya, sangat strategis buat jualan bensin.
Malam sebelum besok saya bekerja untuk yang pertama kalinya dalam hidup ini, saya survei toko dahulu alih-alih dipanggil mas bos (karena usianya tak terpaut jauh dengan saya) sekalian training. Segala hal yang berkaitan tentang warung, mulai harga barang sampai tata cara memfungsikan pom mini pun diajarkan kepada saya. Semua beres pada malam itu.
Sesuai arahan tadi malam, yang pertama kali harus saya buka adalah pom mini. Sebabnya, jalanan di mana warung sembako yang saya jaga, saban paginya dipenuhi lalu-lalang orang berangkat kerja. Itulah mengapa bisnis pom mini ini omzetnya boleh dikata begitu menggiurkan. Tapi omzet bisnis bensin itu berbanding terbalik dengan nasib saya yang sering kesetrum pas menyalakan, mencet tombol pengaturan, sampai pas megang selang ketika ngisi bensin loh, Lur.
Saya nggak tahu apa yang salah dengan pom mini itu, saya juga bukan anak tekhnik perkapalan. Tapi yang jelas, mantra Jawa populer alias ‘jancuk’ adalah catatan pertama malaikat Atid pada pagi hari buat saya sekaligus yang pertama kali di hari pertama saya masuk kerja.
Untung saja pagi itu saya ngisi bensin tangkinya motor Astrea yang dikendarai Pakdhe-pakdhe yang hendak pergi mancing. Jadi beliau nggak kagetan lah menghadapi pemuda yang hoby misuhan kayak saya ini.
“Santai, mas. Sebatsss sek ben nggak sepaneng.” selorohnya pasca beliau sadar kalau saya habis kesetrum pas ngisi bensin motornya.
Dalam hati saya cuman bisa membatin sambil mringas-mringis “Jabingan! Ha nek pom mini e mbeldos pripun, Pakdhe?”
Ternyata cari makan dari keringat sendiri tuh berlika-liku jalannya ya. Kadang juga kecampur maksiat dikit lah, seperti lirik-lirikan mata dengan lawan jenis pas isi bensin. Persis kayak judul FTV SCTV “cintaku bersemi ketika kamu ngisi bensin di pom miniku”, misalnya.
Nggak berhenti di situ, saya masih grogi, kerap melamun di hari pertama pas meladeni pembeli. Kaku banget, kayak kanebo kering kalau kata Gus Mul.
Saya jelas belum bisa meniru gaya kasir Indomaret yang mampu meluluhlantakkan isi dompet plus iman si pembeli hanya berbekal senyuman dan ucapan ramah “selamat datang di Indomaret, Kakak. selamat berbelanja”. Bahkan, untuk sekedar mengucapkan “monggo, pados nopo? (Silahkan cari apa?)”, lidah saya kelu. Malahan, saya yang ditegur si pembeli. “Mas, saya ini mau beli. Sampean ini kok malah melamun aja kayak orang lagi mikirin cicilan kredit panci” Haissshhh. Kelihatannya saya emang nggak bakat sama sekali jadi kelas pekerja, Kakakkk. Hashh, ngomong nggak cocok jadi kelas pekerja tapi sambat ra nde det.
Selain kaku dalam melayani pembeli, saya pernah salah ngasih kembalian ke pembeli. Pernah suatu saat saya kelebihan ngasih kembalian bukan satu, dua, atau lima ribu. Tapi dua puluh ribu. Dua puluh ribu. “Mas ini kembaliannya kok banyak banget?” kata pembeli lain yang jujur. Batin saya “duh, coba tiap hari saya selalu kelebihan 20 rebu saja ngasih uang kembalian dikalikan 30 hari. Biyuhhh. Ora sido gajian, lur.”
Tapi malunya ngasih kembalian berlebih tuh, menurut yang saya rasakan, nggak seberapa ketimbang salah kasih harga. Di lain waktu ada anak muda beli rokok. Saya belum hafal harganya sebab saya juga bukan perokok. Oleh karena itu saya harus merapel list harga dari atas sampai bawah, bolak balik kertas sampai sobek.
“24 rebu, mas.” Kata saya.
“Loh, mas. Yang benar saja! Saya biasanya beli rokok ini harganya cuman 18 rebu.” Sahut si anak muda.
“Emang segitu harganya, bosqueee.” Ucap saya ngotot.
Andaikan saya nggak berpendirian bahwa pembeli adalah raja, saya nggak bakalan mau ngecek list harga lagi huh.
“Hehehe, maaf, mas. 18 rebu ternyata.” Beneran, sambil menahan malu saya mengucapkannya.
Meski namanya sama-sama Gudang Garam Surya, ternyata ada perbedaan isi. Yang satu isi 12 harga 18 rebu. Yang satu isi 16 harga 24 rebu. Saya salah kasih harga untuk Surya isi 12 malah saya hargai 24 rebu. Duh.
“Lain kali nggak usah ngotot kalau salah ya, mas. Lagian sampean ini kan juga bukan Stadzzz Evi Effendi.” Katanya pada saya sambil ngegasss.
Kali ini saya benar-benar ingin tertawa dan mengumpat pakek mantra jawa lagi “Oalah Jancvk!”
Namun, ada satu hal yang sebenarnya bikin hati saya ini nggrentes, KSWW (kelingan sing uwes-uwes) dan sebangsanya. Usut punya usut, ternyata warung sembako yang saya jaga ini milik sepasang kekasih yang akhir tahun ini rencananya akan melangsungkan pernikahan. Dan sangat bertolak-pantat dengan kisah asmara saya yang beberapa bulan lalu baru saja putus.
Sepertinya semesta memberi saya jalan menjadi karyawan toko sembako agar saya bisa menertawakan nasib saya yang memang cem sempak ini.
BACA JUGA Nggak Usah Tersinggung kalau Pesantren Diasumsikan sebagai Bengkel Moral atau tulisan Rusda Khoiruz Zaman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.