Pengakuan Sri Mulyani Soal Kenaikan Tukin PNS Kemenkeu Hingga 300 Persen Itu Kurang Etis dan Nggak Peka dengan Kondisi Terkini

Pengakuan Sri Mulyani Soal Kenaikan Tukin PNS Kemenkeu Hingga 300 Persen Itu Kurang Etis dan Nggak Peka dengan Kondisi Terkini

Pengakuan Sri Mulyani Soal Kenaikan Tukin PNS Kemenkeu Hingga 300 Persen Itu Kurang Etis dan Nggak Peka dengan Kondisi Terkini

Tukin Kemenkeu naik berapa ratus persen sih saya nggak ada masalah. Tapi, bisa nggak liat kondisi pas cerita begitu, Bu Sri Mulyani?

Satu hal yang saya pelajari soal pejabat publik di Indonesia adalah soal komunikasi mereka yang acap kali aneh, nyeleneh, njelimet, tidak nyambung, sulit diterima akal sehat, dan bahkan tak berempati. Salah satu komentar yang sering membuat dahi berkerut adalah Menteri Kominfo, Pak Budi Arie. Tapi selain beliau, ada pejabat lain yang juga tidak kalah bikin dahi mengkerut. Terbaru adalah pernyataan Menteri Keuangan kita tercinta, Ibu Sri Mulyani.

Dalam sebuah forum, beliau mengaku kalau Tunjangan Kinerja (Tukin) PNS Kemenkeu saat ini telah naik 300 persen. Dikutip dari Kumparan.com, dalam sebuah diskusi, mantan Dirjen Perbendaharaan Marwanto Harjowiryono, mengungkapkan bahwa kenaikan tunjangan tersebut awalnya melalui beberapa usulan dari tim birokrasi Kemenkeu. Singkatnya, dari beberapa usulan yang disampaikan oleh Marwanto Harjowiryono. Ibu Sri Mulyani memilih opsi kenaikan mencapai hampir 300 persen.

“Kalau cuma segini, saya tidak akan pernah bisa minta mereka banyak kerja. Wong, gajinya belum dua minggu udah abis. Waktu itu saya bilang, tidak mau, naiknya lebih gede lagi,” kata Sri Mulyani dalam acara peluncuran buku biografinya Sri Mulyani No Limits, Reformasi dengan Hati, di Kementerian Keuangan, dikutip Minggu (22/9).

Keputusan untuk menaikkan Tukin hingga 300 persen dilakukan untuk meningkatkan kinerja pegawai Kemenkeu. Dia meyakini pegawai Kemenkeu tidak akan bisa bekerja dengan optimal ketika masih memikirkan perutnya yang kosong.

Ironi di tengah hamparan patah hati

Apa yang disampaikan oleh Ibu Sri Mulyani tentu jadi ironi di tengah kondisi ekonomi dalam negeri yang sedang lesu. Lay-off pekerja terjadi di mana-mana, daya beli masyarakat menurun, dan kelas menengah rentan makin bertambah. Belum lagi berbagai wacana pajak dan retribusi yang memangkas pendapatan masyarakat saat ini. Tentu sangat amat disayangkan pernyataan itu bisa diucapkan begitu mudah.

Terlebih kita semua tahu, Kementerian Keuangan dalam beberapa waktu terakhir terus disorot karena ulah para pegawainya yang kerap berpenampilan glamor dan pamer kekayaan, sebut saja Rafael Alun, Eko Darmanto, dan Adhi Pramono. Mereka adalah contoh kecil bagaimana PNS di bawah naungan Kemenkeu punya rekam jejak yang kurang baik di mata masyarakat.

Padahal, dalam beberapa kesempatan, Ibu Sri Mulyani sering mengemukakan beratnya tantangan dalam menaikkan gaji PNS di kementerian atau lembaga sejenisnya. Tapi mengapa semudah itu menaikan persentase Tukin PNS Kemenkeu hingga berkali-kali lipat?

Ibu Sri Mulyani mungkin bisa beralasan kalau Kemenkeu punya peran sentral dan tanggung jawab yang besar karena mengelola keuangan negara. Tapi kenaikan yang begitu tinggi tersebut bukankah justru jadi potret nyata atas ketimpangan pendapatan? Bahkan di antara Kementerian lembaga itu sendiri. Apakah peran pekerja sektor lain, seperti peneliti, dosen, guru, tidak punya peran yang sama sentralnya dengan PNS Kemenkeu?

Baca halaman selanjutnya: Insentif lebih tinggi (?)…

Insentif lebih tinggi (?)

Dalam forum yang sama, Ibu Sri Mulyani membandingkan bagaimana insentifnya dulu saat jadi Kepala LPEM FEB Universitas Indonesia lebih tinggi daripada gaji Dirjen Pajak. Entah ini satire atau apa, tapi kalau perbandingannya dengan gaji peneliti, saya rasa tidak bisa disandingkan begitu saja. Insentif yang diterima PNS Kemenkeu menurut Peraturan Presiden Nomor 156 tahun 2014 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan bisa mencapai Rp46,9 juta. Itu belum dilihat jika jabatannya setingkat eselon I, II, dan III.

Hal itu terlihat timpang bila kita bandingkan dengan total pendapatan pendidik, baik dosen maupun guru. Seorang teman pernah bercerita, bahkan dosennya di kampus ternama di Indonesia hanya mendapat total pendapatan tidak lebih dari Rp3,5 juta/bulan. Bagaimana dengan peneliti? Mereka yang baru di awal-awal karir, bahkan harus berjuang berdarah-darah hanya untuk melakukan riset yang insentifnya kadang tidak lebih besar dari gaji mereka mengajar di kampus.

Hal itu membuat mereka harus berusaha mengais-ngais dana riset dari pihak eksternal alih-alih berharap dari pihak kampus. Tentu Ibu Sri Mulyani tahu betul, beban publikasi yang dihadapi oleh dosen. Selain tekanan pekerjaan, mereka juga kadang dihadapkan pada biaya mencekik agar paper mereka bisa terpublikasi di jurnal-jurnal terindeks scopus.

Ibu saya, yang notabene-nya seorang Guru kepala sekolah sekaligus asesor untuk PAUD, beberapa kali dalam setahun harus berjuang melakukan visitasi akreditasi ke daerah-daerah terisolir di Kawasan Indonesia timur dengan uang saku yang tidak layak. Di sisi lain, Ibu saya harus menolak segala bentuk gratifikasi yang diberikan oleh pihak sekolah selama melakukan visitasi. Belum lagi beliau juga harus putar otak bagaimana caranya agar tenaga honorer tetap mendapat upah yang cukup karena tidak bisa hanya berpangku pada dana BOS yang secuil itu. Apakah itu tidak bisa disebut sebagai beban kerja yang layak mendapat insentif lebih tinggi?

Bu Sri Mulyani, coba cek dulu

Coba bandingkan dengan pegawai Ibu yang ada di Kemenkeu atau di kantor-kantor pajak itu. Yakinkah mereka tidak menerima sedikit pun gratifikasi? Pernahkah Ibu mendengar ada kasus seorang PNS Kemenkeu yang mengalami kesulitan keuangan? Sampai harus utang sana-sini untuk menambal kebutuhan pokok seperti halnya PNS-PNS gurem di daerah pelosok? Tidak pernah, kan?

Itu tanda bahwa PNS Kemenkeu sebelum kenaikan Tukin pun sudah memiliki penghidupan yang layak. Sangat layak apabila dibandingkan dengan PNS lain apalagi profesi pekerja swasta dan nonformal.

Tentu Ibu saya yang seorang guru, dosen teman saya, dan para peneliti hanya sedikit contoh bahwa peran mereka juga penting, tapi tidak mendapatkan apresiasi insentif yang sepadan dengan beban yang mereka terima.

Masih banyak profesi lain, di luar dari profesi PNS yang bisa jadi merasa minder, sedih, kecewa, dan iri mendengar Tukin PNS Kemenkeu yang kenaikannya mencapai 300 persen. Setiap pengeluaran dan kepemilikan mereka dikenakan pajak yang pada akhirnya untuk memenuhi Tukin 300 persen miliki PNS Kemenkeu. Sementara mereka, khususnya pekerja informal harus selalu rela menerima pendapatan yang seringnya begitu rendah, sangking rendahnya, rata dengan tanah.

Pada dasarnya saya tidak mempersoalkan kenaikan Tukin dari PNS Kemenkeu. Tapi pernyataan Ibu Sri Mulyani yang tanpa beban, menyebut seolah PNS Kemenkeu bekerja dengan keterbatasan insentif sementara yang terlihat selama ini justru sebaliknya, kemudian persentase kenaikannya yang begitu tinggi sehingga terlihat timpang, jadi sebuah ironi. Ironi di tengah situasi sulit ekonomi dan kondisi politik negeri yang isinya semuanya kebanyakan dagelan-dagelan basi dan bikin mual.

Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Hikmah yang Bisa Dipetik dari Perlakuan Istimewa yang Sri Mulyani Dapatkan di Bandara

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version